Banda masih hidup, terlepas dari genosida di masa lampau
Di waktu dunia sedang mencari keadilan, kita masih dihantui oleh bayangan menyakitkan di masa lampau: beradab-abad lalu pihak kolonialisme melakukan kekerasan dan ketidakadilan. Sebuah contoh ilustrasinya adalah kisah Banda dan genosida pada 1621. Tentang pembantaian yang dilakukan oleh Perusahaan Dagang Hindia Timur Belanda atau Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) ini, kebenarannya tetap tidak terucapkan. Masih, setelah 400 tahun, kebohongan kolonialisme tetap diproduksi, ironisnya dilakukan oleh mereka yang dengan kerasnya berteriak untuk melawan kolonialisme dan rasisme.
Saya dilahirkan dan dibesarkan di Belanda. Dari usia yang masih muda, saya mempelajari sejarah, tradisi dari para pendahulu yang dimulai dari abad keenam masehi, Sejarah Banda atau yang juga dikenal sebagai Wandan atau Wakan. Saya adalah keturunan dari orang-orang asli Banda yang tinggal di sana sebelum VOC datang dan menghancurkan semuanya. Sebagian besar buku sejarah menuliskan komunitas kami hampir seluruhnya dilenyapkan oleh aksi brutal Gubernur VOC-Jenderal Jan Pieterszoon Coen pada 1621, dan hanya beberapa dari kami yang berhasil melarikan diri. Hal ini tidaklah benar. Sebagian besar dari para pendahulu saya meninggalkan Banda dan bermigrasi ke tempat-tempat lain, antara lain ke Kepulauan Kei dimana pusat dari komunitas kami masih hidup hingga sekarang. Sebagian besar orang tidak mengetahui nama sesungguhnya dari Banda adalah Wandan atau Wakan dan kami tetap eksis sebagai diaspora. Pendahulu kami tidak “kabur” seperti yang banyak disebutkan oleh para sejarawan; mereka secara sadar meninggalkan Banda dan bermigrasi untuk menjaga keberlangsungan darah, agama, bahasa, dan kebudayaan kami. Dalam Agama Islam, ini dikenal sebagai hijrah.
Kenyataan bahwa kami sudah diabaikan dan dihapus menunjukkan bahwa kolonialisme bukanlah sekadar kekerasan fisik. Kolonialisme juga tentang kekerasan terhadap kebenaran untuk mengendalikan narasi. Sesudah empat abad dihapuskan dari buku-buku, realitas dari penyintas dan eksistensi kami akhirnya diungkap oleh sejarawan asal Belanda, Marjolein van Pagee pada 2021 dalam bukunya Banda. De genocide van Jan Pieterszoon Coen. Buku ini sekarang tersedia dalam Bahasa Indonesia dan dipublikasikan oleh Komunitas Bambu. Bersama dengan sepupu saya, Lukas Eleuwarin yang juga dikenal karena usaha pakaiannya Knowledge by Roots (KBR) dan Marcel Matulessy, kami berkontribusi dalam buku karya Marjolein ini.
Ketika kami bertemu dengan Marjolein pada 2020, dia tidak pernah mendengar komunitas Wandan atau Wakan. Melalui perbincangan dengan kami, dia memutuskan untuk menulis ulang seluruh naskah bukunya, hanya satu bulan sebelum waktu tenggat (deadline). Dalam karya teater saya Hijrah (dari Mekah ke Maluku dengan perjalanan searah ke Belanda), saya membagikan sejarah Wandan kepada dunia. Sebuah pesan yang saya selalu sampaikan adalah bahwa eksistensi kami ada berdasarkan fakta bahwa pendahulu kami berjuang sebagai Muslim melawan kolonialisme untuk memperjuangkan hak mereka untuk hidup. Sayangnya, di Belanda, bahkan dengan kesaksian kami di persidangan, urgensi untuk mengungkapkan kebenarannya masih tidak bisa dirasakan. Ini menunjukkan bahwa sebagian besar Sejarawan Belanda hanya disibukkan dengan karier mereka. Mereka tidak termotivasi untuk berkata jujur dan menyampaikan sejarah sebagaimana apa yang sebenarnya terjadi.
Tetapi, kenapa Banda menjadi begitu penting?
Alasan mengapa orang-orang Banda asli menjadi sasaran kekejaman yang parah, dan bahkan genosida adalah berkaitan dengan pala dan kekayaan yang sangat besar yang bisa didapatkan dari komoditas tersebut. Cara kekerasan menjadi dasar monopoli yang dilakukan oleh kolonialisme Belanda untuk mendapatkannya. Pada 1621, di pulau-pulau yang kosong, mereka membangun perkebunan pertamanya di tanah jajahan dimana orang-orang dari luar Banda diperbudak dan dipaksa untuk bekerja. Karena Banda, Belanda masih menjadi salah satu negara terkaya di dunia. Bersama dengan cengkeh dan lada, pala membuat VOC menjadi perusahaan terbesar yang pernah ada dalam sejarah kapitalisme modern.
Apa yang terjadi di Banda bukanlah sebuah pengecualian pada waktu itu, karena itu juga terjadi di banyak tempat-tempat lain dan menyimbolkan penindasan dan kesengsaraan yang dialami oleh orang-orang dari negeri jajahan di berbagai belahan dunia. Ini berkebalikan dengan orang-orang di negeri jajahan, dimana Bangsa Eropa memperkaya dirinya sendiri. Lebih penting lagi, pertumbuhan sistem kapitalisme yang seperti ini masih eksis hingga sekarang. Terlepas dari keuntungan ekonomi yang masih dinikmati oleh Belanda, keberlanjutan sistem ini diilustrasikan oleh proses reproduksi kebohongan kolonial.
Cerita sesungguhnya tentang Banda adalah sebuah tantangan untuk keduanya, baik Belanda maupun Indonesia. Ini adalah panggilan untuk para individu, berbagai institusi, dan pemerintah untuk bersikap melawan distorsi sejarah dan melawan legasi dari kolonialisme. Di dunia yang semakin sadar akan dampak masa lampau, mengabaikan rasa sakit yang telah terjadi adalah hal yang tidak bisa diterima oleh orang-orang Wandan. Maluku, dengan Banda sebagai intinya, terkenal karena jaringan perdagangan bebasnya yang eksis ribuan tahun lalu sebelum para pendatang dari Barat sampai di pantai kami. Islam sebagai sebuah ciri khas dari perdagangan bebas dan keramahan terhadap tamu-tamu dari Barat ternyata tidak diapresiasi oleh para penjajah. Ironisnya adalah masyarakat Belanda sekarang terlibat dalam diskusi mengenai kolonialisme dan rasisme. Untuk orang-orang awam, hal ini terlihat seperti Belanda pada akhirnya siap untuk mengakui apa yang pendahulunya lakukan di masa lampau. Tetapi, kenyataan bahwa Sejarah Banda masih ditolak, membuktikan bahwa ini tidak seperti apa yang terlihat.
Bagi saya, rekonsiliasi adalah bukan hanya soal membuka masa lampau yang buruk. Rekonsiliasi sesungguhnya adalah dengan mengambil tanggung jawab untuk meluruskan ketidakadilan yang termasuk mengoreksi kebohongan. Ini adalah sesuatu yang belum dimiliki oleh Belanda. Sekarang, banyak dari mereka yang menganggap dirinya sendiri sebagai anti kolonial dan anti rasis, tetapi gagal gagal menyebut penghapusan Sejarah Banda dengan apa adanya: sebuah pemalsuan sejarah yang disengaja.
Sebuah contoh yang tepat dari ironi ini adalah kunjungan yang baru-baru ini dilakukan oleh Duta Besar Belanda untuk Indonesia, Lambert Grijns ke Banda. Dia mengunggah video berbahasa Inggris untuk menyampaikan kepada para pengikut akunnya tentang perjalanannya dan sejarah VOC di sana. Saya terkejut karena menjumpai selama beberapa detik dia menunjukkan buku yang ditulis oleh Marjolein. Meskipun begitu, dia tidak memaparkan isi dari buku tersebut dan tidak menggaris bawahi adanya penghapusan sejarah. Jika dia memang ingin menghadapi kenyataannya, dia seharusnya melakukan perjalanan ke Kei daripada ke Banda untuk meminta maaf kepada pemimpin kami atas apa yang negaranya lakukan kepada kami. Kenyataan bahwa dia tidak melakukannya membuktikan kepada saya bahwa Belanda masih mempunyai kepentingan untuk memanipulasi narasi untuk melindungi kepentingan mereka di Indonesia.
Sementara itu, pengakuan dari para penyintas kami sebagai sebuah komunitas menjadi sebuah kesempatan untuk memahami masa lampau dan belajar dari kesalahan yang sudah dilakukan. Untuk kami selaku diaspora, rasa sakit yang telah ditumbulkan kepada pendahulu kami harus diakui. Tetapi, selama “dekolonisasi” hanya digunakan sebagai sebuah slogan kosong belakang untuk melindungi kenyataan yang dihapuskan tentang pusat komunitas kami di Ambon, Kei, dan di seluruh kepulauan di Nusantara, kami tidak bisa berbicara soal perubahan. Sejarah kami disimpan dalam keheningan. Sekarang, waktunya kami untuk membagikan Sejarah Wandan.
—