Aktivitas utama yayasan ini adalah menerjemahkan publikasi-publikasi terkini dari media Belanda dan Indonesia terkait masa kolonial dan perang kemerdekaan Indonesia (1945-1949).
Kami menyadari bahwa selain jarak yang terpisah begitu jauh, perbedaan budaya dan bahasa juga menjadi kendala dalam mewujudkan pemahaman bersama. Orang Belanda mungkin tertarik mengetahui sudut pandang jurnalis dan sejarawan Indonesia terhadap masa kolonial, termasuk aksi militer Belanda. Demikian juga sebaliknya; orang Indonesia mungkin terkejut dengan pemikiran dan sentimen orang Belanda terhadap masa kolonial. Sebagai kepingan informasi, upaya penerjemahan kami juga bertujuan mendukung penelitian sejarah dan proses pencarian kebenaran. Titik tolak kami secara eksplisit bersifat dekolonial, yaitu gagasan bahwa pendudukan kolonial dan segala sesuatu yang terkait dengannya adalah pelanggaran hak asasi manusia yang berat.
Namun, hasil-hasil terjemahan kami sendiri mungkin mengandung pemikiran dan gagasan kolonial, dan terkadang bahasa yang menyakitkan. Dalam banyak kasus, artikel yang kami terjemahkan telah diterbitkan sebelumnya. Kami tidak menerbitkan artikel orisinal. Oleh itu, kami tidak menerima artikel yang belum diterbitkan. Kami bukan platform publikasi biasa. Hal yang sama berlaku untuk artikel yang hanya tersedia dalam bahasa Belanda atau Indonesia saja. (Kami menerima publikasi bahasa Inggris karena bahasa ini berfungsi sebagai ‘jembatan’ antara bahasa Belanda dan Indonesia.) Upaya utama kami adalah menghimpun terjemahan untuk mengatasi hambatan bahasa. Secara umum, Histori Bersama bertujuan memberikan wawasan tentang berbagai gagasan, betapapun menyakitkan dan salahnya gagasan itu. Pandangan dan pendapat yang diungkapkan di situs web ini adalah milik penulisnya sendiri dan tidak selalu mewakili pandangan Histori Bersama.
Histori Bersama secara resmi didirikan pada 20 September 2016 di Rotterdam.
Marjolein van Pagee – Pendiri dan bendahara
Sebuah foto kuno kakek saya dengan seragam militer memicu saya menggali apa yang dialaminya dalam perang kemerdekaan Indonesia (1945-1949). Saya temukan bahwa beliau bergabung dengan Marinir Belanda di Surabaya antara tahun 1947 sampai 1949. Penemuan foto ini memberi saya semangat untuk memulai proyek foto dan wawancara berjudul “Kembang Kuning”. Sejak 2010, saya telah mewawancarai dan memotret lebih dari 50 veteran maupun saksi mata dari pihak Belanda dan Indonesia. Dari beberapa kunjungan ke Jawa Timur, saya menemukan banyak perbedaan sudut pandang sejarah antara orang Indonesia dan orang Belanda. Bagi orang Indonesia, perang kemerdekaan merupakan penanda lahirnya sebuah negara bebas. Sementara orang Belanda masih mengalami kesulitan mengungkap dan menghadapi kebenaran tentang sekitar 350 tahun penjajahan dan perang kemerdekaan yang mengikutinya.
Di seluruh dunia, tidak banyak orang yang bisa berbahasa Belanda. Akibatnya Belanda lolos dari banyak pelanggaran HAM. Diskusi kontemporer sering kali tetap berpusat pada Belanda, tanpa perbandingan dari luar. Melalui Histori Bersama, saya ingin mendobrak hambatan bahasa untuk mengungkapkan kepada orang luar apa yang sedang terjadi di Belanda.
Marjolein adalah fotografer, sejarawan, dan penulis. Dia mendapatkan gelar Master dalam Sejarah Kolonial dan Global dari Universitas Leiden.
Dewan
Daniël Samar – Ketua
Saya anak sulung dari tiga bersaudara dengan nenek yang berasal dari Kalimantan dan kakek dari Tanimbar. Ayah saya, bersama orang tuanya, datang ke Belanda pada tahun 1951. Dia menetap di Achterhoek (Belanda Timur), di mana dia bertemu seorang wanita Belanda kulit putih, yang menjadi ibu saya. Mereka memiliki tiga anak. Saya suka mengatakan bahwa setiap orang yang terlibat dalam sejarah Belanda-Indonesia terwakili dalam diri saya, namun tidak berarti saya mengetahui sejarah ini. Di masa muda, saya sering merasa terlantar dan berpikir ‘apa yang saya lakukan di sini, mengapa saya di sini, sosok saya tidak seperti teman-teman Belanda [kulit putih].’ Di Zutphen tempat saya dibesarkan, ada komunitas Hindia yang cukup besar. Saya menghabiskan banyak waktu dalam komunitas ini, yang meningkatkan minat saya kepada sejarah Indonesia. Itulah langkah kecil pertama dalam pencarian saya untuk menemukan kepingan informasi yang dapat menjawab pertanyaan saya. Bagi saya, perjalanannya panjang di mana, sedikit demi sedikit, saya mulai menemukan apa yang terjadi di masa lalu. Saya menyadari bahwa versi sejarah yang diceritakan di Belanda tidak benar. Dalam perspektif Belanda, Hindia Belanda adalah ‘bekas jajahan’, di mana mereka ‘hadir’. Mereka tidak pernah menggunakan istilah ‘penjajah’ untuk menggambarkan peran mereka.
Istilah ini saja sudah menunjukkan betapa terfragmentasinya sejarah kolonial di Belanda. Fragmentasi ini tidak hanya berdampak pada produksi sejarah itu sendiri, atau lebih tepat dikatakan pemalsuan sejarah, tetapi juga pada saya sebagai seseorang yang sedang mencari jawaban. Pemalsuan ini berdampak buruk terhadap kita sebagai manusia yang berdarah daging, bukan diska keras tempat mengunggah informasi. Saya terus merasa kesenjangan yang dialami para peneliti Indonesia untuk mempelajari sejarah di sini sebagai sesuatu yang bermasalah. Kesenjangan ini membuat sejarah Belanda sangat Eurosentris. Dalam pekerjaan saya sebagai musisi dan produser, peran utama saya adalah menghubungkan manusia melalui musik. Peran ini membuat saya berhubungan dengan budaya yang berbeda. Saya telah bekerja di Jerman selama lebih dari 10 tahun dan tinggal di sana selama 5 tahun. Mereka menangani masa lalu mereka dengan sangat berbeda dibandingkan Belanda. Saya terkejut bahwa orang Belanda hanya tahu sangat sedikit tentang Indonesia, tetapi orang di luar Belanda tahu lebih sedikit lagi, terutama terkait sejarah. Itulah mengapa keberadaan Histori Bersama sangat penting.
Daniel Samar adalah musisi dan produser musik.
Asri Prasadani – Sekretaris
Saya lahir dan besar di Belanda. Namun saya selalu menyadari identitas keIndonesiaan saya. Saya adalah putri dari orang tua Indonesia dan saya bersyukur bahwa kedua orang tua saya selalu berbicara kepada saya dalam bahasa Indonesia, karena bahasa adalah salah satu kunci paling penting untuk memahami budaya. Selain bahasa, mereka mengajari saya kesadaran terkait isu sejarah dan politik. Karena latar saya ini, sejak awal saya sadar betapa berbedanya sejarah kolonial yang diajarkan di sekolah, dan saya terpukul ketika mengetahui bahwa buku pelajaran sejarah Belanda masih merujuk pada tahun 1949, bukan tahun 1945, sebagai tahun kemerdekaan Indonesia. Menyangkut hubungan antara bekas penjajah dan terjajah, penting mendengar cerita dari kedua belah pihak secara kritis, karena satu sumber saja tidak pernah cukup atau sepenuhnya benar.
Asri menyelesaikan sarjana (S1) di Kajian Agama dan sekarang sedang menulis tesis masternya untuk Kajian Agama dan Kebijakan di VU Amsterdam.
—
Penterjemah:
Saya adalah peneliti kajian budaya yang fokus pada isu-isu kontemporer seperti poskolonial, media sosial, budaya pop dan industri budaya.
Latar belakang pendidikan saya adalah Sastra Inggirs (S1), Kajian Budaya dan Media (S2) dan Ilmu Filsafat (S2).
Saya terlibat di beberapa proyek seperti mendirikan Brikolase: Pusat Kajian Seni dan Budaya Kontemporer, sebagai penerjemah di Histori Bersama dan menginisiasi beberapa diskusi dekolonial yang diunggah di YouTube serta menjadi peneliti dalam proyek penelitian budaya.
Saya juga telah menerbitkan 4 buku saya tentang kajian budaya yang mengulas tentang isu-isu kontemporer tentang Indonesia dan global.
Sekarang saya bekerja sebagai dosen di Yogyakarta dan pemimpin redaksi di media lokal, PortalYogya.com.
Email: yongky.gp@gmail.com
—