Selamat datang di laman Histori Bersama. Aktivitas utama kami mengutamakan penerjemahan publikasi actual dari media Belanda dan Indonesia mengenai penjajahan di masa lalu. Kami percaya bahwa – selain jarak yang jauh – juga keterbatasan bahasa menghalangi pemahaman utuh tentang sejarah dan dunia dimana kita hidup saat ini.
Untuk memeriksa basis data kami: silahkan bernavigasi ke ‘terjemahan’ dan pilih sesuai dengan metode pilihan yang ada. Terjemahan dapat dicari berdasarkan topik, nama media, penulis, negara, tahun, penerjemah.
PRESENTASI MENDATANG TENTANG HASIL PENELITIAN 1945-1949 YANG DISPONSORI PEMERINTAH BELANDA
Pengecualian sistematis terhadap orang-orang Indonesia yang kritis
Sejak tahun 2006, Jeffry Pondaag, ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (K.U.K.B.) telah berhasil mengajukan tuntutan hukum terhadap Negara Belanda atas nama korban perang [Kemerdekaan] Indonesia. Pada tahun 2011 mereka memenangkan kasus pertama. Sebuah berita dunia! Pemerintah Belanda harus membayar ganti rugi kepada sejumlah janda dari desa Rawagede, Jawa Barat.
Langkah hukum ini memicu perdebatan nasional di Belanda tentang kejahatan perang Belanda yang dilakukan di Indonesia antara 1945-1949. Pada tahun 2012, tiga direktur dari Institut Linguistik Kerajaan, Geografi dan Etnologi (KITLV), Institut Sejarah Militer Belanda (NIMH) dan NIOD Institut Perang, Kajian Pembinasaan dan Genosida, bersama-sama meminta dana tambahan kepada pemerintah untuk melakukan investigasi skala besar pada periode tersebut. Awalnya, pemerintah menolak mendanai proyek semacam itu.
Sementara itu, semakin banyak korban perang Indonesia yang mengajukan tuntutan melalui K.U.K.B. Termasuk kasus janda dan anak-anak dari orang yang dibunuh oleh tentara Belanda di Sulawesi Selatan pada tahun 1947.
Pada akhir 2016, pemerintah Belanda mengumumkan akan mengalokasikan 4,1 juta euro untuk proyek penelitian skala besar. Menurut narasi resmi, pemerintah Belanda menjadi yakin akan perlunya studi semacam itu setelah mereka membaca penelitian Doktoral dari Rémy Limpach. Yang pada kemudian bekerja sebagai pegawai pemerintah Belanda di NIMH yang berada langsung di bawah Kementerian Pertahanan [Belanda]. Dia membantu pengacara negara [Belanda] dalam verifikasi sejarah atas tuntutan K.U.K.B. Judul proyek tersebut adalah Kemerdekaan, Dekolonisasi, Kekerasan dan Perang di Indonesia, 1945-1950 (https://www.ind45-50.org). Hasilnya dipresentasikan secara daring pada 17 Februari 2022.
Hebatnya lagi, Jeffry Pondaag tidak diundang sebagai salah satu pembicara pada acara pembukaan proyek yang digelar pada 14 September 2017. Padahal, meskipun tim peneliti mengaku bekerja sama dengan sejarawan Indonesia, tidak ada Perwakilan Indonesia hadir malam itu.
Kemudian selanjutnya, bersama dengan Fransisca Pattipilohy Indonesia, Pondaag memutuskan untuk menulis surat terbuka kepada pemerintah Belanda dengan keberatan yang substansial terhadap proyek tersebut. Surat itu didistribusikan dalam 3 bahasa melalui situs web kami (Bahasa Belanda, Bahasa Inggris, dan Bahasa Indonesia). Pada akhirnya, 138 orang dan/atau organisasi menandatangani surat terbuka tersebut. Seiring berjalannya waktu, Yayasan Histori Bersama menjadi wadah para kritikus kajian tersebut.
Sayangnya, media Belanda hampir sepenuhnya mengabaikan surat protes ini. Selama bertahun-tahun, Pondaag dan Pattipilohy tidak pernah diwawancarai bersama untuk menjelaskan keberatan mereka. Dalam beberapa kasus pengecualian mereka diwawancarai terpisah satu sama lain, sementara surat itu merupakan inisiatif dari mereka berdua.
Selain itu, para penandatangan dalam surat itu, yang kritis terhadap proyek penelitian ini, mengalami banyak kesulitan untuk menerbitkan opini-opini di media Belanda. Kebanyakan dari mereka ditolak. Menariknya, surat kabar Indonesia berbahasa Inggris, The Jakarta Post, tampaknya tidak mempermasalahkannya dan langsung menerbitkan beberapa artikel ini.
Download PDF surat terbuka disini
Temukan ikhtisar terjemahan yang menyebutkan tentang proyek penelitian Belanda di sini: https://historibersama.com/_topic/riset-belanda-45-49/?lang=id
1. Acara Pembukaan Proyek penelitian yang disponsori oleh pemerintah Belanda – 14 September 2017
(Bahasa Belanda dengan subtitle Bahasa Inggris)
2. Video Siaran Langsung Presentasi (naskah) Surat Terbuka – 19 Oktober 2017
(Bahasa Inggris)
3. Pemerintah Belanda membalas surat terbuka, 9 Februari 2018
Tanggapan Kementerian Luar Negeri Belanda terhadap Surat Terbuka
4. Pertemuan Publik Kedua tentang Proyek Penelitian Belanda, 13 September 2018
5. Pesan video Francisca Pattipilohy
6. Diskusi Meja Bundar Tertutup antara Kritikus dan Peneliti, 31 Januari 2019
(Bahasa Inggris)
Closed Meeting between Critics and Researchers, NIOD, January 2019
7. Siaran Pers, 24 Juli 2019
“Proyek Penelitian Belanda, Kekerasan di Indonesia (1945-1950) Tidaklah Independen dan Tidak Adil”
https://historibersama.com/pembuktian-penelitian-belanda-1945-1949-tidaklah-independen-dan-tidak-adil/?lang=id
8. Pondaag dan Pattipilohy mengirim surat kedua kepada pemerintah Belanda, 23 Oktober 2019
Pada November 2017, Jeffry Pondaag dan Francisca Pattipilohy berinisiatif menulis surat terbuka berisi pertanyaan terkait penelitian yang disponsori pemerintah Belanda “Kemerdekaan, Dekolonisasi, kekerasan dan perang di Indonesia, 1945-1950”. Sekarang, dua tahun kemudian mereka mengirim surat kedua, karena mereka merasa kekhawatiran mereka tidak ditanggapi dengan serius.
Surat Terbuka Kedua untuk Pemerintah Belanda dari Jeffry Pondaag dan Francisca Pattipilohy
9. Pemerintah Belanda membalas surat kedua Pondaag dan Pattipilohy
Dalam surat tertanggal 17 Desember 2019, pemerintah Belanda menulis bahwa proyek penelitian tentang kekerasan (1945-1949) sepenuhnya independen dan oleh karena itu mereka tidak akan menjawab keberatan substantif Pondaag dan Pattipilohy. Pemerintah [Belanda] tidak menanggapi bukti yang menunjukkan hubungan langsung antara Negara [Belanda] dan tim peneliti, melainkan menulis bahwa mereka tidak dapat mengomentari tuntutan hukum yang masih berlangsung. Surat tersebut menyangkal bahwa terjemahan Bahasa Indonesia beserta promosi atas buku [yang ditulis] Limpach telah dibayar dari anggaran penelitian 4,1 juta euro. Namun, sejak halaman pertama versi bahasa Indonesia menyatakan bahwa NIMH mendanai penerjemahan, itu berarti semakin banyak uang pemerintah yang dikeluarkan.
10. Pondaag dan Pattipilohy menanggapi pemerintah lagi pada 23 Desember 2019
Sekali lagi Pondaag dan Pattipilohy menanggapi pemerintah dalam sebuah surat pendek, menyatakan bahwa mereka merasa tidak dihargai oleh penolakan pemerintah untuk menjawab pertanyaan mereka dengan benar.
Jawaban Pattipilohy dan Pondaag atas tanggapan Menteri Luar Negeri Belanda