Keberatan terhadap penelitian Belanda tentang ‘Dekolonisasi, kekerasan dan perang Indonesia selama 1945-1950’
(Jeffry Pondaag dan Francisca Pattipilohy mengawali inisiatif untuk surat terbuka ini setelah Histori Bersama memutuskan untuk memaparkan kekhawatiran mereka dan membuat ini disadari publik.)
Dengan ini, kami meminta perhatian anda mengenai keberatan kami terhadap pendekatan yang diambil tim penelitian ‘Dekolonisasi, kekerasan dan perang Indonesia 1945-1950’.
Sebagai pengantar, sebelumnya pada 14 September lalu, Pemerintah Belanda telah meluncurkan riset baru tentang perang kemerdekaan Indonesia yang akan dilakukan di sejumlah tempat seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Bali. Proyek ambisius senilai 4,1 juta Euro atau sekitar Rp 65 miliar ini akan dikerjakan oleh tiga lembaga Belanda, yakni Lembaga Ilmu Bahasa, Negara, dan Antropologi Kerajaan Belanda (KITLV); Lembaga Belanda untuk Penelitian Perang, Holocaust, dan Genosida (NIOD); serta Lembaga Penelitian Belanda untuk Sejarah Militer (NIMH), selama empat tahun.
Komentar kami di bawah ini merupakan respons terhadap struktur serta cakupan dari penelitian tersebut seperti yang ditampilkan di situs web proyek (https://www.ind45-50.org/id) serta maksud presentasi dari ketiga lembaga di atas.
Pada intinya, kami mendukung adanya banyak penelitian mengenai topik ini. Akan tetapi kami tujukan keberatan kami terhadap pertimbangan politik dan cara penataan serta pembinaan penelitian tersebut.
Singkatnya, Kami menyatakan bahwa penelitian ini tidak bebas dari kepentingan-kepentingan tertentu. Kami berpendapat bahwa ada beberapa hal yang kami anggap penting, (akan tetapi) tidak masuk dalam cakupan penelitian ini.
Pertimbangan pengadaan penelitian
Pertama-tama, Kami mengajukan beberapa pertanyaan mengenai pertimbangan pemerintah Belanda yang tiba-tiba menyetujui dilakukannya penelitian baru mengenai topik ini.
Sedikit informasi bahwa Pemerintah Belanda sebelumnya pernah menolak usulan penelitian yang diajukan tiga lembaga tersebut pada 2012 lalu. Kemudian bulan september 2016 lalu, Rémy Limpach (Swiss-Belanda dari Universitas Bern-Jerman) menerbitkan penelitian promosi sebuah buku berjudul De Brandende kampongs van Generaal Spoor (atau Kampung Dibakar oleh Jenderal Spoor.) Buku itu bercerita tentang kekejaman yang sangat ekstrim yang dilakukan oleh pasukan Belanda. Sesaat setelah penerbitan buku itu, tiga lembaga tersebut mengajukan kembali penelitian dan akhirnya disetujui.
Kami patut menyangka, penerbitan buku De Brandende kampongs van Generaal Spoor (atau Kampung Dibakar oleh Jenderal Spoor) yang ditulis oleh Limpach adalah salah satu pendorong utama pemerintah Belanda mengambil keputusan tersebut.
Kami mempertanyakan mengapa justru penelitian Rémy Limpach ini yang dapat meyakinkan pemerintah? Apakah penelitian tersebut menghasilkan penemuan-penemuan baru, sehingga pemerintah menyadari perlunya diadakan penelitian baru terhadap masalah ini?
Pertanyaan-pertanyaan ini sangat penting karena patut diduga ada peran ganda lembaga pemerintah NIMH, tempat Limpach bekerja yang juga salah satu lembaga yang terlibat dalam penelitian tersebut.
Bagaimana dengan penelitian dan upaya lain dari peneliti lain yang telah lama fokus terhadap masalah ini? Seperti Yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda (K.U.K.B.) yang dipimpin oleh Jeffry Pondaag yang mendampingi korban pembantaian yang dilakukan tentara Belanda di Indonesia pada periode antara 1945-1949.
Tuntutan dari yayasan K.U.K.B. terhadap pemerintah Belanda di pengadilan memang berhasil memaksa pemerintah Belanda untuk menyatakan permintaan maafnya dan para janda korban penembakan menerima ganti rugi sebesar € 20,000. Sejak 2008, K.U.K.B. dengan sukses memenangkan tuntutan para korban di Indonesia di pengadilan negeri melawan pemerintah Belanda, dimana sebagian dari tuntutan tersebut masih berlangsung. Banyak penemuan fakta-fakta baru yang muncul dari tuntutan di pengadilan ini.
Oleh karena itu kami mempertanyakan mengapa pemerintah Belanda baru menyetujui diadakannya penelitian mengenai masalah ini setelah terbitnya buku Limpach? Dengan mendukung buku Limpach di satu sisi dan mengabaikan K.U.K.B. di sisi lain, di sinilah letak ketimpangan dan peran ganda.
Konflik Kepentingan
Sepertinya bukan sebuah kebetulan ketika pemerintah yang awalnya menolak usulan penelitian itu kemudian mengabulkannya setelah seorang peneliti (Limpach) yang juga ternyata bagian dari Kementerian Pertahanan menerbitkan sebuah buku.
Bagian yang paling meragukan lainnya dari keterlibatan NIMH di penelitian baru ini adalah Limpach dan timnya pernah bertanggungjawab atas verifikasi sejarah terkait Indonesia.
Pada suatu saat, Limpach pernah melakukan embargo terhadap disertasinya sendiri —naskah aslinya ditulis dalam bahasa Jerman—hingga terjemahan bahasa Belanda rampung. Sangat mengherankan karena hasil penelitiannya itu sangat terkait dengan kerja Liesbeth Zegveld, seorang pengacara yang mengatasnamakan keluarga dari korban perang Indonesia saat itu.
Zegveld pernah mengajukan keberatannya terhadap embargo ini pada Oktober 2015, karena ia menganggap penelitian Limpach bisa menjadi bahan untuk kasusnya dan pemerintah memiliki informasi tambahan, seharusnya hasil penelitian itu bisa menjadi data yang dapat diakses oleh publik. Itu berarti, Pemerintah Belanda patut diduga menggunakan keahlian Limpach untuk mempertahankan posisi mereka. Juga, peran ganda yang disandang NIMH dan Limpah adalah bukti bahwa ada konflik kepentingan dalam kasus ini.
Hal serupa pernah terjadi pada Penelitian Pembantaian Srebenica dimana NIMH dengan sengaja tidak dilibatkan, mengapa hal serupa tak bisa dilakukan pada kasus ini?
Fakta lain bahwa penelitian ini seakan-akan menjauhkan Yayasan K.U.K.B. adalah hal lain yang patut dipertanyakan. Begitu pula dengan tidak disertakannya yayasan ini dalam Panitia Kelompok Masyarakat dan tidak diundangnya Jeffry Pondaag untuk berbagi pandangannya serta cerita di balik mengapa ia terpanggil untuk terlibat secara aktif dengan masalah ini selama bertahun-tahun.
Patut ditekankan pula bahwa penelitian ilmiah yang dilaksanakan oleh Limpach dibiayai oleh universitas asing, dan NIMH baru merangkul penelitian tersebut setelah pengumuman hakim bahwa permintaan maaf serta kompensasi, adalah sebuah realitas politik.
Pemerintah menentukan prasyarat
Lepas dari pengadilan dan NIMH, kami merasa khawatir dengan kemungkinan telah terjadi negosiasi politik agar masalah-masalah tertentu lebih ditonjolkan dibanding yang lain. Misalnya, bahwa masalah kekerasan yang dilakukan oleh pejuang-pejuang Indonesia pada masa Bersiap —Periode 1945 sampai 1946, dikenal Belanda sebagai periode ‘Bersiap’, – diwarnai dengan kekerasan terhadap banyak orang Belanda, Indo-Belanda, Tionghoa, dan orang-orang Indonesia yang dituduh menjadi antek-antek Belanda. Periode Bersiap ini dikenang orang-orang Belanda yang jadi korban kekerasan sebagai ‘periode kacau-balau’— dianggap sebagai subyek yang penting.
Hal ini merupakan salah satu syarat yang dituntut oleh VVD (partai liberal) pada saat melakukan lobi, karena menurut mereka ‘dimana dua pihak bertikai, kedua pihak pula bersalah’.
Direktur NIOD Frank van Vree pada 9 Februari 2017 menulis kepada Tweede Kamer (DPR) bahwa ketiga lembaga sangat setuju dengan syarat-syarat pemerintah (kabinet) mengenai inti dan struktur dari penelitian ini.
Sangatlah mencolok untuk kami saat melihat bahwa struktur dari penelitian ini mirip dengan keinginan serta visi dari pemerintah Belanda yang kelihatannya telah terinspirasi oleh rekomendasi yang dituangkan Limpach pada bagian penutup bukunya. Nampaknya pemerintah Belanda bukan hanya akan membiayai penelitian ini, akan tetapi menentukan isinya pula.
Kolonialisme tidak permasalahkan lagi
Walaupun mantan Menteri Ben Bot pada tahun 2005 memberi pernyataan bahwa Belanda berada pada sisi yang salah pada saat perang penjajahan Belanda, struktur penelitian baru ini tidak menampilkan kesan bahwa dengan peryataan tersebut ada perubahan persepsi terhadap posisi Belanda di era perang kemerdekaan Indonesia melawan penjajahan Belanda antara 1945 hingga 1950.
Penelitian ini akan diawali oleh analisa kekerasan pada kedua pihak, akan tetapi mengasumsikan bahwa terjadinya perang penjajahan merupakan hal yang wajar.
Nampaknya penelitian ini merasa sanggup menjelaskan kekejaman Belanda dengan meneliti melalui kaitan yang luas mengenai dekolonisasi pasca perang: (internasional) pada tingkat politik, administrasi, yudisial, dan militer.
Akan tetapi kami menyatakan bahwa titik awal dari penelitian ini seharusnya adalah bahwa keberadaan pemerintahan Hindia Belanda di Indonesia merupakan hal yang tidak sah, karena penjajahan Belanda di Indonesia merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), oleh karena itu penyerangan dan penempatan wilayah merupakan pelanggaran hukum, begitu juga halnya dengan keberadaan bagian militer Belanda yang tidak secara langsung melakukan kejahatan dalam peperangan.
Peneliti KITLV Henk Schulte Nordholt telah meringkas secara tepat dimana letaknya ketimpangan pemerintah Belanda dalam pembahasan masa penjajahan Indonesia: “Keberadaan penjajah Belanda di Indonesia tidak pernah merupakan masalah yang perlu dianalisa. Dimana masalah kekerasan dibicarakan, kita selalu mengatakan bahwa hal itu adalah sesuatu pengecualian, suatu kejadian langka, efek dari transisi, dalam pengertian seolah-olah suatu kecelakaan, padahal permasalahan tersebut merupakan sesuatu yang terjadi sebagai hal yang struktural… hal seperti itu sangat enggan diungungkapkan oleh para penulis sejarah penjajahan Belanda di Indonesia.” Schulte Nordholt memberi pernyataan ini tujuh belas tahun yang lalu, akan tetapi pernyataan tersebut hingga saat ini masih tetap berlaku.
Keberatan kami adalah bahwa cara pandang tentang penjajahan pada masa lampau (dan masih terus berlanjut hingga kini) sama sekali tidak dipermasalahkan. Oleh karena itu sangatlah tidak jelas bagaimana pembahasan tentang perang kemerdekaan Indonesia yang sensitif dan bermasalah itu masih menggunakan cara pandang terhadap penjajahan itu. Dalam rangka mencari jawaban atas mengapa pendudukan pemerintah Belanda di Hindia Belanda berlangsung dengan begitu banyak kekerasan, kami berpendapat bahwa beberapa pokok dari struktur penelitian ini perlu disesuaikan:
1) Struktur penelitian perlu berangkat dari titik permasalahan konteks dari konsep penjajahan kolonial dan pengaruhnya terhadap hubungan serta pandangan pada saat ini.
2) Para peneliti Indonesia berhak untuk diberikan peran yang penting dalam penelitian ini.
3) Pemerintah Belanda seharusnya tidak menentukan persyaratan-persyaratan baik atas struktur, maupun isi dan makna dari penelitian ini. Begitu juga halnya dengan lembaga-lembaga yang berkaitan dengan masalah penelitian yang secara politik sangat sensitif ini seharusnya tidak dilibatkan dalam penelitian.
4) Menurut kami penulisan ringkasan sintesis tidak mungkin dilakukan oleh satu orang. Kami berpendapat bahwa keputusan direktur KITLV Gert Oostindie sebagai penulis ringksan tersebut pun merupakan hal yang tidak bisa dipertanggungjawabkan, karena beliau bukan pakar sejarah Indonesia dan tidak bisa berbahasa Indonesia.
Lihat Lampiran dalam PDF untuk penjelesan lebih terperinci dari empat pokok permasalahan diatas:
138 Nama-nama yang menandatangani:
Jeffry Pondaag (Ketua K.U.K.B.)
Francisca Pattipilohy
Dida Pattipilohy
Iwan Faiman
Surya Nahumury
Nico Vink
Rosa te Velde
Dr. Ethan Mark (Chair and University Lecturer of Asian Studies, Universiteit Leiden)
Alfred Birney
Patricia Kaersenhout
Yvonne Rieger-Rompas (Dueren, Jerman)
Prof. dr. Saskia E. Wieringa (Universiteit van Amsterdam)
Dr. R.A. (Reza) Kartosen-Wong (writer and lecturer in Media and Cultural Studies, Universiteit van Amsterdam)
Lara Mariette Nuberg
Kester Freriks
Linda Lemmen
Arjanti Sosrohadikoesoemo
Teddy Rachmat
Max van der Werff
Doorbraak
Elselies Vierhout
Max van Lingen (International Socialists)
Dr. Carolyn Nakamura
Prof. Dr. K. Cwiertka (Modern Japan Studies, Universiteit Leiden)
P. Jong Loy (Ketua Vereniging Opo Kondreman)
Marjolein van Pagee (Pendiri Histori Bersama)
Dr. Rushdy Hoesein (Universitas Indonesia)
Prof. Dr. Boudewijn Walraven (professor emeritus, Universiteit Leiden)
Sander Philipse
Dana Mclachlin
Sylvia Dornseiffer
Lev Nisan Gunti
Rob van Asdonck
H. van Kasbergen (Sekretaris AFVN-Bond van Antifascisten)
P. van Griensven (Bendahara AFVN-Bond van Antifascisten)
A. Graaff (Juru Bicara van de AFVN-Bond van Antifascisten)
Michael van Zeijl (De Grauwe Eeuw)
Prof. Dr. Egbert Dommering (Special professor Information Law, Universiteit van Amsterdam)
Bari Muchtar
Daniel Chandra Lubis
Fred Papenhove
William Deymann
Ady Setyawan (Roode Brug Soerabaia)
Yita Dharma
Frans Vermeulen
Abdul Rohman (Probolinggo, Jawa Timur)
Stephany Iriana Pasaribu
Arjan Onderdenwijngaard (Rumah Kahanan, artspace Depok)
Maurits Rade
Kaleb de Groot
Saida Derrazi (Comité 21 maart)
André Marques
Marjan Boelsma
André Kaïjim
Tess Verbaarschot
Willem Bos (SAP/grenzeloos)
Max de Ploeg
Hagar Michel
Irwan Lubis S.H.
Patty D. Gomes
Simone Zeefuik
Dr. Patricia Schor
Eileen Matthijssen
José Mooren
Marlesy K. Latumahina
Melita Tarisa
Wil Adriaans
Matthea Westerduin
Dirk Wanrooij
Fallon Does
Mikki Stelder (Amsterdam School for Cultural Analysis)
Anna de Ruiter
BIJ1
Radicaal
Brigitte Gabel
Dorine van Meel
Jasper Sparnaay
Sam Pormes
Makmur Sturing
D.E. Popov
Willem Rabbeljee
Michiel van Loo
S.C. Degener
drs. Feddo Oldenburger
drs. Carla Oldenburger-Ebbers
Marit van Splunter (Dekolonisatie netwerk voormalig Nederlands-Indië)
Sarieke de Jong (Dekolonisatie netwerk voormalig Nederlands-Indië)
Jazie van Veldhuyzen (Dekolonisatie netwerk voormalig Nederlands-Indië)
Jasper Albinus (Dekolonisatie netwerk voormalig Nederlands-Indië)
Phaidra Johannis (Dekolonisatie netwerk voormalig Nederlands-Indië)
Bayu Junaid (Dekolonisatie netwerk voormalig Nederlands-Indië)
Ümidt Dag (Opticiens, Nederland)
Hj. Kasmawati Kadar (Makassar, Indonesia)
Hj. St Saerah (Makassar, Indonesia)
Karyadi Kadar (Makassar, Indonesia)
Kusniati Kadar (Makassar, Indonesia)
Suaeb Pasang (Makassar, Indonesia)
Muh. Fajri Salim (Makassar, Indonesia)
Joop Burgerhout (Psikolog, sosiolog, guru, Voorschoten)
Hans Boot (Redaksi Solidariteit)
Bert Maathuis (Almelo)
Anne-ruth Wertheim
Aboeprijadi Santoso
Karlijn Roex
Maja Pattipilohy
Carol Burgemeester
Tino Pattipilohy
Britte Sloothaak
Sjane de Fretes (Capelle aan den IJssel)
Eric Kampherbeek
Charlie Munster
Nyonky Resley
Adeh Salakory
Taskforce Maluku & Maluku Utara (Part of Global Network Diaspora Indonesia)
M. Kakisina
Flavia Dzodan
Pieter Anthony
Sasha Mahe (Parijs)
Federico Lafaire
Frieda Amran
Martin Basiang S.H. (Deputy Attorney General (Ret.) Republik Indonesia)
Charles Esche (Direktur Van Abbemuseum, Eindhoven dan Professor University of Arts London)
Frederico Lafaire
Armando Ello
Anneloes van der Horst
Thomas Rieger (Sejarawan, Hamburg, Jerman)
Fia Hamid-Walker (Public interests trainee lawyer, Melbourne, Australia)
D.T. Sariman (Amsterdam)
Iben Trino-Molenkamp
Wahyu Iswandi
Prof. Dr. Jan Breman (Sociologist and special professor Erasmus University and Universiteit van Amsterdam.)
Peter Flohr
Dr. (Wim) Go Gien Tjwan
Dr. Annemarie Toebosch (Director of Dutch and Flemish Studies University of Michigan)
Yongky Gigih Prasisko
Roberto Refos
Vani Dias Adiprabowo
Hadi Purnama, Chair of Human Rights Center, Faculty of Law, Universitas Indonesia