Dari Grotius hingga Zegveld: 400 Tahun Hak untuk Menjarah
The Jakarta Post, 22 augustus 2020, oleh: Marjolein van Pagee
Netralitas International Criminal Court (ICC, Pengadilan Kriminal Internasional) menuai kritik setelah Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menjatuhkan sanksi keuangan dan pembatasan perjalanan pada bulan Juni bagi mereka yang membantu pengadilan dalam menyelidiki kejahatan yang dilakukan oleh Amerika Serikat (AS) dan sekutunya. Dunia menjadi heboh dan tercengang.
Menanggapi kehebohan itu, tiga politisi Kristen Belanda dari partai konservatif SGP menulis sebuah opini yang telah dimuat di surat kabar Belanda, Trouw. Tiga politisi tersebut berpendapat bahwa, negara-negara seperti AS, Inggris, dan Israel memiliki sistem hukum yang dapat diandalkan sehingga keberadaan pengadilan seperti ICC tidak diperlukan. Mereka bahkan menilai lebih jauh dengan menyatakan bahwa, nilai-nilai yang ada di ICC telah tertanam dalam tradisi hukum Belanda.
Tetapi, apakah berlakunya tradisi ini dengan telah memperhitungkan 400 tahun menjarah dan penjarahan?
Sejarah panjang kolonial Belanda telah menunjukkan bahwa hukum seringkali berfungsi sebagai dalih legitimasi untuk menjarah. Di bekas wilayah Hindia Timur, sekarang Indonesia, Belanda bahkan menerapkan sistem apartheid tiga tingkat yang secara hukum mendiskriminasi kelompok orang berdasarkan ras.
Serangkaian tuntutan hukum yang telah diajukan oleh Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) sejak 2008 terhadap pemerintah Belanda atas kekejaman mereka terhadap orang-orang Indonesia mengungkapkan bahwa, pengadilan sipil di Den Haag telah gagal untuk mencapai suatu putusan yang adil, adil dan di atas segala-galanya, sebuah putusan non-kolonial.
Jika melihat lebih dekat pada putusan-putusan tersebut, sejatinya telah menunjukkan bahwa semua tingkatan sistem hukum Belanda membenarkan terjadinya kolonialisme. Sementara pengadilan sipil di Belanda telah mengutuk negara Belanda atas kasus “excessive violence – kekerasan yang melampaui batas”, putusan tersebut didasarkan pada standar kolonial yang mencerminkan penolakan Trump untuk menuntut negaranya secara hukum atas kejahatan perang. Standar ganda ini berakar pada pemikiran kolonial Eropa Barat yang dimulai pada abad ke-17.
Jeffry Pondaag, seorang warga negara Indonesia yang telah tinggal di Belanda selama 50 tahun, memprakarsai tuntutan hukum ini dalam kapasitasnya sebagai ketua KUKB, juga bertindak sebagai mediator antara pihak penggugat Indonesia dengan penasihat hukum mereka di Belanda. Para pengacara yang mengadvokasi atas nama penggugat Indonesia adalah Liesbeth Zegveld dan Brechtje Vossenberg dari firma hukum Prakken d’Oliveira di Amsterdam.
Namun, betapapun berani dan bersejarahnya proses hukum yang dijalani, dengan membawa kejahatan perang Belanda ke dalam agenda peradilan, prosesnya tetaplah sangat kolonial.
Pada tanggal 25 Maret 2020, pengadilan sipil di Den Haag menjatuhkan hukuman kepada pemerintah Belanda atas kejahatan perang yang dilakukan di Sulawesi Selatan pada tahun 1947, tetapi banyak dari tuntutan pihak penggugat yang ditolak karena kurangnya bukti. Dari gugatan yang diterima, angka terendah yang diperintahkan pemerintah Belanda untuk membayar sebagai kompensasi adalah 123,48 euro (US $ 146,63).
Persoalan utamanya adalah bahwa antara negara Belanda, pengadilan sipil di Den Haag, dan para pengacara dari Amsterdam yang terlibat di dalamnya, semuanya berbicara tentang “tindakan militer yang dibenarkan” berbanding dengan “kejahatan perang”. Sehingga hanya tindakan kekerasan yang berada di luar hukum perang yang berpeluang untuk dijatuhi hukuman. Hal ini merupakan prinsip kolonial yang membedakan kekerasan “ekstrem” sebagai tindakan perang yang tidak dapat diterima dan tindakan perang “biasa” yang dibenarkan.
Atas dasar ini, eksekusi mati atas rakyat sipil Indonesia dan penganiayaan terhadap tahanan dianggap sebagai kejahatan perang, sementara kehadiran kolonial Belanda di Indonesia dipandang sah. Artinya, di mata mereka, menjadi sah sepenuhnya bagi seorang tentara Belanda untuk menembak mati seorang Indonesia yang membawa senjata untuk melawan upaya Belanda menduduki kembali Indonesia pada akhir 1940-an.
Alur pemikiran seperti ini juga terjadi di luar ruang persidangan, misalnya tentang studi dan penelitian yang disponsori pemerintah Belanda, “Independence, Decolonization, Violence and War in Indonesia, 1945-1950” (Kemerdekaan, Dekolonisasi, Kekerasan dan Perang di Indonesia, 1945-1950), juga didasarkan pada konsep kolonial tentang “kekerasan ekstrem”. Ketika Raja Belanda Willem-Alexander meminta maaf kepada Indonesia, dia tidak meminta maaf atas perang kolonial, dia hanya meminta maaf untuk “kekerasan ekstrem”.
Dengan demikian, kerabat orang-orang Indonesia yang menentang pendudukan Belanda tidak memiliki kesempatan untuk memperoleh keadilan, bahkan dimulai ketika mereka mengetuk pintu firma hukum di Amsterdam. Tampaknya, baik Zegveld maupun Vossenberg, tidak menganggap bahwa pendudukan kembali Belanda atas Indonesia itu bertentangan dengan hukum internasional. Paling tidak, mereka tidak secara kritis mengikuti hukum kolonial Belanda.
Selain itu, penggugat Indonesia yang menggugat negara Belanda tidak diakui sebagai warga negara Indonesia sampai 27 Desember 1949. Jadi, di pengadilan, mereka diberitahukan bahwa ayah dan suami mereka adalah masih warga negara Belanda pada saat mereka dibunuh.
Sejatinya, inti dari masalah ini adalah pertanyaan yang berulang kali diajukan Jeffry Pondaag: “Siapa yang memberi Belanda hak untuk menganggap wilayah yang berjarak 18.000 kilometer (sebagai) milik kolonial?”
Pada 1609, lebih dari 400 tahun yang lalu, pamflet “Mare Liberum” (Laut Bebas) diterbitkan sebagai langkah pertama yang diambil untuk membangun Kerajaan Belanda di seberang lautan. Kemudian, tujuh tahun setelah Perusahaan Hindia Timur Belanda (VOC) didirikan, Hugo Grotius menulis pidato berapi-api tentang “hak Belanda untuk berdagang di Hindia Timur”. Itu menjadi semacam dakwaan atas kekuatan kolonial Spanyol dan Portugis yang telah menetapkan diri mereka sebagai “penguasa” di kepulauan Indonesia seabad sebelumnya.
Klaim Grotius ini menyingkap kemunafikan Belanda yang sangat besar. Banyak argumen yang dia gunakan (di mana dia menggambarkan orang Spanyol dan Portugis sebagai penjajah yang tidak adil di “Hindia”) juga berlaku untuk pendudukan Belanda setelahnya. Sedangkan cara Grotius menulis tentang hak asasi tidak jauh berbeda dengan pemikiran kontemporer.
Pamflet menghilangkan argumen yang sering diulang-ulang bahwa kita harus melihat kekejaman kolonial “dalam konteks waktu itu”. “Mare Liberum” diterbitkan tepat sebelum Jan Pieterszoon Coen menghancurkan kota pelabuhan asli Jacatra (dulu Jayakarta, sekarang Jakarta) dan membantai penduduk Kepulauan Banda.
Hukum Internasional memuat garis demarkasi imajiner yang masih membagi dunia menjadi dua, antara penjajah dan yang terjajah. Sederhananya, kejahatan yang dilakukan oleh kekuatan Eropa Barat jarang bisa dibawa ke pengadilan internasional di Den Haag, selama itu menyangkut kerugian terhadap kekuatan non-Barat. Hingga saat ini, apa yang dialami oleh (bekas) orang-orang terjajah di bawah pendudukan kekuatan Barat, tidak memiliki peluang memperoleh keadilan di ICC di Den Haag, Belanda.
Sejak tatanan dunia semakin mengemuka, perbedaan yurisdiksi telah dibuat antara Eropa dan apa yang dianggap tindakan sah terhadap orang non-kulit putih di tempat lain di dunia. Misalnya, kekejaman Coen secara moral dikutuk selama berabad-abad, dengan sejumlah orang Belanda mengatakan bahwa dia “bertindak terlalu jauh” dalam membantai orang Banda pada tahun 1621; namun genosida secara umum diterima sebagai kejahatan yang “perlu” bagi VOC untuk mendapatkan monopoli atas perdagangan pala. Paling-paling, dicatat bahwa pendudukan itu mungkin bisa mengurangi kekerasan.
Sementara itu, cara Zegveld membahas kejahatan perang Belanda di Indonesia secara tidak langsung telah menggemakan pendirian Grotius. Meskipun keduanya mengakui bahwa hak asasi manusia itu berlaku universal, dan karenanya harus berlaku untuk semua orang di dunia. Tetapi di keduanya sama sekali tidak menentang ketika negara mereka menduduki tanah orang lain.
Sebaliknya, mereka menggunakan pengetahuan hukumnya untuk menghindari membahas legitimasi penjajahan kolonial Belanda, sehingga mempertahankan pendekatan kolonial dalam peradilan Belanda.
—
Penulis adalah sejarawan Belanda dan pendiri Histori Bersama Foundation