Surat Terbuka Kedua untuk Pemerintah Belanda dari Jeffry Pondaag dan Francisca Pattipilohy
23 oktober 2019
Pada November 2017, Jeffry Pondaag dan Francisca Pattipilohy memulai inisiatif untuk menulis surat terbuka dengan pertanyaan pertanyaan terkait riset yang didanai pemerintah Belanda “Kemerdekaan, Dekolonisasi, Kekerasan dan Perang di Indonesia 1945-1949”
Kini, dua tahun kemudian, mereka mengirim surat kedua, karena pemikiran mereka tidak ditanggapi dengan sungguh – sungguh. Surat ini telah dikirim pada hari rabu, 23 Oktober 2019 pada pemerintah Belanda (dengan salinan untuk pemerintah Indonesia. Juga melalui press release pada institusi media belanda dan Indonesia.)
Yang terhormat,
Bapak Rutte, Ibu Bijleveld dan Bapak Blok,
Bersama ini, kami kembali menuntut perhatian Anda untuk surat terbuka dari kami berisi kritik terhadap proyek penelitian Belanda “Kemerdekaan, Dekolonisasi, kekerasan dan perang di Indonesia, 1945-1950”. Surat terbuka ini dengan keberatan-keberatan kami, telah dikirimkan pada tanggal 27 november 2017 kepada ketiga kementerian terkait. Surat ini dijawab pada tanggal 9 februari 2018 oleh Bapak A.J. van den Berg, Kementerian Luar Negeri Belanda, pejabat sementara Direktur Asia dan Oceania.
Dalam jawabannya, Bapak Van den Berg mengacu pada Kamerbrief tertanggal 2 december 2016 karena di dalamnya terdapat acuan pada kasus-kasus hukum yang diajukan oleh Jeffry Pondaag dan yayasannya, Stichting Comité Nederlandse Ereschulden (K.U.K.B.). Pepatah bahasa Belanda “kluitje in het riet” dapat diterapkan pada jawabannya itu mengingat bahwa kami sendiri sudah mengacu pada Kamerbrief tersebut dalam surat kami tertanggal 27 november 2017. Sebaliknya, kami menyatakan bahwa Kamerbrief itu memanfaatkan kasus-kasus hukum itu untuk memberi kesan adanya niat baik penyelesaian masalah.
Pada waktu itu, kami tidak membalas surat dari Bapak Van den Berg karena ia meletakkan segala tanggungjawab atas isi penelitian pada para peneliti yang melakukannya. Ia menolak begitu saja tuduhan adanya konflik kepentingan dan sama sekali tidak membahas tiga belas poin yang termaktub di dalam lampiran surat terbuka itu. Karena itu, kami berpendapat bahwa membangun sebuah diskusi publik terlebih dahulu akan bermanfaat. Namun, ternyata bahwa hal ini sulit sekali dilakukan karena pada umumnya media yang ada tidak memberitakan bahwa proyek penelitian itu diserang (dengan pertanyaan). Selain itu, kami juga melakukan korespondensi yang komprehensif dengan ketiga direktur (lembaga-lembaga penelitian terkait). Komunikasi ini pun berjalan sulit. Usul kami untuk mengadakan diskusi publik ditolak. Argumen kami untuk mengadakan diskusi publik itu adalah bahwa penelitian itu dibiayai dengan dana dari pajak dan karena itu para peneliti wajib menanggapi kritik substantif di muka publik. Akhirnya, dengan enggan, mereka menyutujui untuk melakukan pembicaraan meja bundar yang tertutup pada tanggal 31 januari yang lalu di het Nederlandse Instituut voor Oorlogs-, Holocaust- en Genocidestudies (NIOD) di Amsterdam. Atas inisiatif kami, diskusi ini difilmkan sehingga dapat dilihat secara online. Berdasarkan diskusi itu, bulan Maret yang lalu, kami telah mempublikasikan laporan panjang-lebar yang kembali mengungkapkan dan menjelaskan keberatan-keberatan substantif kami pada penelitian itu.
Sayangnya, kritik kami selalu saja diabaikan: para peneliti terus saja melanjutkan pekerjaannya. Inilah yang menyebabkan kami kembali menghadap Anda. Pada dasarnya, kami tidak menentang penelitian itu sendiri; kami hanya menyatakan bahwa bila negara membiayai suatu penelitian dengan dana dari pajak, maka pertanyaan-pertanyaan berikut penting diungkapkan: siapa yang melakukan penelitian itu, apa yang sebetulnya diteliti dan apa yang menjadi kerangka teoretis penelitian itu? Seperti telah dijelaskan di dalam surat terbuka, sampai saat ini, kami belum menerima jawaban-jawaban memuaskan untuk pertanyaan-pertanyaan mendasar itu.
Sebelum Anda membaca lebih jauh, perlu kami jelaskan bahwa hal yang kami perhatikan bukanlah permasalahan yang disebut “Indische kwestie.” Dalam korespondensi dengan para politikus, tampak jelas bagi kami bahwa mereka tidak jelas membedakan antara yang Indisch dan yang bersifat ke-Indonesia-an. Untuk jelasnya: orang-orang yang mengusung masalah Indische kwestie menuntut pembayaran gaji yang selama masa pendudukan Jepang tidak dibayarkan. Mereka menganggap diri bukan sebagai orang Indonesia, melainkan sebagai warga Nederlands-Indisch (Hindia-Belanda) dan menerima begitu saja kehadiran Belanda sebagai penjajah di nusantara. Jeffry Pondaag dari stichting K.U.K.B. memperjuangkan hak-hak para korban kekerasan penjajahan dan mengambil sikap kritis terhadap kelompok Indische Nederlanders dan keturunan anggota-anggota KNIL bila mereka tidak (bersedia) mengakui bahwa peran yang mereka mainkan dalam periode 1945-1949 telah mempertahankan penjajahan Belanda.
Kami melihat adanya kaitan di antara kasus-kasus hukum (yang sedang diajukan) dan pendanaan penelitian. Pertanyaan kami adalah: bagaimana mungkin melihat adanya niat baik (menyelesaikan masalah) bila tuntutan-tuntutan dari Indonesia berkali-kali ditolak? Pretensi niat baik yang ditunjukkan oleh Kabinet dengan pemberian dana penelitian, menurut kami, hanya akal-akalan saja mengingat bahwa Negara justeru mengajukan naik banding dalam kasus penyiksaan Yaseman dan kasus perkosaan Nyonya Tremini. Tambahan pula, Negara menolak memperluas peraturan “de Bekendmaking” sehingga mencakup anak-anak dari orang-orang yang dieksekusi. Selain itu, bahan-bahan bukti dari Indonesia selalu dipertanyakan kebenarannya. Yang terakhir itu dilakukan atas saran dari het Nederlands Instituut voor Militaire Historie (Lembaga Penelitian Belanda untuk Sejarah Militer, NIMH), pelaksana penelitian. Studi itu memang meneliti kekerasan brutal, tetapi dalam penelitiannya, para korban sama sekali tidak menjadi perhatian. Lebih-lebih, dengan keterlibatannya, para peneliti itu berdiri di pihak Negara yang dulu tidak hanya merupakan pelaku (kekerasan), dan sekarang pun masih merintangi (pemberian) keadilan bagi para korban.
Juru Bicara Proyek Memberikan Bukti tak Terbantahkan
Inti kritik kami adalah adanya konflik kepentingan. Bukti-bukti hal ini disampaikan oleh juru bicara proyek penelitian itu sendiri. Pada tanggal 15 Juli yang lalu, melalui surat elektronik kepada kami, juru bicara itu membenarkan bahwa penelitian itu memang berkaitan dengan kasus-kasus hukum yang (sedang) diajukan. Peran NIMH sebagai pendukung dalam penolakan tuntutan-tuntutan Indonesia tercatat dalam pertanggungjawaban anggaran penelitian.
Sebelumnya, juru bicara mengacu pada lampiran dari Kamerbrief yang dikirimkan oleh Menteri Koenders pada bulan Februari 2017 kepada Majelis Rendah Parlemen Belanda. Dalam lampiran itu dapat dibaca bahwa sebagian dari anggaran yang diterima oleh NIMH terkait dengan “verifikasi tuntutan-tuntutan (di) Hindia.” Pada tanggal 15 Juli yang lalu, juru bicara itu menulis: “Ya, yang dimaksud memang merupakan penelitian verifikasi untuk kasus-kasus hukum K.U.K.B.”
Lampiran yang dimaksud di atas berisi penjelasan mengenai anggaran sebesar € 4,1 juta dan memberikan bukti tak terbantahkan bahwa penelitian itu berhubungan dengan kasus-kasus hukum yang (sedang) diajukan. Dengan demikian, penelitian itu jelas mendukung kepentingan pemerintah (Belanda), bukan kepentingan orang-orang Indonesia yang menjadi korban kekerasan brutal yang sedang diteliti.
Menjawab surat terbuka kami, Bapak Van Den Berg (atas nama Kementerian Luar Negeri) membela program penelitian itu dengan menyatakan bahwa para peneliti harus memenuhi tuntutan pelaksanaan penelitian yang mandiri/tak berpihak dan adanya komisi penasehat ilmiah internasional yang mengawasi agar penelitian itu memenuhi segala tuntutan ilmiah. Ketiga lembaga, KITLV, NIOD dan NIMH, sampai sekarang menyatakan diri sepenuhnya mandiri dan terlepas dari (kaitan) dengan pemerintah. Bahwa NIMH secara langsung berada di bawah Kementerian Pertahanan masih saja dianggap sebagai faktor yang tidak penting. Namun, Kamerbrief dari Menteri Koenders memberikan bukti tak terbantahkan akan tiadanya kemandirian itu. Juru bicara menjelaskan alasan mengapa penelitian verifikasi termasuk di dalam anggaran sebagai berikut:
“seperti diketahui, pada tahun 2012 sudah ada usulan yang diajukan oleh ketiga lembaga (tersebut), namun pada waktu itu, usul itu tidak diterima. Dalam permohonan subsidi yang kedua dan anggaran (untuk tahun 2016), lembaga-lembaga itu menunjukkan bahwa di dalam tahun-tahun antara, mereka tidak berdiam diri dan terus mengumpulkan pengetahuan mengenai periode 1945-1949, dalam berbagai proyek (masing-masing). Untuk kegiatan di tahun-tahun 2012-2016, NIMH melaporkan: 2,5 fte = 2,5 tahun orang/pekerja.”
Sebagai pembanding: program penelitian yang sekarang sedang dijalankan mencakup 38 fte/tahun penelitian. Ini berarti bahwa pekerjaan pendahuluan bagi studi itu tidak hanya digunakan untuk menolak tuntutan-tuntutan, tetapi juga dimanfaatkan untuk menentukan/menetapkan anggaran penelitian.
Penolakan Tuntutan-tuntutan Indonesia Terakhir Ini
Sekali lagi, yang membuat konflik kepentingan imoral adalah kenyataan (bahwa) studi itu hendak meneliti kekerasan brutal, namun melakukannya tanpa meletakkan korban-korban kekerasan itu sendiri sebagai pokok perhatian. Bagaimana pegawai NIMH juga ikut membantu menghambat keadilan bagi para korban juga tampak dari korespondensi terakhir dari pengacara negeri (Pels Rijcken) yang ditujukan kepada Ibu Prof. mr. L. Zegveld dan Ibu mr. A. Vossenberg dari kantor pengacara Prakken d’Oliveira.
Dalam sebuah surat tertanggal 16 September yang lalu, Negeri Belanda mengumumkan bahwa pemerintah menyangsikan (kebenaran) tuntutan empat orang janda Indonesia karena kurangnya pembuktian. (Ini terkait tuntutan dari: Mari, Tija, Ida, Sani dan Nandong). NIMH ditugaskan untuk sekali lagi melakukan penelitian verifikasi historis. Setelah itu, barulah pemerintah bersedia mengambil keputusan mengenai permohonan untuk pemberian penggantian kerugian (kompensasi).
Kasus lain terkait duel di Amparita pada tanggal 11 februari 1947 di mana seorang warganegara Indonesia, La Miru, ditembak mati, sesudahnya. Juga dalam penolakan baru-baru ini (4 september yang lalu) terhadap kasus itu, tampak peran menentukan yang dimainkan oleh NIMH. Di satu pihak, NIMH membenarkan bahwa fakta mengenai tempat dan tanggal terjadinya duel itu sesuai dan didukung oleh kepustakaan yang diacu oleh mereka, namun di lain pihak, mereka menyatakan bahwa sumber-sumber (itu) tidaklah memberikan kepastian mengenai siapa yang terlibat di dalam duel itu dan siapa yang kemudian dihukum mati oleh orang-orang Belanda. Pemerintah menerima sepenuhnya konklusi dari NIMH dan kemudian mengklaim bahwa tak ada bukti bahwa La Miru dipidana hukum mati. Yang menjadi masalah adalah bahwa pegawai NIMH hanya mengacu pada arsip-arsip Belanda saja sehingga tentu saja akan diperoleh gambaran peristiwa yang sepihak karena arsip-arsip itu merupakan arsip dari pelakunya sendiri. Jelas bahwa pada waktu itu, Nederland tidak mendokumentasikan segala kejahatan di atas kertas.
Walaupun saran dari NIMH dipertimbangkan dengan berat dan serius (sehingga pemenuhan tuntutan keadilan bagi para korban terhambat), cara kerja mereka yang tidak lengkap dan berpihak tidak pernah dipertanyakan. Para pegawai NIMH tidak berbicara langsung dengan saksi-saksi di tempat kejadian; dan mereka juga tidak mempelajari dokumentasi dari Indonesia. Hal terakhir inilah yang justeru dilakukan oleh Stichting K.U.K.B. Selama bertahun-tahun, mereka telah mengumpulkan dan memiliki sejumlah besar kesaksian yang telah direkam. Namun demikian, terkait hal ini, pemerintah menyatakan bahwa pernyataan-pernyataan lisan tidak cukup dapat diverifikasi. Pemerintah menyangsikan kesahihannya karena kesaksian-kesaksian itu diperoleh melalui intervensi K.U.K.B. Walaupun NIMH sendiri melakukan pekerjaan dengan tidak sempurna, namun pemerintah menuduh bahwa kesaksian para korban Indonesia tidak benar. Hambatan bahasan juga menjadi salah satu hal yang dikeluhkan: tidak semua penjelasan dianggap telah diterjemahkan sepenuhnya (dengan baik). Padahal, di masa lalu, pemerintah Belanda sendiri tidak memberikan pendidikan bahasa Belanda kepada rakyat jajahannya dan tidak mendaftarkan mereka. Bahwa banyak orang Indonesia yang lahir sebelum 1942 tidak mengetahui kapan tepatnya mereka lahir bukanlah menunjukkan bahwa mereka tidak dapat dipercayai, melainkan menunjukkan bahwa kebijakan penjajahan Belandalah yang menciptakan situasi itu.
Ringkasnya, inilah alasan-alasan yang diajukan pemerintah untuk menganggap kesaksian dan bukti yang disampaikan sebagai tidak memadai. Dari sini, tampak nyata peran ganda dan imoral NIMH sebagai pelaksana penelitian dan menunjukkan juga keengganan nyata pemerintah negeri Belanda yang hanya memanfaatkan penelitian itu untuk berpura-pura memiliki niat baik.
Pada tanggal 1 Oktober yang lalu, pengadilan di Den Haag memutuskan kasus-kasus hukum yang diajukan oleh anak-anak dari korban-korban yang dihukum mati di Sulawesi Selatan. Sebelumnya, di bulan Juni, dua orang di antaranya (Bapak Monji dan Ibu I Talle) datang ke Belanda untuk memberikan kesaksian di pengadilan di Den Haag. Hakim telah memutuskan bahwa pemerintah tidak dibenarkan untuk menggunakan alasan daluwarsa. Pengakuan pentingnya usaha dan pekerjaan stichting K.U.K.B. diberikan oleh pengadilan dengan membenarkan bahwa para korban Indonesia mengajukan kasus ke pengadilan setelah yayasan K.U.KB. memberitahu adanya hak-hak mereka (untuk melakukan itu). Pengadilan juga menunjukkan pengertian dan penghormatan terhadap kenyataan bahwa yayasan itu hanya terdiri dari dua orang relawan saja yang berkeliling untuk mencari orang-orang yang berhak mengajukan pengaduan dan menginformasikan kepada mereka kemungkinan-kemungkinan yang ada (untuk mendapatkan keadilan). Pengadilan juga mengakui bahwa hal ini merupakan proses yang berjalan lamban. Pernyataan dari pengadilan itu kontras sekali dengan cara pemerintah merendahkan kesaksian yang diberikan oleh para korban Indonesia.
Yang secara umum tampak jelas adalah bahwa dalam pembelaannya, pemerintah bolak-balik mengulang pernyataan bahwa tidak semua tindak perang Belanda di Indonesia dapat didefinisikan sebagai hal yang melanggar hukum. Dalam pembelaan, berulang-kali dibicarakan tentang “adanya korban dari kedua belah pihak dalam konflik itu.” Dalam kenyataan, pemerintah tidak mengakui bahwa pendudukan kolonial/penjajahan pada dasarnya, tidak legitim. Padahal PBB telah menyatakan bahwa kolonialisme dalam segala waktu merupakan pelanggaran hukum dan dalam segala hal merupakan pelanggaran hak-hak azasi manusia.
Peneliti Belanda melecehkan peneliti Indonesia
Bukti adanya konflik kepentingan muncul ketika Jeffry Pondaag ingin tahu universitas mana saja di Indonesia dan siapa saja peneliti yang terlibat di dalam proyek penelitian Belanda. Karena proyek itu terkait dengan uang pajak maka ia menuntut kejelasan mengenai pembayaran uang itu. Sebagai jawab, juru bicara mengacu pada penjelasan mengenai anggarannya.
Dokumen pemerintah yang dimaksud tidak menyebutkan nama-nama, namun jelas menunjukkan bahwa peneliti-peneliti Indonesia secara substansial memperoleh penghasilan (dari penelitian itu) yang jauh lebih sedikit dibandingkan dengan kolega-kolega Belandanya. Seorang peneliti senior Belanda berpenghasilan €68.000 per tahun sementara seorang peneliti Indonesia hanya memperoleh penghasilan €16.500 per tahun. Sebelumnya, tim penelitian itu menyatakan bahwa mereka menggaji 4 orang peneliti Indonesia; kini, mereka menyatakan bahwa jumlah peneliti sudah menjadi 12 orang, ditambah dengan pemimpin proyek di Indonesia, Prof. Bambang Purwanto. Namun, berapa banyak dari anggaran total yang disampaikan kepada universitas-universitas di Indonesia, tetap tidak jelas. Juga tidak jelas universitas mana saja yang dilibatkan; hanya keterlibatan Universitas Gajah Mada (UGM) saja yang dapat dipastikan. Tim penelitian bersembunyi di balik argumen bahwa tim penelitian di Indonesia sepenuhnya bekerja mandiri. Menurut mereka, jawaban atas pertanyaan itu seharusnya dijawab oleh orang Indonesia itu sendiri.
Direktur NIOD, Van Vree menjelaskan misteri dan kesan sembunyi-sembunyi itu terjadi karena bila ‘para nasionalis Indonesia’ mengetahui siapa saja yang terlibat di dalam penelitian Belanda maka peneliti-peneliti Indonesia itu akan terancam. Hal ini memutar-balikkan permasalahan. Pertama-tama: siapa yang dimaksudkan dengan istilah ‘para nasionalis’ itu? Siapakah Van Vree sehingga ia menggeserkan pertanggungjawabannya sendiri ke tangan yang disebutnya para nasionalis Indonesia itu? Sebagai pimpinan proyek, ia wajib mempertanggungjawabkan dan mengumumkan nama-nama peneliti dan universitas di Indonesia (yang terlibat) kepada kita karena dana sebesar 4,1 juta euro itu merupakan uang rakyat. Bila penelitian itu memang merupakan penelitian yang murni dan tulus maka tentunya tak akan ada apa pun yang perlu disembunyikan. Lagipula, bila ia bicara mengenai nasionalis: bukankah para ‘nasionalis’ Belandalah yang pertama-tama bertanggung jawab atas terjadinya masalah ini?
“Kemandirian” yang dikatakan dimiliki oleh tim Indonesia tidak cocok dan sejalan dengan ‘kerjasama erat’ yang dibeberkan pada waktu kick-off penelitian itu. Menurut juru bicara, yang dimaksudkan dengan kerjasama erat adalah bahwa hasil akhir penelitian Indonesia nantinya akan dimasukkan ke dalam satu kumpulan artikel penelitian yang sama. Ini, tentu saja, tidak sama artinya dengan kerjasama yang erat. Untuk bekerjasama dengan erat, para peneliti setidak-tidaknya harus secara teratur saling berhubungan, bertemu muka, (saling) berkonsultasi dan bersama-sama, dalam kedudukan yang setara, menggagas pertanyaan-pertanyaan penelitian. Selama ini ada penggambaran yang tak benar, tidak hanya pada waktu kick-off, tetapi juga di dalam media-massa.
Awalnya, kemandirian yang diminta oleh Bambang Purwanto sama sekali tidak diungkapkan. Baru setelah Jeffry Pondaag menanyakan nama-nama para peneliti Indonesia, terdengar jawaban: “hal itu harus ditanyakan kepada orang Indonesia karena mereka (bekerja) mandiri.” Dengan cara ini, istilah ‘kerjasama erat” versus “kemandirian” para peneliti itu digunakan hanya bila perlu saja. Kemandirian, jelas, tidaklah untuk digunakan sebagai alat menghindari pertanyaan-pertanyaan yang sulit. Tidaklah benar bila peneliti-peneliti Belanda meletakkan pertanggungjawabannya ke tangan (pihak) Indonesia dan bersedia menyebutkan nama-nama para peneliti dan universitas-universitas di Indonesia (yang terlibat). Karena hal ini terkait dana dari pajak, kami menuntut keterbukaan dalam permasalahan ini. Kami memohon, dan mendesak, dengan hormat, agar nama-nama peneliti dan universitas-universitas itu diumumkan.
Kerangka Teori
Satu hal lagi di dalam surat terbuka kami yang sampai sekarang tidak mendapatkan jawaban adalah pertanyaan mengenai kerangka teori apa yang digunakan oleh tim penelitian. Kekerasan yang terjadi dalam periode 1945-1950 tidak dianalisis berdasarkan latar belakang tiga abad penjajahan di Indonesia, sementara hal itulah sebetulnya yang seharusnya menjadi inti. Kami berpendapat bahwa rasisme tidak menjadi tema yang memayungi kesembilan bagian program penelitian itu. Kami khawatir bahwa konsep-konsep kemandirian, dekolonisasi dan kekerasan tetap dan hanya dijelaskan dengan pendekatan eropa-sentris dan bahwa pendekatan timur dan historiografi tidak diperhitungkan. (Hal ini nyata dari sikap melecehkan yang ditunjukkan oleh pemerintah dalam menghadapi dan menyangsikan kesaksian-kesaksian Indonesia dalam kasus-kasus di pengadilan). Di dalam penelitian itu, kami tidak melihat adanya usaha untuk mendekolonisasi cara berpikir ala penjajahan Barat. Terlepas dari kenyataan bahwa rejim penjajahan Belanda telah ditaklukkan Jepang pada tahun 1942, oleh para peneliti, dekolonisasi digambarkan sebagai proses militer yang baru selesai pada tahun 1949. Padahal dekolonisasi tentunya juga merupakan proses mental yang mencoba membongkar berabad-abad kebohongan-kebohongan kolonial yang masih saja tertanam di setiap orang.
Akhirnya, kami ingin tahu apakah betul bahwa Prof. Bambang Purwanto dan Prof. Henk Schulte Nordholt telah diinterogasi oleh pihak keamanan Indonesia terkait peran mereka di dalam penelitian itu. Kami juga ingin tahu tentang pendanaan penerjemahan buku Rémy Limpach ke dalam bahasa Indonesia. Dalam terbitan bahasa Indonesia, tertera (di dalam buku itu) bahwa NIMH adalah yang membiayai penerjemahan itu. Apakah dapat dibenarkan bahwa sebagian dari anggaran penelitian yang sebesar 4,1 juta euro digunakan untuk menerjemahkan buku itu? Apakah perjalanan penulis buku itu (dan perjalanan Ireen Hoogenboom, KITLV) ke Indonesia juga dibiayai dengan dana itu juga?
Salam,
Jeffry Pondaag dan Francisca Pattipilohy
(Penggagas surat terbuka tertanggal 27 november 2017)
—