Author Country Year Topic , , , Translator ,

Apartheid dalam Kritik Sastra – Oleh Alfred Birney

Apartheid dalam Kritik Sastra 

Oleh: Alfred Birney, penulis De Tolk van Java (The Interpreter from Java) yang terjemahan Bahasa Inggrisnya dirilis pada September 2020.

Artikel ini pertama kali dimuat dalam Bahasa Belanda di Yournael van Cyberney (2001) hlm 149-161, Diterjemahkan dalam Bahasa Inggris oleh Wanda Boeke, diterbitkan dalam Writers on Writing, disunting oleh Maurice A Lee (2005) hlm 91-98.
Diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia oleh Batari Oja Andini

Jika diminta untuk mencetak rekor, saya akan melihat berapa lama waktu yang saya butuhkan untuk menulis cerita pendek (cerpen) atau novel. Rekor kecepatan saya untuk “lari jarak dekat” adalah tiga hari, untuk “lari jarak jauh” adalah sembilan bulan. Itu rekor kecepatan saya, sementara rekor kelambatan saya lebih menarik. Saya menulis novel terpanjang saya selama dua belas tahun dan membutuhkan waktu yang sama untuk menulis salah satu cerpen saya. Cerpen itu dimuat dalam satu-satunya buku kumpulan cerpen saya, salah satu buku terbaik saya dan juga satu-satunya yang sangat sulit bagi saya untuk diterbitkan. Penerbit saya terkesan dengan gaya dan ragamnya, tetapi mereka menerbitkannya dengan penuh keengganan. Mengapa? Karena cerpen jarang laku di Belanda. Benarkah begitu?

Cerpen memiliki sejarahnya sendiri. Jika Anda ingin menjadi penulis di pertengahan tahun tujuh puluhan, ada jalur yang telah ditetapkan. Cara yang sangat ideal adalah memulainya dengan menulis puisi, lalu menjamah ke cerpen, dan kemudian melompat ke novel. Katanya, hampir semua arus yang datang melalui jalur itu. Menulis puisi sebagai latihan mencari gaya, cerpen sebagai latihan jari. Dalam konteks ini, puisi tentu saja dengan patuh dianggap sebagai bentuk seni sastra tertinggi, tetapi novellah yang menjadi isu utama yang dibicarakan di ruang sastra. Sementara, di antara genre-genre ini [novel dan puisi], cerpen bagaikan tanah tak bertuan.

 

Jika jalur tradisional ini benar-benar memiliki aspek yang positif, maka hal khusus yang menjadi perhatian adalah gaya. Sayangnya, gaya semula dipahami sebagai cara kepenulisan cendikia. Jika Anda, seorang penulis baru, yang memiliki pengetahuan sangat baik tentang karya-karya klasik [dan memamerkan pengetahuan Anda itu dalam tulisan Anda], maka Anda tinggal duduk manis saja di dalam dunia sastra ini, karena Anda telah membuktikan bahwa Anda bukan orang awam dalam dunia kesusastraan. Begitulah jika karya klasik Barat yang menjadi bekal Anda, tidak ada yang perlu dikhawatirkan lagi.

Itulah masa di mana orang tidak lagi berbicara tentang cerpen, tetapi tentang ‘teks’. Jadi, Anda mengirimkan teks ke jurnal sastra. Para editor jurnal, yang biasanya juga adalah penulis, meninjau teks dan mengembalikannya kepada Anda dengan komentar tentang gaya Anda, dan, dalam skenario terbaik, mereka akan meminta untuk mengirimkan tulisan lain lagi. Sebuah cerpen yang ‘mengangkat’ isu tertentu, yang disebut ‘anekdot’, merupakan tulisan yang memalukan, dosa yang besar, dan langsung masuk neraka, keranjang sampah. Hanya dengan sebuah cerpen yang tidak terjadi apa-apa di sana, Anda membuktikan bahwa Anda mampu menulis, justru dengan tidak terjadi apa-apa itu.

Debut di salah satu jurnal sastra itu penting. Bagaimanapun juga, jurnal-jurnal tersebut diterbitkan oleh penerbit-penerbit besar di Amsterdam. Di sana, mereka dapat terus memantau evolusi Anda sebagai penulis dan melihat apakah sudah ada tulisan tentang Anda di koran, apakah reviewer sastra yang paling berpengaruh sudah memandang Anda. Jika sudah, Anda bisa datang untuk ngobrol. Apakah kemudian tulisan Anda akan cepat dimuat? Tidak. Anda bagaikan arak yang harus disimpan di gudang bawah tanah mereka. Kemudian berkembang sedemikian rupa sesuai dengan norma-norma mereka. Akhirnya: Anda ditakdirkan menunggu di dalam kandang kuda mereka, penantian Anda adalah cap persetujuan label mereka yang bagaikan visa di paspor Anda untuk menuju ke khalayak sastra.

Pada masa itu tidak ada penulis dari kaum minoritas memulai debutnya di penerbit yang mapan. Para penulis itu bicara dalam Bahasa Belanda yang lain, dan buruknya lagi: mereka benar-benar memiliki sesuatu untuk diceritakan, terutama cerita-cerita yang orang-orang Belanda lebih suka tidak mendengarnya atau pura-pura tidak mendengarnya. Para penulis ini pergi ke penerbit yang lebih kecil, penerbit yang idealis, yang kemudian akan melihat mereka pergi secara bergiliran ke penerbit yang lebih kaya, begitu para penerbit komersil itu mencium aroma uang.

Pada tahun tujuh puluhan, sebuah novel atau kumpulan cerpen bisa menunggu di rak toko buku selama tujuh tahun sampai akhirnya ditemukan oleh khalayak umum. Sekarang, cukup tujuh minggu saja. Prosesnya pertama kali dikurangi menjadi dua tahun pada periode delapan puluhan, ketika penerbitan sastra mulai menjadi bisnis besar. Penulis tidak lagi dinilai dari karyanya saja, citra mereka juga mulai diperhitungkan dengan serius. Citra memberikan reputasi, dan jika perlu, bisa bertahan dengan konten tulisan yang lebih sedikit daripada latihan jari, yakni menulis sastra itu sendiri. Jadi kendi-kendi arak di gudang bawah tanah milik para jurnal sastra itu pun mulai membusuk. Orang-orang harus keluar dari belakang meja editor dan mulai menebarkan jaring mereka. Mulai saat ini, ikan harus segera dibawa ke darat setelah ditangkap, diasinkan, lalu siap disantap.

Ini adalah pukulan telak bagi puisi. Mulai sekarang orang akan membolak-balik jurnal sastra untuk mencari cerpen. Apakah kemudian cerpen dievaluasi ulang karena ini? Tidak. Justru sebaliknya, karena Anda hanya perlu menulis satu cerpen, semacam uji coba. Satu cerpen bagus yang harus memuat keseluruhan koleksi yang penuh dengan picisan dan omong kosong itu. Bahkan, jika sebelumnya cerpen hanyalah sebuah batu lompatan ke novel [sebagai genre akhir yang ultima]: pada akhirnya, genre menjadi hal yang utama, yang kini juga menjadi hal praktis dan eksklusif.

Oleh karena itu, sungguh aneh jika di zaman sekarang ini, ketika informasi semakin hari semakin bertambah dan orang ingin semakin banyak mengkonsumsi informasi melalui berbagai sumber, cerpen tidak ditanggapi dengan serius. Tidaklah mengejutkan bahwa semua orang yang membeli buku-buku megaseller “berdaging” itu dan semua reviewer yang membahas buku-buku itu juga menonton televisi di malam hari, menjelajahi internet selama satu jam atau lebih, pergi ke bar setempat, dan pergi ke konser, atau museum, pameran, dan apa pun yang disebut kehidupan budaya. Dengan cara hidup yang demikian, tampaknya genre cerpen akan sangat cocok.

Kelihatannya aneh, tetapi novel yang berdaging membiarkan dirinya dibaca lebih cepat, untuk tujuan interpretasi, dia membiarkan halaman-halamannya yang tidak begitu meyakinkan itu dibolak-balik. Sementara kumpulan cerpen menghadirkan tantangan yang jauh lebih sulit: pembaca harus memulai sebuah buku baru dari setiap cerita sebagaimana adanya. Apalagi dan terutama, cerita yang bagus tidak memiliki kalimat dan tentunya halaman yang bisa dilewatkan. Cerita itu tidak mengijinkan dirinya untuk dikonsumsi dengan mudah, jika cerita itu bagus maka dia akan minta dibaca berulang-ulang. Kumpulan cerpen dari seorang penulis saja membutuhkan lebih banyak waktu dan perhatian dari pembaca, serta dari kapasitas pengamat untuk memberikan masukan yang arif. Buktinya perhatian yang lebih besar tertuju pada karya antologi. Para reviewer memetik beberapa penulis dan selebihnya mereka biarkan. Kumpulan cerpen saya pun malah menghasilkan cerita yang cukup bagus setelah dibaca oleh reviewer. Lebih lanjut tentang ini akan dibicarakan nanti.

Ketika saya mulai menulis dengan serius, yang artinya, menulis dengan tujuan untuk penerbitan, saya memiliki satu masalah. Ini mungkin terdengar agak ambigu, tetapi saya memiliki gudang senjata yang cukup besar sekaligus kompleks yang dapat saya gali. Ayah saya lahir di negara yang dahulu disebut Hindia Belanda, ibu saya di Belanda. Mereka bertemu di Belanda setelah Perang Dunia Kedua dan di sana lah mereka memberikan saya hidup, atau menghidupkan saya, sebuah pertanyaan tak terucapkan yang bergema di seluruh karya saya.

Ijinkan saya menceritakan orang tua saya sebentar. Dalam kebanyakan kasus yang melibatkan perkawinan beda ras, hubungannya adalah sebagai berikut: suaminya adalah orang Belanda, istrinya keturunan campuran atau bukan, berasal dari Hindia Belanda. Tapi orang tua saya sebaliknya. Ibu saya, sebagai seorang wanita kulit putih, selalu dicurigai setiap kali dia jalan dengan anak-anaknya yang berkulit coklat. Dan ayah saya, seorang Indo[1], dianggap sebagai makhluk eksotis yang bagus untuk digebuki supaya kembali ke negara asalnya, dan sebaiknya jangan main-main sama wanita kulit putih. Bahwa dia, yang seorang keturunan campuran Eurasia, sudah memiliki paspor Eropa di Hindia Belanda dan pernah berjuang dalam kapasitas patriotik di pihak Belanda selama perjuangan kemerdekaan Indonesia, adalah hal-hal yang tidak diketahui oleh orang-orang Belanda di sini. Mereka pernah mengalami penjajahan Jerman dan siapa pun dengan sejarah yang berbeda dari itu tidak akan didengarkan, kecuali jika sesuatu yang “kolonial” melekat pada sejarah itu. Mereka mengabaikan bahwa Belanda berhutang sebagian besar kemakmurannya tepat pada bekas koloni Hindia Belanda itu demi kenyamanan mereka dalam mengajar di sekolah-sekolah.

Perang di Hindia Belanda — mula-mula adalah pendudukan Jepang, lalu perjuangan kemerdekaan Indonesia, dan terakhir eksodus 300.000 orang Eurasia yang mengungsi ke Belanda — telah membuat ayah saya trauma sedemikian rupa sehingga dia kehilangan asa untuk menjalani kehidupan ini, seperti membangun keluarga yang normal. Problema kehidupan sosial di Belanda, sangat berbeda dengan di negara kelahirannya, masalah komunikasi dengan istrinya, meskipun mereka bicara dalam bahasa yang sama, rasisme yang juga harus dijalani oleh anak-anaknya, dan khususnya persekusi tak berdasar, yang menjadi penderitaan yang ditanggungnya, membuat dia merasa tidak mungkin bertahan hidup dari waktu ke waktu. Dia terlalu memaksakan gagasan bahwa membesarkan anak-anaknya dengan kekerasan akan membuat mereka lebih tangguh di kemudian hari. Hukuman fisik yang keras yang dia berikan sangat tidak cocok dengan budaya di mana dia tinggal. Dan kegilaannya juga tidak cocok sama sekali. Saya berumur tiga belas tahun ketika keluarga kami berantakan. Kami, anak-anak, harus menghabiskan sisa masa remaja kami di panti.

Sebuah kehidupan baru, jauh dari cerita-cerita tentang perang yang ayah saya taruh di piring kami sebagai pencuci mulut setelah makan malam setiap hari. Suara lain menggantikannya: ketangguhan di dalam tembok panti, di mana hukum tak tertulis lebih berat daripada yang tertulis, di mana Anda harus memperjuangkan tempat Anda di antara dua belas anak laki-laki dalam satu ruang, yang semuanya dijaga oleh satu pemimpin kelompok. Eksistensi lain yang tidak kalah duniawinya dari kehidupan sebelumnya, dimana keluarga campuran dengan bentrokan budaya dan rasisme terselubung antar pasangan yang berada di luar pemahaman seorang anak. Jadi, pada usia delapan belas tahun saya terbebani oleh masa kecil saya sendiri, di waktu yang sama saya juga membawa “peninggalan-peninggalan” orang tua saya berupa kenangan tentang peperangan ayah saya di Hindia Belanda itu kemanapun saya pergi. Dan kemudian dunia terlihat sangat menjijikkan untuk dipijak. Pada satu titik, setidaknya saya sudah menumbuhkan rasa suka kepada pepohonan dan ladang di sekitar dinding panti. Kemudian saya berkelana dari kota ke kota dan membenci setiap tempat yang saya singgahi. Perlu sepuluh tahun sampai akhirnya saya menemukan ketenangan pikiran untuk tinggal di suatu tempat lebih dari semusim. Dan akhirnya saya juga menemukan ketenangan pikiran untuk menulis. Saat itu saya telah menginjak usia tiga puluh tahun, waktu yang cukup lama. Tapi apa yang harus saya tulis?

Masa kecil yang buruk adalah tambang emas bagi seorang penulis, katanya. Namun, bukan berarti Anda hanya perlu mengusap tangan di atas kertas begitu saja. Orang yang ingin menceritakan kisah hidup mereka, mungkin tanpa rasa cinta yang besar pada karya tulis, dapat dengan santai memuntahkan ceritanya begitu saja di atas kertas dan masuk ke sepuluh lotre buku teratas dengan cerita itu. Novel adalah kendaraan yang sangat baik untuk ini. Pastinya dewasa ini ketika sebuah buku pada dasarnya haruslah ‘gemuk’, apalagi ‘berdaging’. Banyak cerita tentang isu yang menarik untuk harga jual yang juga menarik. Buku-buku semacam itu akan membuat kritikus terkemuka sekalipun salah jalan. Anda sering menemukan banyak buku seperti ini di antara buku terlaris saat ini. Untungnya, beberapa di antaranya berasal dari imigran dan imigran generasi kedua, dan dipuji bukan karena nilai kesusastraan mereka, yang tidak bisa dikatakan cukup, tetapi mungkin atas propaganda tandingan yang terkandung secara implisit dalam buku-buku semacam itu. Kritikus Belanda hampir semuanya berkulit putih dan saya dapat mendengar mereka bersorak diam-diam: lihat betapa indahnya negara kita yang demokratis dan berpikiran terbuka? Mereka menyediakan seluruh halaman surat kabar untuk satu buku seperti itu, memprofilkan diri bahwa mereka progresif atau setidaknya benar secara budaya, dan keesokan harinya mereka kembali memproduksi omong kosong mereka dengan pemikiran, khususnya perasaan, Barat tradisional.

Tentu saja cerita hidup masih bisa diterbitkan. Tapi diutamankan oleh novelis yang ingin tetap latihan jari di antara usaha-usaha dan jari mereka yang kapalan mengetik koleksi metroprose mereka di pasaran, cerita yang seperti hamburger yang Anda konsumsi di antara perhentian 1 dan 3. Cerita yang hambar, tetapi ada nama-nama terkenal tercetak di bagian atas. Jika penulis sendiri tidak menganggap serius cerpen, maka reviewer kemungkinan besar juga akan demikian.

Saya tidak langsung merapel semua pekerjaan, seringnya saya berlatih gaya yang pernah membuat jurnal sastra tidak bisa dibaca. Seni linguistik tanpa alur cerita yang jelas bisa sangat menarik, tetapi terutama bagi mereka yang ingin belajar menulis atau bagi mereka yang sudah banyak membaca, keahlian adalah satu-satunya hal yang masih dapat memikat mereka. Ketika saya menulis cerita pertama saya, saya sangat disibukkan dengan bentuk dan gaya. Cara kerja ini memberi saya keuntungan besar karena tidak harus menyibukkan diri dengan masa lalu, diri saya sendiri, ibu saya, atau ayah saya dan keluarganya yang adalah pemilik perkebunan Hindia Belanda, dan tentu saja hal-hal lain seperti warna kulit saya. Jadi, saya juga belajar menulis tulisan dengan memandang rendah elemen naratif. Saya tidak menjadikan hal ini sebuah kebiasaan karena yang saya inginkan adalah bercerita, cerita-cerita itu harus dikeluarkan. Jadi saya mulai mencari keseimbangan antara bentuk dan isi. Apakah saya mencari sesuatu yang mirip dengan makna sastra yang tinggi? Tidak, saya mencoba menyatukan bakat dan “peninggalan-peninggalan” yang saya bawa tadi itu, dan pada hakikatnya saya berbicara tentang sesuatu yang sama sekali berbeda.

Para reviewer tampaknya memiliki pembagian kerja atas mata mereka: mata kiri untuk bentuk dan mata kanan untuk isi. Dengan mata kiri mereka melihat cerita dari para penulis “autochtoon”[2]. Dengan mata kanan melihat cerita oleh para penulis yang disebut sebagai “allochtoons”[3] di Belanda (mereka memilih menggunakan istilah ini untuk menghindari penyebutan “imigran” atau “imigran generasi kedua,” yang ternyata belum selesai dan sejauh yang saya ketahui sangat munafik). Sekarang mata kanan itu cukup malas. Tidak sulit melihat karya para imigran dari budaya non-Barat. Mata kanan itu melihat, tetapi melihat berbeda dengan mengakui. Tetap saja, kedua mata itu mengalami kesulitan dalam melihat karya para penulis yang memiliki campuran budaya Barat dan Karibia atau Barat dan Asia. Para penulis Indo termasuk dalam kelompok darah campuran terakhir ini. Jadi saya juga.

Cerita dalam kesusastraan Belanda yang latarnya adalah di “negara-negara rendah” biasanya membosankan. Temanya hampir tidak berbeda dari yang ada di sastra Eropa lainnya. Sudah menarik dengan sendirinya, tapi banyak cerita Belanda kehilangan brille [pendapat], tidak memiliki schwung [jiwa]. Sastra kolonial dan pascakolonial jauh lebih tidak membosankan, dan lebih kuat: cerita-cerita dari bagian waktu ini seringkali dapat digambarkan spektakuler. Bukan kebetulan bahwa mahakarya dalam sastra Belanda seluruhnya atau sebagian mengambil latar di Hindia Belanda. Ini adalah tiang yang menjadi sandaran semua sastra Belanda.

Pada akhirnya, isi selalu diperhitungkan. Hidup tidak terlalu membosankan di seberang lautan sana. Koloni itu menggoda Belanda untuk melakukan perbuatan-perbuatan berlebihan yang tidak bisa diterima di kampung halaman sendiri. Anda hanya perlu membaca beberapa cerita dari literatur kolonial untuk menemukan kebiadaban, amoralitas, korupsi, misogini, pembunuhan, kehausan akan kekuasaan, praktik sihir, rasisme, seksisme, konflik linguistik, kekonyolan, dan kecemaran. Lalu apakah ini juga motif yang mereka harapkan dari seorang penulis Indo pascakolonial dan pascaperang? Saya khawatir begitu. Saya percaya orang-orang bagaimanapun juga ingin melihat sebuah sekuel, meskipun yang lebih disukai adalah yang dikemas dalam perspektif yang problematis. Jika Anda memiliki latar belakang ras campuran, maka Anda harus punya masalah. Jika tidak, Anda tidak punya tantangan. Jadi, dilema yang lazim muncul: apakah Anda mewakili kelompok ayah Anda, kelompok ibu Anda, atau keduanya? Dan: jika Anda mewakili kedua kelompok, apakah “secara alamiah” diri Anda dan segenap kemampuan Anda sedang melakukan hal yang paling benar? Saya lebih suka mengembalikan pertanyaan ini dan mengatakan bahwa saya mewakili kedua kelompok, selama saya tetap jujur ​​pada diri saya sendiri. Bagaimanapun juga, saya merasa bahwa inilah yang dimaksud “secara alamiah”.

Mengapa Anda tidak memberi cerita Anda latar Eurasia? Saya ditanyai pertanyaan ini ketika saya menerbitkan cerita pertama saya di suatu jurnal yang memberi ruang untuk cerita yang mengangkat isu tertentu. Jawaban saya, saya merasa tidak ada alasan untuk mendekorasi cerita ini dengan wallpaper Indisch, karena cerita itu sendiri tidak membutuhkan dan tidak memintanya. Ketika saya kemudian menerbitkan cerita tentang perjalanan ke Indonesia di sebuah surat kabar, pertanyaan yang muncul adalah: Mengapa Anda menulis tentang Anda yang seorang Indo sekarang? Itu tidak seperti tulisan-tulisan Anda sebelumnnya. Singkatnya: tetap diam tentang latar belakang saya menimbulkan pertanyaan dan sebaliknya juga.

Setiap pembaca pasti pernah mengalami fenomena dimana ingin menolak saat mulai membaca sebuah cerita. Ini adalah tantangan normal dari pembaca kepada cerita itu: Ayo, coba bujuk saya untuk terus membaca. Masalahnya di sini ada jenis resistensi yang lain dari pembaca. Mereka tidak ingin dirayu, mereka hanya ingin membaca apa yang ingin mereka baca.

Sebelum kumpulan cerpen pertama saya keluar, saya hanya menerbitkan novel. Bagaimana novel saya diterima, satu hal menjadi jelas: ada reviewer yang hanya membahas novel-novel yang saya tulis dengan orientasi “Belanda” kontemporer yang sangat nampak dan ada yang hanya tertarik pada novel-novel dengan orientasi “Indisch” atau pascakolonial yang jelas. Pengecualian untuk apartheid ini tidak ditemukan di Belanda, tetapi di Belgia, di mana orang-orang berbicara dengan bahasa yang sama tetapi tidak dibebani dengan masa lalu kolonial di Asia, mengesampingkan masa lalu kolonial mereka di Kongo untuk sesaat. Jadi para reviewer yang berhasil menemukan satu tema keseluruhan yang muncul berulang-ulang di semua cerita dan novel saya, mereka tinggal di luar negeri. Mereka menyebut tema itu “keterasingan,” sebuah tema yang dapat ditemukan di seluruh sastra dunia. Tema ini dapat dikaitkan dengan masalah seputar asal-usul seseorang, masa lalu, jenis kelamin, preferensi seksual, neurosis, fantasi, atau kegilaan, singkatnya semua yang dapat Anda bayangkan. Keterasingan tidak mengenal rumah, keterasingan mencarinya. Dan selama rumah itu belum ditemukan, keterasingan itu sendiri adalah rumah.

Tentu saja pembaca berhak untuk menempatkan keterasingan yang mendominasi protagonis saya. Setidaknya saya memberi pembaca rumah untuk bahasa dan cerita. Namun, para reviewer, pembaca profesional, menginginkan lebih dari itu. Mereka ingin menunjukkan kepada pembaca bahwa mereka benar-benar mengerti penulis yang mereka diskusikan. Inilah sebabnya mengapa penulis yang dengan jelas memprofilkan diri mereka sendiri, dengan cara apa pun, lebih mudah untuk dibahas oleh reviewer daripada mereka yang karyanya bernafaskan sintesis pribadi dari pengaruh beragam budaya yang mereka alami.

Ketika saya menulis cerita tanpa aksen Indisch secara eksplisit, maka cerita ini masih akan selalu ditulis oleh seseorang yang membawa aksen Indisch. Berasal dari latar belakang saya, saya secara alamiah menempatkan aksen-aksen yang berbeda, bahkan tanpa membawa latar belakang itu secara eksplisit. Dan inilah tepatnya yang orang-orang merasa tidak harus lihat atau berharap tidak lihat. Saya tidak berpikir bahwa saya harus menyelipkan cerita hantu atau apapun yang berseberangan dengan latar belakang Indisch hanya agar lebih dipercaya oleh pembaca Belanda. Cerita hantu bukanlah hal yang aneh di kalangan Indo, tetapi di kalangan Belanda masih aneh. Inilah mengapa cerita hantu lebih sering datang dari luar negeri. Atau dari penulis seperti saya, tapi ternyata berada dalam kerangka pikir Indisch. Jadi mereka dapat memberi Anda tempat dan Anda bukanlah ancaman bagi para penulis “autochtoon”, yang memiliki tema mereka sendiri yang terbuktikan bahwa orang-orang berharap tema itu sudah ter’booking’ oleh kelompok itu. Kami dapat keajaiban, mereka dapat cinta.

Di Belanda saat ini, di mana orang-orang dipenuhi dengan “pernyataan-pernyataan multikultural,” separatisme dimanfaatkan untuk kembali ke dalam sejarah kolonial negara itu. Ini tidak seperti pengaruh timbal balik yang ingin dicapai orang-orang di sini. Tidak, mereka ingin setiap orang mempertahankan budaya mereka di balik pintu yang tertutup. Anda bisa lihat dari buku-buku, sekali lagi, penulis “autochtoon” yang, selama masa ilmu “filsafat” sedang populer, sangat bereferensi ke filsuf Barat terpencil. Pikiran-pikiran Asia, dalam skenario terbaik, telah dianggap sebagai ekspresi yang bagus dari budaya lain, cocok dengan penulis “allochtoon”. Mereka dapat terus menulis dongeng-dongeng, mengalihkan sungai-sungai Belanda, dan arwah-arwah gentayangan di kanal-kanal Amsterdam. Penulis “autochtoon” yang menulis cerita seperti itu akan dihukum atau akan diberi tepuk tangan berlebihan, terutama jika dia benar-benar mengalami “Hindia Belanda kuno yang baik” itu sebagai orang kulit putih, dan sekali lagi, kesekian dalam empat abad kesusastraan, menerangi cerita itu dengan pandangan Eurosentrisnya. Entah apa yang akan dilakukan reviewer dengan kisah cinta yang berlatar di negara polder Belanda, yang ditulis oleh orang Maroko. Mungkin tepuk tangan yang sangat nyaring karena sekarang akhirnya impian multikultural yang telah lama ditunggu itu terwujud dalam sastra Belanda? Mereka pasti ingin mengadakan simposium tentang ini terlebih dahulu. Saling mengendus satu sama lain sebentar untuk melihat apakah ada aroma memalukan yang tertinggal di sekitar tempat duduk mereka.

Sebagai penulis berlatar belakang Indisch, lahir dan besar di Belanda, yang sebenarnya bukan “autochtoon” maupun “allochtoon,” saya dibebani dengan warisan ayah sekaligus ibu saya: seorang Indo dari bekas Hindia Belanda dan putri tukang sepatu dari Belanda selatan. Saya ingat bahwa kakek Belanda saya mengizinkan saya menimbang paku di toko reparasi sepatunya saat saya kecil. Paku-paku itu dijual dalam karung kertas kecil seharga 5 sen kepada orang-orang miskin yang harus memperbaiki sepatu mereka sendiri. Setelah dua belas setengah tahun menjadi penulis, saya masih merasa tidak perlu bagi seorang anak laki-laki yang sedang menimbang paku di toko sepatu kakeknya untuk diberi latar belakang Indisch secara eksplisit. Saya punya pilihan, benar-benar punya pilihan, tergantung dari apa yang ingin saya tunjukkan. Namun, di zaman sekarang ini, setiap pilihan memerlukan faktor yang mendiskualifikasi. Jika saya memberi anak itu wajah cokelat, saya tidak lagi diperhitungkan dengan tulisan Belanda saya. Jika saya memberi anak itu wajah putih, saya tidak diperhitungkan dengan tulisan Indisch atau pascakolonial saya.

Sampai sekarang saya biasanya seperti ini: Saya tidak memberikan wajah kepada protagonis saya. Apa yang saya berikan kepada mereka adalah perasaan terasing tertentu, dengan pertanyaan mendasar: Apa yang saya lakukan di sini? Sebagai penulis, saya ingin dinilai dari karya saya dan bukan dari latar belakang saya, yang sudah dicetak dengan huruf tebal besar di sampul buku saya. Penulis kulit putih tidak diperlakukan seperti ini saat mereka ingin melatari cerita mereka di bekas Hindia Belanda itu. Tentu, mereka diizinkan melakukan hal semacam itu tanpa pertanyaan dan setelah itu mereka dapat menyeberang kembali ke seragam harian mereka. Ya, silakah baca empat kata terakhir itu sekali lagi.

© Hak Cipta Alfred Birney

[1] Campuran Belanda dan Hindia Belanda (sekarang Indonesia)
[2] Berasal dari tempat ini, natif, orang setempat. Maksudnya adalah para berdarah Belanda berkulit putih.
[3] Berasal dari tempat lain. Maksudnya adalah para penulis campuran Belanda dengan bangsa lain yang berkulit berwarna, Indo adalah di antaranya.


Pada tanggal 3 September 2020, sebuah penerbitan yang berbasis di London bernama ‘Head of Zeus‘ merilis ‘The Interpreter from Java’, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh David Doherty: