RILIS PERS: K.U.K.B. melaporkan Rijksmuseum kepada Kepolisian atas penggunaan kata rasisme ‘Bersiap’
Pada 21 Januari, 2022, Jeffry Pondaag, Ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (K.U.K.B) melaporkan Rijksmuseum, Harm Stevens selaku kurator dan Taco Dibbits selaku Direktur pada kepolisian.
Yayasan K.U.K.B telah dikenal, diantaranya atas keberhasilan tuntutan hukum kepada Pemerintah Belanda terkait pembantaian tahun 1947 di Rawagede, sebuah desa di Jawa Barat. Terpisah dari itu, Jeffry Pondaag juga dikenal sebagai seorang yang mengecam penggunaan Kereta Kencana dan membuat masalah itu menjadi bahasan lagi di Belanda.
Minggu lalu sebuah artikel opini dari Bonnie Triyana selaku kurator Indonesia menimbulkan kegaduhan di Belanda. Dalam artikelnya dia menyebutkan bahwa Rijksmuseum telah memutuskan untuk tidak lagi menggunakan istilah Bersiap dalam pameran bertajuk ‘Revolusi’ yang akan digelar karena dianggap mengandung konotasi rasis. Tetapi setelah Federatie Indische Nederlanders (FIN, Federasi Indo Belanda) melaporkan kurator Indonesia ini ke Polisi, Rijksmuseum secara terbuka mengingkari pernyataan Bonnie.
Mereka menyangkal bahwa kata Bersiap mengandung rasisme dan menyebutkan bahwa mereka akan tetap menggunakannya. Keputusan ini menjadi alasan K.U.K.B untuk melaporkan Rijksmuseum, kurator dan direktur pada Polisi.
Stigmatisasi dan Penghinaan
Rijksmuseum secara terbuka tetap menggunakan sebuah istilah yang menstigma orang Indonesia dalam cara pandang kolonial. Konsep Bersiap secara keseluruhan mendukung klise lama bahwa orang-orang Indonesia adalah brutal yang haus darah. Istilah ini digunakan pula sebagai dasar pembenaran kolonialisme, berdasarkan asumsi ‘dimana ada dua pihak yang bertikai maka ada dua pihak yang dipersalahkan’.
Padahal kolonialisme adalah pelanggaran dasar hak asasi manusia yang tercantum dalam the UN General Assembly Resolution 1514 (XV). Kata Bersiap menghapus kaitan dengan kekuasaan penjajahan dan juga mengabaikan resolusi UN. Lebih jauh lagi, kata Bersiap dihadirkan sebagai sebuah perlawanan etnis padahal faktanya itu adalah perjuangan kemerdekaan melawan kekuatan asing. Dengan mengabaikan penyebab sesungguhnya ( upaya pendudukan ) dan membingkai kata Bersiap sebagai kekerasan etnis, kematian dari pihak Indonesia tidak berada dalam perhitungan. Kata ini begitu etnosentris dan menampakkan bahwa nyawa orang-orang Indonesia tidaklah penting. Ini adalah rasisme. Lebih jauh lagi, kekuasaan Belanda sudah berakhir pada Maret 1942 dengan datangnya invasi Jepang. Pasukan Jepang memaksa Belanda angkat kaki dalam tiga hari dengan sepeda!
‘Bersiap’ bukanlah Periode
Dalam historiografi Belanda, kata Bersiap digunakan untuk menggambarkan periode atau masa dimana Indonesia mengangkat senjata antara tahun 1945-1946. Ini tidaklah benar. Terpisah dari Netherlands Indies Civil Administration (NICA), Tentara kolonial (KNIL), pasukan penjajah Inggris juga hadir di Indonesia pada 1945. Pasukan Inggris dan India menggunakan kebrutalan melawan Indonesia, contohnya adalah pemboman kota Surabaya. Dengan cara ini pasukan Inggris membantu saudara eropa mereka untuk mewujudkan pendudukan kembali. Menggambarkan Bersiap sebagai sebuah periode dari orang-orang Indonesia yang melakukan kekerasan manutupi kematian sepuluh ribu nyawa penduduk sipil Surabaya karena pemboman Inggris. Juga di tempat-tempat lain, tak terhitung banyaknya aksi kekerasan Belanda, termasuk juga aksi provokasi.
Aksi-aksi provokasi Belanda ini menjalar pada aksi kekerasan. Salah satu contoh adalah keputusan seorang Indo Eropa bernama Victor Willem Ploegman yang mengibarkan bendera Belanda pada 19 September 1945 di sebuah hotel di Surabaya. Karena aksinya menyangkal keberadaan Republik Indonesia maka eskalasi ketegangan naik dengan cepat. Pemuda-pemuda Indonesia naik keatas menara bangunan dan merobek bagian kain yang berwarna biru, kemudian bendera dinaikkan lagi menjadi merah putih. Sama halnya dengan aksi-aksi provokasi Belanda di berbagai tempat, berujung mendapatkan respon kekerasan.
Daripada menggunakan istilah Bersiap, lebih baik bicara tentang ‘War of Independence’ atau Perang Kemerdekaan, atau ‘Revolutionary War’, Perjuangan Revolusi, daripada berpura-pura hanya nyawa dari kelompok penjajah yang dianggap penting.
17 August 1945, Hari Kemerdekaan
Ketika membahas masa periode perjuangan sebagai ‘Perang Kemerdekaan’ yang berlangsung antara 1945-1949, satu fakta penting yang harus diakui adalah Indonesia sudah merdeka sejak 17 Agustus 1945. Selama hampir 77 tahun, Belanda menolak mengakui secara hukum. ‘Jika Belanda menganggap Indonesia sebagai milik mereka dan memandang bahwa penduduknya adalah penduduk mereka juga (menurut sudut pandang Belanda), lantas siapa orang-orang yang melakukan pembunuhan era Bersiap?’, tanya ketua Jeffry Pondaag. ‘Karena disini Belanda menggunakan 27 Desember 1949 sebagai tanggal lahirnya Indonesia, tentunya mereka tidak bisa menyebut pelakunya sebagai orang-orang Indonesia, karena dari sudut pandang mereka Indonesia tidaklah ada. Indonesia sebagai negara dan Indonesia sebagai sebuah kebangsaan adalah hal yang tidak mereka akui! Selama masa pendudukan, warga Indonesia dianggap sebagai subyek kolonial. Jika kita mengikuti pola pikir Belanda, maka yang terjadi adalah pembunuhan atas warga mereka sendirilah yang terjadi antara 1945-1949. Namun pola pikir manapun yang akan diikuti, ini tetaplah rasis’, kata Pondaag. ‘Ia kemudian menyimpulkan ‘Belanda tidak bisa menggunakan dua pola pikir yang berbeda dalam saat bersamaan, populasi Indonesia yang berjumlah antara 70 -100 juta jiwa pada tahun 1945 tidak dianggap sebagai manusia, jangan pernah melupakan penanda yang melarang masuk anjing dan pribumi.’
Dengan cara ini, Bersiap digunakan untuk menghindari pengakuan 17 Agustus 1945 sebagai hari Kemerdekaan. Fakta lain yang belum pernah dijelaskan adalah bahwa orang-orang Indo yang terbunuh dalam periode tersebut adalah pelaku dalam sistem kolonial yang diberlakukan dan memiliki peran dalam upaya pendudukan, kata Pondaag. Maka dari itu, Yayasan K.U.K.B menegaskan bahwa kata ‘Bersiap’ bukan hanya sekedar rasis, itu juga bagian dari pemalsuan sejarah
K.U.K.B.-Sekretaris Christa Soeters
+31638613795 dan +6282114522199
www.kukb.nl
Artikel oleh Yongky Gigih Prasisko di Portal Yogya: https://www.portalyogya.com/internasional/pr-2082433342/kukb-laporkan-rijkmuseum-ke-polisi-karena-stigma-rasis-di-pameran-revolusi?fbclid=IwAR0IeJiwuNdokh5HmZ2Sah-9cKnuDhdeN7OH5Kv30pSldgKzDSCCvZiYurU
Tentang Proyek Revisi Sejarah Kolonialisme Belanda di Indonesia