Luka masa lalu membayangi kunjungan PM Belanda ke Indonesia
INDONESIA dan Belanda. Dua negara ini terikat benang sejarah yang berusia ratusan tahun dan akan terus diperkuat, terlebih dengan kunjungan Perdana Menteri (PM) Belanda Mark Rutte yang tiba sejak Senin 21 November 2016. Agendanya beragam. Mulai dari membawa ratusan pebisnis ke Tanah Air, PM Rutte juga dijadwalkan terbang dari Jakarta ke Semarang, serta bertemu dengan Presiden RI Joko Widodo di Istana Negara pada Rabu 23 November.
Okezone.com Selasa, 22 November 2016 oleh: Randy Wirayudha
Hari-hari pertama akan menyinggung masalah ekonomi. Seperti yang dipaparkan Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Retno Marsudi pada Senin 21 November. “Jadi fokus dari para pendamping yang akan ikut, baik menteri dan para pengusaha, maka jelas bahwa fokus perhatian utama atau prioritas dari kunjungan ini adalah di bidang ekonomi,” jelas Retno.
(Baca: Jokowi dan PM Belanda Bakal Bahas Investasi Ekonomi)
Ya, selain membawa delegasi perdagangan, PM Rutte juga turut membawa serta Menteri Kerja Sama Pembangunan dan Perdagangan Luar Negeri Liliane Ploumen, Menteri Infrastruktur Melanie Schultz van Haegen, serta Menteri Lingkungan Sharon Dijksma.
Jika sejumlah delegasi dagang dan menteri-menterinya masih ada di Jakarta, PM Rutte pada Selasa (22/11/2016) memilih terbang dari Jakarta ke Semarang, Jawa Tengah. Agendanya untuk mengunjungi Ereveld atau Makam Belanda di Kalibanteng, kawasan Little Holland, Kota Lama dan Lawang Sewu.
Perdana Menteri Belanda Mark Rutte (tengah) menyambangi Indonesia [photo by: Antara]
Tak ketinggalan setelah bertemu dengan Presiden Jokowi besok, PM Belanda sebagaimana dikutip dari situs resmi pemerintah Belanda (government.nl) juga akan berbicara di hadapan para anggota parlemen RI. Ini yang dianggap unik oleh aktivis dan juga Ketua Yayasan Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB) Jeffry Marcel Pondaag.
“Yang saya tahu dari beberapa kabar, dia akan bicara di parlemen kita. itu unik ya. Karena belum ada satu presiden atau PM negara lain yang bicara di parlemen kita. itu harus ditanya, dia datang ke sini hanya untuk dagang atau apa,” cetus Jeffry Pondaag kepada Okezone.
Masalahnya sampai sekarang, sebenarnya masih ada isu yang mengganjal antara kedua negara dan itu berkaitan dengan sejumlah peristiwa yang terjadi di masa lalu. Masa di mana Indonesia dirongrong Belanda (lagi) pasca-Proklamasi 17 Agustus 1945.
Isu tentang sejumlah peristiwa kejahatan perang tentara Belanda. Seperti yang terjadi di Sulawesi Selatan, Rawagede (Karawang), Takokak (Cianjur), Tambun Sungai Angke (Bekasi), hingga Rengat (Riau).
Belum lagi sampai sekarang, belum ada pengakuan resmi dari pemerintah Kerajaan Belanda bahwa Indonesia merdeka 17 Agustus 1945. Yang mereka akui adalah kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember 1949 pasca-Konferensi Meja Bundar (KMB).
“Tahu enggak, mereka-mereka itu tentang dua ribu orang yang dieksekusi di Sungai Indragiri? Kalau datang hanya untuk berdagang, berarti dia tidak memperhatikan para korban yang pernah tewas (oleh tentara Belanda) di sini,” sambungnya.
“Mereka sampai sekarang tidak mau mengakui (17 Agustus ’45). Karena kalau mengakui, berarti mereka menyerang negara yang berdaulat dan itu kejahatan perang. Ribuan tentaranya yang dikirim ke sini, berarti mereka juga ilegal dan itu pula kejahatan perang,” lanjut Jeffry.
Kalau masalah-masalah sensitif tentang masa lalu ini tak juga diakui, maka menurutnya pemerintah RI enggak perlu bikin kerja sama apapun dengan Belanda. Kalaupun mau tetap kerja sama, dia harap pemerintah Belanda tak pernah melupakan kejahatan mereka di nusantara.
“Bilangnya kerja sama bilateral, itu silakan saja, tapi hanya saja ini jangan dilupakan. Kalau menurut saya pribadi, kita enggak butuh Belanda. Belanda yang butuh kita, makanya dia datang ke sini. Saya juga tidak senangnya dengan pemerintah, karena pemerintah kita juga tidak memperhatikan,” tambahnya.
“Tapi ya sekarang terserah Pak (Presiden) Jokowi. Saya sebagai bangsa Indonesia sih, tidak setuju (kerja sama dengan Belanda). Bisa kan saya tidak setuju, saya berhak karena saya memilih dia. Silakan melihat ke depan, tapi jangan lupakan masa lalu,” ungkap Jeffry lagi.
“Kita itu enggak perlu takut dengan Belanda. Kita enggak harus kerja sama dengan Belanda. Kan kita bisa dengan negara lain, seperti Jepang, China, Jerman, Belgia, Swedia, Rusia. Kayak dulu yang bikin Waduk Jatiluhur, itu kerja sama dengan Rusia, bukan Belanda,” tandasnya.