Restitusi – oleh Marjolein van Pagee, Pengajar
Musim gugur ini saya berkesempatan untuk mengajar tentang budaya Belanda di Universitas Michigan. Mahasiswa belajar tentang rasisme masa kini, anti semit dan phobia Islam pada masyarakat Belanda dan menempatkan mereka sebagai titik penting dalam akar sejarah dari ketidakadilan penjajahan. Bagaimana kolonialisme membentuk identitas bangsa Belanda? Bagaimana Belanda menjadi salah satu bangsa yang paling makmur pada hari ini?
Saya telah menekuni perihal penjajahan Belanda di Indonesia, saya meminta mahasiswa untuk memikirkan, kenapa Indonesia yang luasnya 54 kali lebih besar dari Belanda dengan 261 juta penduduk dan merupakan negara dengan populasi muslim terbesar dunia,tidak dijadikan bahan diskusi terkait phobia Islam Belanda hari ini.
Mahasiswa menemukan bahwa tidak ada “kerajaan yang membicarakan kembali” tentang dunia timur terkait kendala bahasa ( Indonesia tidak mewarisi bahasa Belanda ) dan kurang terwakilinya orang Indonesia dalam masyarakat Belanda. Tanah jajahan Hindia Belanda hanyalah kenangan akan sebuah pulau tropis daripada sebuah rezim apartheid dalam memori kolektif masyarakat Belanda.
Jeffry Pondaag, seorang Indonesia yang tinggal di Belanda telah merubah kenangan ini dengan menempatkan topik tentang tuntutan ganti rugi dalam agenda publik. Yayasan yang ia dirikan menuntun korban-korban kejahatan perang Belanda memenangkan pengadilan, menuntut pemerintah Belanda. Mahasiswa akan mempelajari tentang tugas dan peranan Jeffry dan memeriksa betapa kontrasnya ketika Indonesia dipaksa membayar 4,5 milyar untuk kemerdekaannya, dijelaskan lebih lanjut dalam riset yang dilakukan oleh Michael van Zeijl.
Saya mengundang Pondaag dan van Zeijl untuk bicara dengan mahasiswa, mempertemukan para aktivis dekolonisasi dengan mahasiswa. Pondaag berkata pada mereka : “Kita bisa membahas tentang Belanda, tapi anda juga bagian dari kolonialisme, negara ini bukan hak anda, tetapi hak dari penduduk asli Amerika!”
Setelah satu bulan mengajar, saya dikejutkan dengan kemampuan mahasiswa untuk menganalisa tentang penindasan dan hak istimewa diri mereka sendiri sebagai pendatang. Hal ini membuat saya banyak berpikir, sebagaimana diketahui bersama, Belanda masih saja dengan keras kepala bertahan dengan kepolosan masa lalunya.
Jeffry Pondaag (middle), Dutch government, The Hague.
Indigenous Perspectives – by Annemarie Toebosch, Director of Dutch and Flemish Studies
This summer, Mark Charles from the Wooden Shoe People, from the Waters that Flow Together, and from the Bitter Water Clan became the first Native American Dutch-American candidate for U.S. President, and the only native candidate in 2020.
His candidacy inspires me to ask: Does our program tell Dutch-American history from the perspective of native peoples?
I was given one such perspective at the annual conference of the National Association for Multicultural Education (NAME 2019) where Dutch Studies was invited to discuss the difference between teaching about racism and decolonial teaching that positions itself inside an antiracist movement. In a discussion with American Indian people, the idea of “trade nation” was redefined when I learned that the Dutch were the first to commodify scalping in the Americas. 30 years after Amsterdam invented the first central bank, the Netherlands turned existing gift exchanges for scalps into currency.
As Jeffry Pondaag ask our students hard questions about their place on this land, the Dutch program asks itself how to include indigenous perspectives 400 years after New Amsterdam.
—