Author Country Media Name Year Topic , , Translator

Kegagapan & Kebebalan Belanda Memahami Aspirasi Kemerdekaan – Tirto

Kegagapan & Kebebalan Belanda Memahami Aspirasi Kemerdekaan

Tirto, August 17, 2017, penulis: Ivan Aulia Ahsan, Editor: Fahri Salam, penerjemah: Madito Mahardika

Dua dekade terakhir kekuasaan Belanda ditandai kecemasan terhadap krisis ekonomi, pergerakan nasional, dan masa depan Hindia Belanda.

“Hindia adalah gabus yang di atasnya Belanda mengapung.”— J.C. Baud, Gubernur Jendral Hindia Belanda (1834-1836).

Gema pernyataan J.C. Baud di atas terus berdengung hingga seabad setelah ia berkuasa. Pernyataan tersebut diucapkan saat Tanam Paksa baru saja diberlakukan dan negeri Belanda berhasil menambal defisit keuangan akibat Perang Jawa. Pernyataan yang benar-benar memperlihatkan ketergantungan ekonomi Belanda kepada tanah jajahan yang dijuluki “de gordel van smaragd” (zamrud khatulistiwa) itu.

Ketika zaman berubah dengan pemberlakuan politik etis dan liberalisme ekonomi, sifat ketergantungan tersebut tidak ikut berubah. Belanda malah makin bergantung kepada Hindia. Memasuki abad 20, Belanda, kerajaan kecil yang dikelilingi imperium-imperium besar Eropa, seperti menemukan harga dirinya di hadapan bangsa-bangsa lain dengan menjadi tuan di sebuah negeri kepulauan yang bentangannya setara jarak Moskow-London.

Masa Kemakmuran yang Singkat dan Depresi Ekonomi

Kondisi masyarakat di masa kolonial. Foto: Gahetna

Awal abad 20 ditandai kemakmuran yang makin meningkat di Hindia. Ini berbarengan dengan program politik etis yang membuka jalan bagi kaum pribumi memperoleh pendidikan layak. Gabungan antara meningkatnya kemakmuran dan politik etis membuat taraf kehidupan masyarakat naik, tanpa ada preseden sebelumnya dalam sejarah kolonialisme Belanda di Hindia.

Angka-angka statistik ekonomi dari awal abad 20 dalam hal pendapatan pemerintah melonjak drastis dibanding masa sebelumnya. Seperti ditunjukkan dalam Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia suntingan Pieter Creutzberg dan J.T.M. van Laanen (1987), dari rata-rata 125 juta gulden tiap tahun pada dasawarsa terakhir abad 19, melonjak jadi 700 jutaan pada dekade 1920-an. Ini hampir enam kali lipat dalam kurun tiga puluh tahun saja. Negara-negara kolonial lain bisa dipastikan iri bukan kepalang.

Pada periode tersebut, rata-rata 10 persen dari pendapatan bersih Hindia masuk ke kantong Kerajaan Belanda atau menyumbang 8 persen dari total Produk Domestik Neto. Data ini didapat melalui perhitungan yang dilakukan Angus Maddison dalam Sejarah Ekonomi Indonesia (1988). Kenaikan pendapatan terutama dari meningkatnya hasil tanaman ekspor di perkebunan-perkebunan luar Jawa. Dengan pendapatan sebesar itu, Belanda secara langsung mendapat cipratan dari meningkatnya kemakmuran Hindia. Ekspor laris, Belanda makmur.

Tapi periode kemakmuran hanya berlangsung singkat. Pada akhir dekade 1920-an, kecenderungan kenaikan pendapatan tiba-tiba menurun akibat krisis ekonomi 1929—lebih dikenal Malaise’—dan tak mampu mencapai titik pendapatan seperti sediakala sampai Belanda angkat kaki dari Indonesia. Data dari Creutzberg dan van Laanen memang menunjukkan penurunan tajam: pendapatan bersih Hindia Belanda pada masa krisis terpangkas hampir separuh dari rata-rata 700 juta pada 1920-an menjadi sekitar 400 juta.

Hindia Belanda mengalami pukulan telak karena andalan ekspornya, yaitu produk minyak bumi dan pertanian, terhambat masuk ke Eropa dan Amerika Utara gara-gara kebijakan proteksi sekaligus mengalami penurunan harga signifikan. Sebelum krisis, sebanyak 52 persen produk minyak bumi dan pertanian diekspor ke sana dan menurun menjadi hanya sepertiga pada pertengahan 1930-an.

Krisis diikuti depresi ekonomi panjang yang disebabkan pemerintah bersikukuh menolak devaluasi Gulden meski negara-negara lain sudah melakukannya dan meninggalkan standar emas.

Kekuatan Malaise dalam melemahkan sektor-sektor usaha sungguh dahsyat. Tak terhitung jumlah wiraswasta gulung tikar dan para petani mengalami kebangkrutan. Salah satu akibat yang paling memukul adalah meningkatnya apatisme dan ketidakpercayaan rakyat kepada pemerintah.

Dengan kontribusi ekonomi yang signifikan, ketergantungan Belanda kepada Hindia pada saat krisis mencapai titik kulminasi yang semakin tinggi. Belanda kian gencar mengeskploitasi Hindia lantaran sumber-sumber pendapatan dari dalam negeri dianggap tidak lagi mencukupi untuk menanggulangi badai krisis ekonomi. Pendapatan dari tanah jajahan lain pun hanya recehan dibanding Hindia.

Langkah yang diambil Belanda adalah mengintensifkan hasil pertanian dan perkebunan dari daerah luar Jawa. Sebab, saat itu, selain karena krisis ekonomi, Jawa sudah mengalami masa kejenuhan pertanian akibat proses eksploitasi yang sangat lama.

Di luar Jawa, sebagaimana dicatat Anne Booth dalam Sejarah Ekonomi Indonesia, “produksi hasil tanaman dagang para petani kecil tumbuh dengan pesat.” Barang-barang konsumsi yang diimpor pun merupakan perangsang bagi petani untuk lebih giat mencari nafkah dengan menanam tanaman komoditas ekspor. (hlm. 393). Di sini terlihat, meski pendapatan dari tanah jajahan menurun lantaran krisis, Belanda masih terselamatkan dengan tanaman komoditas dari luar Jawa.

Maka, apabila kelak Hindia tiba-tiba lepas dari genggaman, terbayang pahitnya situasi yang akan dialami Belanda. Sampai saat itu, sudah tiga abad Belanda dimanjakan oleh rezeki yang datang dari Hindia. Itu artinya, selama tujuh generasi, orang-orang di negeri Belanda menikmati secara langsung kemakmuran yang ditopang tanah jajahannya. Bayangkan, tujuh generasi. Mereka tidak punya imajinasi yang cukup untuk membayangkan apa yang terjadi jika Hindia benar-benar merdeka.

Dan di saat genting seperti itu, Belanda justru menunjukkan sikap pongah dan kian percaya diri jika mereka bakal terus berkuasa di Hindia sampai akhir zaman.

Pernyataan Gubernur Jenderal de Jonge pada 1935, yang kemudian menjadi sangat terkenal, bahwa “kami akan berada di sini 300 tahun lagi, bila perlu dengan tongkat dan senjata” bisa dipakai sebagai representasi pendapat umum masyarakat Belanda saat itu.

Tapi itu sebenarnya hanya ilusi yang mereka ciptakan sendiri untuk menutupi perasaan cemas akan bahaya laten yang menghadang di depan mata: lepasnya Hindia. Ada perasaan tidak siap. Ada perasaan posesif yang tak dapat diterangkan. Dan kecemasan itu kian bertambah ketika eksistensi negara kolonial makin berguncang akibat desakan kaum pergerakan.

Kaum Pergerakan Menambah Cemas

Meski dua dasawarsa terakhir kekuasaan Belanda diwarnai surutnya pergerakan kaum nasionalis akibat represi dan kebijakan konservatif gubernur jenderal, semangat dekolonisasi di kalangan rakyat Indonesia tak pernah benar-benar padam. Periode ini disebut sejarawan Merle C. Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern 1200-2008 sebagai “tahapan yang paling menindas dan paling konservatif” dalam sejarah Belanda di Indonesia abad 20 (hlm. 388).

Belanda memang berhasil “menjinakkan” para pentolan pergerakan nasional dengan menjebloskan mereka ke penjara atau membuangnya ke luar Jawa. Tapi, yang diabaikan oleh Belanda adalah tiga puluh tahun pergerakan nasional telah menghilangkan kepercayaan para aktivis nasionalis terhadap pemerintah kolonial. Sehingga satu-satunya jalan yang paling mungkin bagi mereka adalah melawan Belanda.

Di samping itu, di tengah perpecahan yang melanda, para elite tetap bergerak dengan sadar dan mentaati konsensus bahwa tujuan politik paling utama dari perjuangan mereka adalah Indonesia merdeka.

Pemerintah kolonial bukannya tak memahami gejala ini, tetapi langkah-langkah yang diambil justru makin mengesankan mereka tak punya formula ideal untuk menanganinya. Penangkapan-penangkapan terhadap para aktivis memang bisa menyelesaikan persoalan rumit, tapi ini hanya berlaku sesaat.

Suara perlawanan dari jalur resmi Volksraad justru semakin lantang dan menciptakan solidaritas tersendiri di kalangan aktivis, baik yang kooperatif maupun non-kooperatif. Ini sebuah pemandangan yang langka dalam tiga dekade pergerakan nasional. Kelak, pada saat Belanda datang lagi pada 1945, hal inilah yang membuat mereka kompak menentangnya.

Belanda juga bersikap keras kepala menghadapi tuntutan paling minimum dari para aktivis tentang “Indonesia berparlemen” pada 1940. Tuntutan ini terutama datang dari Gabungan Politik Indonesia (GAPI) dan beberapa anggota Volksraad seperti M.H. Thamrin dan Sutarjo.

Pemerintah kolonial tegas menolak tuntutan tersebut dan menyatakan, dalam keadaan negeri Belanda diduduki oleh Jerman, parlemen Belanda tidak berfungsi dan tidak mempunyai wewenang untuk menentukan nasib Indonesia. Selain itu, pemerintah Belanda ingin mengesankan kepada rakyatnya bahwa mereka tidak akan “menjual” Hindia dalam suasana perang yang sukar itu.

“Bagi pemerintah, Kerajaan Belanda dalam segala bagian-bagiannya harus dipertahankan sampai akhir peperangan,” tegas sejarawan Ong Hok Ham dalam Runtuhnya Hindia Belanda (hlm. 134).

Kegagalan pemerintah kolonial menangkap dinamika sejati dari pergerakan nasional merupakan salah satu wujud paling subtil dari kecemasan-kecemasan itu.

Konsesi-konsesi yang ditawarkan kepada Indonesia pada “menit-menit akhir” kekuasaan Belanda menjadi percuma karena para elite pergerakan sudah kehabisan kepercayaan dan menganggapnya sebagai basa-basi belaka. Terlihat jelas bahwa yang paling menonjol dari sikap Belanda di masa-masa akhir itu adalah kegagapan. Bahkan kebebalan.

Di negeri Belanda sendiri, orang-orang cenderung memandang sinis aktivitas kaum pergerakan. Kaum konservatif menganggap mereka sebagai kaum yang tidak tahu diuntung karena mereka “menjadi manusia utuh” berkat kebaikan Belanda—pandangan yang berakar dari rasialisme kolonial sejak abad 17 yang menganggap orang pribumi sebagai setengah manusia.

Kisah Minke dalam tetralogi Pulau Buru karya Pramoedya Ananta Toer bisa dijadikan ilustrasi yang bagus. ‘Minke’, yang berasosiasi dengan ‘monkey’ (monyet), adalah julukan yang diberikan oleh Magda Peters, guru sekolahnya, kepada tokoh utama dalam novel tersebut. Julukan tersebut jelas merendahkan dan menjadi gambaran bagaimana orang-orang Belanda memandang kaum pribumi.

Sinisme dan rasialisme itu juga sesungguhnya kecemasan dalam bentuk lain: orang-orang Belanda sebenarnya sedang menikmati “zona nyaman” sebagai kolonialis yang menganggap diri baik hati dan aspirasi para aktivis mengusik kenyamanan tersebut.

Pelbagai kegagalan dalam menyikapi aspirasi yang berkembang itu membuat Belanda semakin kepayahan mempertahankan kekuasaan. Ditambah faktor Perang Dunia II dan kelengahan mengantisipasi agresivitas Jepang, negara Hindia Belanda akhirnya runtuh pada 1942.

Maka, puncak dari kecemasan yang melanda orang-orang Belanda telah tiba ketika mereka mesti mengucapkan selamat tinggal kepada tanah Hindia.

Dalam siaran pamungkas radio NIROM, tepat malam hari setelah Belanda menyerah kepada Jepang, sang penyiar mengucapkan salam terakhir dengan nada penuh kegetiran: “Vaarwel, tot betere tijden”—Selamat tinggal, sampai jumpa di waktu yang lebih baik.

Tanah Hindia adalah sumber kemakmuran pemerintah Belanda