Pesan video oleh Fia Hamid-Walker kepada peneliti Belanda yang mengambil bagian dalam riset kekerasan 45-49 yang disponsori oleh pemerintah. Pesan videonya ditujukan selama diskusi meja bundar yang diadakan di NIOD, Amsterdam pada Kamis 31 Januari 2019. Fia berbicara tentang aspek politik pendidikan sejarah, dampak berkelanjutan dari sikap kolonial, dan mempertanyakan pengucilan suara-suara kritis, seperti suara Francisca Pattipilohy dan Jeffry Pondaag.
Fia adalah orang Jawa-Indonesia yang tinggal di Melbourne dan aktif sebagai juru kampanye politik dan praktisi pembangunan internasional dan salah satu penandatangan surat terbuka yang dikirim ke pemerintah Belanda pada November 2017.
Teks lengkap:
“Hai, para peneliti yang terhormat.
Sebelum saya memperkenalkan diri, saya ingin menyatakan bahwa hari ini saya sedang berada di sini, di tanah yang dulu dicuri, tanah yang selalu menjadi milik bangsa Kulin. Saya menghormati para leluhur di masa lalu, sekarang dan masa depan, begiti juga dengan semua aborigin dan penduduk asli pulau Torres Strait dalam masyarakat yang lebih luas dan di luarnya. Kedaulatan penduduk asli tak pernah diserahkan ke dalam apa yang disebut dengan Australia dan saya berusaha sadar akan hal ini di setiap hal yang saya lakukan.
Nama saya Fia Hamid-Walker. Saya seorang Indonesia-Australia dan saya juga jadi salah satu penandatangan Surat Terbuka yang diprakarsai tante Francisca Pattipilohy dan bung Jeffry Pondaag.
Sebenarnya saya bukanlah sejarawan. Saya seorang juru kampanye politik dan praktisi pembangunan internasional. Saya belajar sejarah kolonialisme Belanda di sekolah ketika saya menghabiskan masa remaja di Surabaya. Saya diajari untuk mengingat tahun, peristiwa dan tokoh-tokoh untuk lulus ujian dan bukan untuk memahami secara kritis kondisi sejarah yang terjadi. Apakah pelajaran sejarah di kelas dibuat untuk keuntungan pemerintah Belanda atau Indonesia? Saya tidak tahu dan tak pernah tahu. Kami butuh penelitian lebih tentang politik pendidikan sejarah di sekolah, benar kan?
Dan itulah kenapa penelitian anda, “Kemerdekaan, Dekolonisasi, Kekerasan dan Perang di Indoesia tahun 1945-1950” menarik perhatian saya. Jika saya bukan sejarawan, apakah bermasalah?
Saya beri anda ‘perspektif-aku’
Ini adalah apa yang banyak orang lupa tentang bagaimana rasanya menjadi subjek poskolonial seperti saya. Saya tidak mengalami bagaimana keadaan di bawah kolonialisme Belanda. Saya juga bukan bagian dari perjuangan kemerdekaan 1945-1949, tetapi saya mengalami bagaimana rasanya senantiasa mengikuti jejak langkah kolonialisme, mulai dari bagaimana seharusnya saya melihat sampai bagaimana seharusnya saya menilai kesuksesan saya.
Dan sebagai seorang praktisi pembangunan intenasional… (saya sadar) nilai-nilai kolonial ini masih cukup kuat dan hidup. Jadi, itulah hubungan antara saya dan penelitian ini.
Saya tak perlu lagi membahas bagaimana saya mengetahui penelitian anda, kebanyakan dari media sosial. Saya tinggal di Australia dan saya turut mendukung perjuangan pribumi untuk kedaulatannya. Jadi ketika saya dengar penelitian ini, saya tersentak senang hanya karena ada istilah ‘dekolonisasi’ dan saya pikir ini hanyalah soal waktu. Tetapi saya kira saya salah.
Saya tak menemukan apapun yang substansial dari website anda tentang proyek ini. Bagaimana penelitian ini dilakukan, digunakan dan untuk tujuan apa, siapa yang terlibat dan seterusnya. Susah sekali bagi saya untuk menyimpulkan sikap integritas dari penelitian ini jika semua yang terlibat di penelitian ini terus berbicara dalam lingkaran mereka. Anda tak serius menangani masalah yang sedang dihadapi banyak orang. Anda mengklaim bahwa penelitian ini akan berlangsung secara kritis. Tetapi nyatanya, anda mengesampingkan suara-suara kritis. Menyingkirkan mereka, tante Francisca dan bung Jeffry Pondaag, untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan yang mengarahkan penelitian ini. Kenapa? Mengundang Bung Jeffry untuk bicara selama 10 menit dalam satu acara demi menyebarluaskan penelitian ini. Itu bukan partisipasi atau kontribusi, itu namanya tokenisasi, salah satu ciri kolonial.
Anda malah melibatkan peneliti ‘lokal’ Indonesia, yang menurut Frantz Fanon, mereka adalah muka coklat dengan topeng putih. Mereka akan melakukan apapun untuk membuat Tuannya senang
Sebagai sejarawan, saya cukup yakin anda tahu tentang taktik “divide et impera” (adu domba). Saya kagum dengan istilah ini ketika saya pertama kali menemukannya waktu SMP. Terdengar sangat seksi dan mematikan. Saya hanya menggunakan taktik ini ketika saya membenci seseorang dan berharap segala keburukan dunia akan menimpanya. Saya kira saya telah memasukkan taktik kolonial ini dalam alam bawah sadar, tetapi apakah anda juga menggunakan taktik yang sama untuk penelitian ini? Bagaimana menurut anda? Terima kasih atas kesediaan anda mendengarkan video pertanyaan saya.”
—