Membaca Wandan diantara Samudera Banda
Catatan Anak Wandan atas Buku Marjolein Van Pagee: Genosida Banda
Terometamorfolio, 19 Maret 2024, Oleh: Muhammad Burhanudin Borut
Perkenalkan, asal saya dari Banda, Maluku.
– Banda Neira?
iya dan tidak..
– Maksudnya?
Nama kampung saya Banda Eli, di Kepulauan Kei.
– Bukan Banda Neira?
(asal kami) dari Banda Neira, tapi di Kei.
– Maksudnya?
Setiap kali orang Wandan, memperkenalkan diri sebagai warga asli kepulauan Banda, percakapan semacam ini sering terjadi. Pertanyaan, bahkan kernyit di dahi seakan sudah jadi respon galib seketika kata Wandan disandingkan dengan Banda. Sebabnya sederhana, publik umumnya memang tak mengenal apa itu Wandan. Publik tak paham soalan yang menyebabkan orang Wandan memperkenalkan diri sebagai banda “asli”. Sebagian publik tak mengerti, bahwa Banda yang mereka kenal kami ingat sebagai Wandan, di dalam hati.
Memperkenalkan identitas sebagai orang Wandan memang tidak pernah mudah. Perang atas nama Pala di awal abad 17 telah mengaburkan asal-usul orang Wandan dalam arus utama sejarah tentang Banda. Kebiadaban VOC telah secara sistematis merampok identitas spasial orang Wandan sebagai penduduk kepulauan Banda. Ribuan orang Wandan tewas, diasingkan, dirampok ruang hidupnya, dan harus hijrah meninggalkan Banda, meninggalkan memori mereka, terbentang di sepanjang Nusantara.
Genosida yang dilakukan VOC dalam sekejap seakan merubah Banda menjadi ruang kosong. Sebuah antah berantah dimana identitas dan narasi Wandan dipaksa hilang tanpa bekas. Akibatnya setiap kali sesi perkenalan menyentuh topik asal-usul, orang wandan harus menjelaskan diri sendiri lebih panjang dan lebih lebar dari biasanya.
Orang Wandan mesti menghimpun pengetahuan tentang sengkarut jejaring sejarah, geopolitik, dan ketamakan era kolonial untuk menjelaskan mengapa leluhur kami terusir dari Banda. Kami harus bergumul dengan memori kolektif yang tercabik-cabik setiap kali publik bertanya, bagaimana leluhur kami bermigrasi ke kepulauan Kei?.
Merunut kembali jejaring sejarah yang kompleks itu tidak selalu menyenangkan. Proses hijrah yang panjang, episodik, dan berada di bawah ancaman VOC telah membuat memori orang Wandan terhampar dalam berbagai keping ingatan kelompok. Sejarah dan identitas kami menjadi terlampau kompleks, terkait dengan begitu banyak penduduk pulau-pulau kecil di sepanjang Seram Timur dan punggungan busur banda (Banda Arch). Menceritakan kembali itu semua secara koheren tidak sebentar, tidak mudah, terutama kepada orang awam dari luar Maluku.
Karena itu seringkali kami, atau mungkin lebih tepatnya saya, segan memperkenalkan diri sebagai orang Wandan. Di masa lampau, saya umumnya tak membantah ketika kawan atau kolega memberi saya label yang sangat generik. Saya jarang keberatan ketika seorang teman merujuk pada Maluku, Kei, ataupun Banda sebagai identias dan letak asal-usul saya. Ini tokh tidak sepenuhnya salah, walaupun tidak seutuhnya benar.
Hari ini, saya berjanji untuk berhenti dari rasa malas menjelaskan identitas dan asal-usul saya. Saya tak akan lagi sungkan bercerita tentang Wandan. Mulai sekarang dan lain kali, saya akan lebih lugas memperkenalkan diri saya sebagai anak Wandan, sebagai Wandansio.
Buku Marjolein van Pagee yang berjudul Genosida Banda, kejahatan kemanusiaan Jan Pieterszoon Coen telah mengembalikan kesadaran saya tentang pentingnya menegaskan identitas. Marjolein telah membawa saya ke pesisir Neira, membuat saya menemukan Wandan dalam samudera teks tentang Banda.
Buku Marjoleine membuat saya yakin bahwa perkara memperkenalkan diri sebagai orang Wandan bukan semata soal semantik. Penegasan identitas Wandan penting sebagai pengakuan keberadaan diaspora warga asli Banda yang hijrah ke berbagai tempat di seluruh nusantara, terutama ke kepulauan Kei. Sikap ini juga sekaligus pernyataan lugas tentang perlawanan atas kebiadaban politik kolonial yang berusaha memusnahkan identitas dan mengaburkan sejarah kami.
Marjolein menyadarkan saya bahwa dengan memperkenalkan diri sebagai Wandansio, saya menyatakan bahwa warga asli kepulauan Banda tetap utuh, tidak kalah, tak pernah patah.
* * *
Pengakuan terhadap komunitas orang Wandan dan ajakan untuk memperhatikan narasi orang Wandan memang menjadi salah satu tema utama yang diangkat buku Genosida Banda karya Marjolein. Dalam pengantar edisi terjemahan bahasa Indonesia yang diterbitkan Komunitas Bambu, Marjolein mempersoalkan diabaikannya identitas Wandan dalam narasi sejarah Banda sebagai ujung pangkal tidak inkulisifnya perspektif sejarah Banda klasik maupun kontemporer. Kekosongan narasi Wandan, menurut Marjolein, telah mengecualikan perspektif korban langsung kolonialisme di pulau Pala dan menyebabkan sejarah Banda dibaca hanya melalui kacamata kolonial.
Dalam buku ini, Marjolein juga menulis kritik tentang subyektifitas sejarah kolonial dengan keras dan tanpa apologi.
“Sumber-sumber sejarah kolonial mengandung kebohongan” dan karena itu “tidak akan ada terobosan, jika kita membiarkan kebohongan-kebohongan itu terus berlanjut”.
Pernyataan Marjolein ini, betapapun terdengar konfrontatif, bukan ajakan untuk mengindahkan sumber primer kolonial dalam membaca sejarah. Justru, ini adalah ajakan terbuka untuk membaca teks kolonial secara kritis, memahami konteksnya yang sangat subyektif, termasuk dengan mempertanyakan sekeras-kerasnya motif narasi sejarah kolonial.
Marjolein, secara khusus, mengajak pembaca untuk mendekonstruksi pandangan sejarah yang ditegakan oleh pandangan subyektif Eropa dalam melihat belahan bumi yang disebut sebagai timur (the East). Tanpa sungkan, Marjolein menerangkan bagaimana prasangka rasial dan penafsiran teologis yang picik telah menumbuhkan rasa benci dan melahirkan kekejaman atas segala sesuatu yang dipandang tidak sepenuhnya eropa, atau lebih jauh, kepada sesuatu yang bersebrangan dengan Eropa.
Dalam buku ini, Marjolein menelanjangi siasat busuk Jan Pieterszoon Coen, sang Gubernur Jenderal VOC. Marjolein menunjukan bagaimana Coen memanfaatkan prasangka rasial dan melekatkan label tertentu untuk menjustifikasi kekejamannya. Label “orang islam yang curang dan tak beradab” yang diberikan Coen kepada orang Wandan adalah pretext untuk melakukan “kekejaman” tanpa pandang bulu kepada seluruh orang Wandan. Prasangka rasial semacam ini, dalam pandangan Marjoleine, masih lestari dalam berbagai literatur arus utama sejarah hari ini.
“Dalam arsip Belanda, orang Banda disebut sebagai orang-orang Moor yang tidak beriman dan tidak dapat dipercaya atau diharapkan kebaikannya. Orang Banda dituduh berbuat curang dengan mengakali timbangan dan menawarkan pala yang sudah berjamur. […] Pada prinsipnya mereka (red.VOC) hanya tidak ingin membayar lebih dari pesaing mereka. […] Bagaimanapun selama kunjungan pertama pada 1599, segera menjadi jelas bahwa orang Banda adalah pedagang berpengalaman dan memiliki posisi perdagangan yang unik”.
Selain menelanjangi berbagai prasangka Eropa dalam literatur sejarah Banda, Buku Marjolein juga berkontribusi membangun diskursus sejarah yang lebih inklusif dan adil. Buku Genosida Banda telah menghamparkan sejarah tidak hanya sebagai kronologi, tanggal, dan peristiwa, melainkan juga cerita tentang kumpulan manusia, betapapun telah tercabik-cabik ingatan kumpulan manusia itu tentang dirinya sendiri. Dalam arus utama sejarah yang melulu berkutat pada his dan her story, buku Marjolein telah mengarahkan arus dan ikut meluncurkan cerita kolektif tentang orang Wandan, tentang our story.
Marjolein memang bukan penulis asing pertama, yang merekam keberadaan orang Wandan. Timo Kartinen, seorang profesor antropolog asal Finlandia, juga telah menulis secara ekstensif tentang bagaimana masyarakat Wandan menjaga budaya dan memori kolektifnya tentang Banda melalui nyanyian dan puisi (onotani) selama ratusan tahun di kepulauan Kei.
Catatan tentang keberadaan orang Wandan di Kei bahkan dapat ditelusuri sejak pertengahan abad 17. Pada 1646 misalnya, ekspedisi Adrian Dortsman telah merekam pemukiman diaspora orang Wandan di negeri Eli, Elat, dan tepian negeri Haar. Dua abad kemudian, Van Hoevell (1890), dan Alfred Russel Wallace juga mencatat keberadaan diaspora orang Wandan di Kei. Dalam buku catatan perjalanannya, Malay Archipelago (1869), Wallace bahkan secara seksama menggambarkan perbedaan karaktersitik, budaya, dan agama antara orang Wandan dengan warga asli Kei
Walaupun bukan pioneer, karya Marjolein, Genosida Banda, memiliki kekuatan untuk memacu transformasi. Perbedaan terbesar Marjolein dengan penulis yang terlebih dahulu menulis tentang Wandan adalah Marjolein menulis dengan kesadaran kritis yang utuh. Marjolein yakin sepenuhnya bahwa narasi orang Wandan harus mewarnai diskursus tentang Banda. Dia menolak berhenti hanya pada pengakuan tentang keberadaan orang Wandan. Melalui buku ini, Marjolein menghamparkan ruang luas, merelakan bukunya sebagai alas bagi orang Wandan untuk menuliskan cerita tentang identitas dan sejarahnya.
Tekad Marjolein untuk memberi ruang bagi narasi korban ini tentu perlu disambut orang Wandan dengan suka cita. Keberaniannya membongkar narasi arus utama yang tidak peka terhadap ruang ingatan masyarakat perlu dimanfaatkan dan menjadi momentum untuk melakukan rekonstruksi atas memori kolektif orang Wandan, juga suku bangsa di sepanjang Nusantara.
Sudah saatnya bagi orang Wandan, juga suku bangsa lain di Maluku dan Nusantara untuk membangun kembali memori kolektifnya. Ini waktunya lebih lugas bicara tentang sejarah dan identitas kita. Mari berhenti menisbatkan memori kolektif bangsa sendiri sebagai semata-mata mitos, kebanggaan semu atau imajinasi orang-orang kalah. Tradisi lisan dalam kebudayaan Nusantara perlu kita sambut sebagai sumber sejarah yang dapat kita telisik dan kita bandingkan secara kritis dengan dokumen kolonial.
Dalam studinya tentang ketahanan budaya masyarakat diaspora Wandan di Kei, Timo Kaartinen telah memanfaatkan memori kolektif orang Wandan untuk menyusun sebuah narasi yang lebih koheren tentang migrasi dan ketahanan orang Wandan di Kei. Timo memanfaatkan konsep meta-history dalam studi antropologi untuk mengatasi kesenjangan antar fakta dalam memori kolektif masyarakat dengan berbagai dokumen sejarah. Orang Wandan dan komunitas lain di seluruh Nusantara (sebenarnya) dapat memanfaatkan konsep meta-history ini untuk menempatkan memori kolektif komunitas dalam diskursus arus utama sejarah, pada panggung yang sama tinggi, tak kalah dengan tafsiran sejarah kolonial yang kental dengan prasangka.
Buku Marjolein telah memberi harapan baru. Dari sini, diskursus tentang Banda dan sejarah nusantara semoga menjadi lebih inklusif dan kritis, diperkaya dengan sudut pandang yang lebih adil dan menyeluruh. Ini pada kesimpulan saya adalah pesan tanpa bunyi yang hendak dihantarkan oleh buku Marjolein pada kita semua.
Tapi untuk memulai itu semua mari kembali rangkul identitas asali kita.
Maka itu, ijinkan saya untuk (kembali) memperkenalkan diri.
Nama saya Burhan.
Leluhur saya berasal dari gugusan pulau yang anda kenal sebagai Banda,
pulau penghasil Pala.
Kami menyebut gugusan tanah dan air itu sebagai Wandan.
Tidak, saya bukan hanya orang Banda,
Saya anak Wandan,
Saya Wandansio!
—
Baca juga: