Author Country Media Name Year Topic , , , Translator

Resensi Novel ‘Sang Penerjemah dari Jawa’ – Fiction Books

Resensi Novel ‘Sang Penerjemah dari Jawa’

Fiction Books, Juni 2020, Oleh: Yvonne Gill (diterjemahkan oleh: Batari Oja Andini)

‘Dia dan aku, tapi bukan “kami”

Wah! Sungguh, saya kurang yakin bahwa saya mampu menulis resensi dengan penilaian yang benar-benar pantas untuk novel ini. Saya juga berharap saya sudah benar dalam menginterpretasikan pesan novel ini sebagaimana maksud penulisnya. Saya pikir novel ini akan memberi lebih banyak manfaat jika dikaji dari pemahaman dan pengetahuan yang dimiliki oleh seorang kritikus sastra atau sejarawan, yang dapat memberikan pengakuan yang lebih terpercaya.

Yvonne Gill

Secara pribadi, saya lebih suka mencari bagian mana dari cerita ini yang fiksi dan bagian mana yang memoar dan kenyataan; tebakan saya kebanyakan adalah yang terakhir, daripada yang pertama. Secara keseluruhan terjemahannya sangat bagus, meskipun ada alur cerita yang agak terputus dan kadang bertele-tele. Pada akhirnya, ada beberapa bagian yang perlu saya baca ulang beberapa kali untuk mengetahui dengan tepat siapa yang sedang bercerita dalam dialog itu. Jadi beberapa bab ditandai dengan jelas dan beberapa narasi dibuat lebih ringkas, mungkin sengaja dibuat sedikit lebih pendek, agar lebih mudah untuk mengikuti perjalanan sejarah, melalui sebuah dokumentasi penting tentang masa penjajahan di Hindia Belanda (Indonesia). Sebuah catatan pribadi yang sangat menguras emosi, yang tidak menyembunyikan apapun dalam penceritaannya, dan yang jelas bukan bacaan untuk orang berhati lemah.

Konflik antara Hindia Belanda dan tentara Jepang adalah bagian dari Perang Dunia II, yang harus diakui, tidak banyak saya ketahui sebelum membaca buku ini. Kekerasan dan kebrutalan penjajah terhadap suatu bangsa dan rakyatnya, yang diekspos dengan gamblang oleh ayah dan kakek Alan, menjadi latar belakang atas apa yang kemudian menjadi “dendam seumur hidup” bagi kedua pria ini dalam melawan otoritas kekuasaan, yang tidak pernah sungkan untuk menumpahkan darah. Itulah bagian-bagian menjijikkan yang mungkin sungguh-sungguh terjadi, kenyataan perang yang dimulai sejak lama, dengan penjajahan Belanda atas bangsa Indonesia.

Aksi kekejaman dalam semua bagian digambarkan dengan sangat detail dan sangat mengerikan. Bahasa yang digunakan sangat jelas, tidak dapat disalahartikan, atau disalahmengertikan sebagai hal lain selain apa yang dimaksudkan oleh penulis, membuat pembaca tidak dapat kabur atau ragu dari apa yang sedang mereka saksikan, seolah-olah jika mereka memejamkan mata, mereka benar-benar berada di dalam cerita itu. Catatan buku harian Arto sangat telanjang dan intens, tanpa kemahiran dan keterampilan sastra apapun. Oleh karena itulah, kita disuguhi dengan horor dan teror yang mentah dan vulgar, walaupun banyak juga adegan yang sedikit dibumbui dalam penceritaannya, sebagaimana saya mendapat kesan bahwa Arto berhasil mendapat pengakuan dan pujian dari rekan dan tuannya, sepertinya memang sulit ditebak. Arto berperan sebagai seorang penerjemah, kemudian ditugaskan sebagai pegawai Layanan Khusus, meskipun dia lebih suka memperkenalkan dirinya sebagai seorang Marinir Belanda, gelar yang menurutnya lebih sesuai dengan darah campurannya. Pada kenyataannya, jabatan itu telah memberinya mandat untuk menjadi salah satu agresor dan interogator yang paling ditakuti dan yang paling kejam. Jabatan tersebut juga secara langsung menempatkan dirinya di garis depan dalam setiap konfrontasi militer, demi segala maksud dan tujuan sebagai pembunuh utama, dimana dia berusaha sebisa mungkin tidak menawan orang, tapi lebih memilih menggunakan gaya keadilan instannya sendiri.

Setelah selamat dari pembantaian Jepang, orang akan mengira bahwa Arto akan berpindah ke pihak rakyat Indonesia dalam memperjuangkan kemerdekaannya dari Penjajah Belanda. Namun ternyata, Arto yang selalu bermasalah, memutuskan untuk mendukung kembalinya Penjajah Belanda ke daerah itu, meninggalkan teman-teman dan keluarganya, menuju kepada apa yang dia yakini sebagai kemungkinan tak terbatas untuk kemajuannya, yang sedang menunggunya di Hindia Belanda, atau bahkan di Belanda sendiri, jika transisi itu memungkinkan. Ketika sudah jelas bahwa Belanda harus menyerahkan negara jajahan mereka kepada gerakan kemerdekaan Indonesia, Arto dievakuasi dan dipulangkan sebagai kolaborator, bersama banyak pesakitan Belanda lainnya. Pada akhirnya, dia menjadi Eropa sebagaimana yang selalu didambakan dalam impiannya.

Arto, dia selalu berjuang untuk pengakuan yang sulit dipahami, yang tidak pernah benar-benar terwujud. Oleh karena itu, dia tidak pernah bahagia dengan kebebasan baru, pada akhirnya dia hanya berubah dari orang buangan di negaranya sendiri menjadi orang buangan di negara lain. Dia tidak pernah menyadari kenyataan bahwa dia telah kehilangan apa yang bisa menjadi hal terpenting dalam hidupnya – cinta dan rasa hormat dari keluarganya sendiri – mungkin itu karena dia tidak pernah belajar untuk mencintai dan menghargai dirinya sendiri.

Ayah Arto juga menderita di bawah okupasi Tentara Jepang, tidak perlu disangsikan, juga tidak diragukan lagi bagaimana peristiwa-peristiwa itu membentuk masa depannya dan kesehatan mentalnya. Puncaknya adalah pemukulan dan pelecehan berkelanjutan yang ditujukan kepada ibu Arto, Arto, dan saudara-saudaranya. Dari sini, saya dapat mengerti bagaimana kekerasan yang memberikan masalah dan kerusakan parah ini juga merupakan awal mula perjuangan hidup Arto. Dalam dirinya, ada perang yang tak terlihat melawan iblis jahat di hatinya sendiri, yang dia dokumentasikan secara keterlaluan dan berlebihan. Dia tidak pernah menyalahkan, tapi dia juga tidak pernah bertobat atas pengaruh kekerasan yang dia lakukan baik terhadap dirinya, maupun terhadap keluarganya. Tidak ada keraguan bahwa dia memang dibentuk oleh ayahnya, walaupun begitu, akar masalah yang kemudian mendorong sikap Arto terhadap keturunannya, terutama antara Alan dan saudara kembarnya, Phil, adalah tindak kejahatan yang hampir tak termaafkan, pola asuh yang brutal yang ditujukan terhadap anak-anaknya, dan perilaku mengendalikan dan memaksa yang dia tujukkan terhadap istrinya.

Ada banyak sekali rekaman pelecehan, kekejaman, pengabaian, dan kekerasan terhadap ibu dan saudara Alan, yang dipicu dan dicatat sendiri oleh Arto secara pribadi di dalam halaman buku hariannya, yang dia simpan dengan cermat, sedemikian rupa sehingga saya membutuhkan banyak stamina untuk terus membajaknya. Mana ada orang yang telah melakukan kekejaman mental dan fisik yang begitu mengerikan pada keluarganya sendiri, tapi tidak ingin menyembunyikan perbuatannya atau menundukkan kepala karena malu? Hal ini membuat saya bertanya-tanya, apakah Arto merasa bahwa dengan mencatat tindakannya di atas kertas dimana itu mungkin dibaca orang lain, dia sebenarnya mengutuk atau malah memaklumi perilakunya sendiri? Saya ingin bermurah hati dan berpendapat yang pertama, tapi setelah dicermati lagi, saya merasa ada semacam kebanggaan pada diri Arto ketika melakukan kekerasannya itu, sehingga dia melakukannya sebagaimana dia mengenakan lencana kehormatan! Sebenarnya, banyak pengakuan dengan frekuensi dan intensitas yang berlebihan, tetapi saya merasa bersalah kepada Alan dan segenap keluarganya karena membaca komentar sosial yang penting dan kuat ini sampai titik penghabisan.

Pada pembalasan akhir, Phil, setidaknya mempertimbangkan bahwa banyak dari kegagalan Arto bukan karena dirinya sendiri yang jahat, melainkan lebih merupakan produk dari pola asuhnya semasa kecil. Alan tidak ingin memberi keringanan atas perilaku ayahnya, bahkan pada akhirnya, kematian Arto digambarkan sebagai penutup cerita kelam hidupnya, sebagai pria yang dibencinya dengan penuh dendam sejak kecil, namun sudah tidak memiliki kekuatan atau kemampuan untuk menyakitinya lagi.

Arto, apakah seorang makhluk jahat tanpa kompromi yang paling kejam, yang mendapatkan ganjarannya; ataukah seorang pribadi yang rumit dan kacau, mencari kesejatian dirinya namun tidak mampu mengendalikan perilaku yang telah ditanamkan dalam dirinya melalui pola asuh dan keadaannya?

Novel ini adalah karya yang luar biasa, sebagai salah satu penyimpangan dari genre bacaan saya yang biasanya. Tidak diragukan lagi, manfaat novel ini sebagai bagian penting dari sejarah sosial, serta wawasan tentang intrik politik dari bagian dunia yang hanya sedikit saya ketahui , tapi sekarang saya tahu lebih banyak!

Salinan kindle novel ini, dihadiahkan kepada saya oleh penerbit Head Of Zeus dan penerbit Midas PRdengan pengunduhan yang difasilitasi oleh NetGalley

Segala pendapat atau komentar merupakan pendapat pribadi saya dan saya sama sekali tidak diberi kompensasi uang untuk ini, atau dengan kata lain saya tidak mempromosikan novel ini, maupun penulisnya.

Saya pribadi tidak setuju menilai sebuah novel dalam suatu “peringkat”, karena keseluruhan pengalaman membaca adalah selera pribadi masing-masing, yang berbeda-beda untuk setiap pembaca. Namun beberapa situs ulasan memang menuntut nilai peringkat, jadi ketika resensi ini diposting ke situs dengan peringkat, maka bintang 4 dari 5 adalah nilai yang pantas untuk novel ini.

KALIMAT PERTAMA:

“Sewaktu muda di Surabaya, ayah saya melihat ‘cerutu terbang’[1] Angkatan Udara Jepang mengebom rumahnya menjadi puing-puing, dia melihat tentara Jepang memenggal kepala warga sipil, dia melakukan tindakan sabotase untuk Korps Pemusnah, disiksa dan dibaringkan di dalam kotak besi, kemudian dipanggang di bawah terik matahari, dia melihat tentara Jepang memberi makan hiu dengan sebuah truk penuh berisi tahanan Australia yang dikurung, dia melihat tentara Punjabi di bawah komando Inggris menyelinap ke Jepang dan menggorok leher mereka, dia belajar dari kematian sepupunya di rel kereta api Burma, mendengar bagaimana paman kesayangannya disiksa sampai mati oleh tentara Jepang di tanah milik keluarganya, dia mengkhianati kekasih pelacur Jepangnya, dia mamandu pasukan Sekutu melewati panasnya Jawa Timur, dimana pemberontak Indonesia digantung di pergelangan kaki dan diinterogasi sementara dia – sang penerjemah – menempa mesin ketik, dia membantu Sekutu membakar desa-desa hingga rata dengan tanah, dia mendengar teriakan para pemberontak muda yang terbakar api saat mereka lari dari rumah mereka yang terbakar dan kemudian dihujani tembakan, dia belajar memegang senjata kemudian, di stasiun kereta api, dia latihan dengan melubangi seorang wanita dan anaknya dengan peluru ketika seorang pejuang kemerdekaan Jawa berlindung di belakang mereka, dia memimpin unit interogasi di Jember, memecah kebungkaman sebagian besar narapidana yang paling bungkam sekalipun, ia terlempar 250 kaki ke jurang saat kendaraan perangnya menabrak ranjau darat, ia diperintahkan oleh seorang perwira Belanda untuk mengawasi pengangkutan narapidana dari penjara kotapraja di Jember, kemudian tiba di stasiun Wonokromo di Surabaya setelah sembilan jam perjalanan, dia menyeret mayat tahanan yang mati lemas dari kereta barang, dia menemukan tubuh seorang teman Indo yang telah meledakkan otaknya karena kekasihnya tidur dengan tentara Belanda, dan, di tengah kekacauan Bersiap, dia membunuh pria muda yang dengannya dia menaruh dendam.”

[1] Pesawat tempur Mitsubishi milik Jepang

BEBERAPA KALIMAT YANG MENGESANKAN:

“Dan kepala babi seperti kau, kau terus menonton film-film Amerika bodoh itu sepanjang hidupmu, film dimana perang adalah untuk pahlawan dan kedamaian untuk pengecut.”

“Hal terburuk adalah saat sebelum kepala kami bertabrakan. Dalam sekejap kau melihat jauh ke dalam mata saudaramu yang ketakutan. Dan dia juga melihat ke dalam matamu. Aku tidak ingat kapan terakhir kali kami saling memandang. Aku khawatir kami tidak pernah benar-benar melakukannya, khawatir kami saling menghindar untuk saling memandang selama hidup kami.”

“Dalam kasus tertentu, perlakukan musuhmu sebagai teman. Biarkan dia merasa menang. Tunggu saat dia lemah, lalu serang.”

“Mengutarakan pikiranmu tidaklah menyakitkan. Paling-paling, hanya mengganggu orang lain. Tapi diam-diam mengecualikan seseorang dari kelompok dengan tatapan dan tanpa sepatah kata pun, seperti mencabut hak mereka untuk membela diri. “

“Kebebasan adalah kemampuan untuk membuka pintu dan menutupnya kembali dari belakang. Sesederhana itu.”

“Perlahan-lahan saya mulai sadar bahwa seorang tentara tidak lebih dari alat di tangan para politisi.”

“Tentu saja kita semua telah melakukan kesalahan, sebagian besar muncul dari fakta bahwa kesalahan itu inhern dalam penciptaan manusia dan oleh karena itu harus diampuni.”

“Pada dasarnya, Pa adalah orang yang berperasaan. Tapi di dunia luar dia harus bertindak sebagai orang yang berakal.”

“Dia akan datang untuk mengerti bagaimana kita dilahirkan dan bahwa jalan hidup kita tidak berada dalam pemahaman fana ini.”

Pada tanggal 3 September 2020, sebuah penerbitan yang berbasis di London bernama ‘Head of Zeus‘ merilis ‘The Interpreter from Java’, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh David Doherty: