Lagu dari Tanah yang Lain
Pada tahun 1621, ribuan penduduk Kepulauan Banda dibantai dengan keji oleh Belanda di bawah komando Jan Pieterszoon Coen. Alasannya adalah monopoli atas rempah, khususnya pala. Pembantaian ini merupakan genosida pertama yang dijalankan orang Eropa terhadap penduduk lokal di Hindia Timur. Namun tidak seluruh orang Banda musnah. Beberapa dari mereka yang selamat kemudian dibawa ke Batavia (sekarang Jakarta) untuk dijadikan budak, sementara sisanya melarikan diri ke pulau-pulau lainnya di Maluku, termasuk Kei Besar. Di Banda Eli, sebuah kampung terpencil di sisi timur Kei Besar, keturunan para penyintas masih hidup hingga kini. Mereka terus berucap dan bernyanyi dalam bahasa Turwandan, bahasa asli Banda yang kini tidak lagi bisa didengar di tempat asalnya.
Pada pengujung tahun 2016, saya dan Fatris M F mengunjungi Banda Eli. Kami sepenuhnya sadar, setelah beberapa kali kunjungan ke Kepulauan Banda, kami tak banyak mendengar kisah-kisah tentang orang Banda asli. Satu-satunya karya yang bahasannya cukup lengkap adalah buku Timo Kaartinen ‘Songs of Travel, Stories of Place: Poetics of Absence in an Eastern Indonesian Society’. Susah dibantah bahwa orang-orang Banda Eli hampir sepenuhnya tersingkirkan dan dilupakan dalam banyak pembahasan tentang sejarah penjajahan Kepulauan Banda dan sejarah Indonesia dalam lingkup lebih luas. Inilah yang kemudian memperkuat keinginan kami untuk berangkat ke Banda Eli.
Lewat seorang teman kami lantas terhubung dengan Munawir Borut, seorang putra Banda Eli yang tinggal di Ambon. Munawir kemudian menghubungkan kami dengan masyarakat Banda Eli. Musim berganti dan saat akhirnya laut bershabat kami berangkat tanpa pikir panjang. Pada akhirnya perjalanan dari Jakarta menuju ke sana memang tidak singkat: terbang dengan pesawat, menyeberang dengan kapal feri, lalu menumpang ojek, dan naik perahu lagi. Tapi ini sebuah kunjungan yang penting. Mereka inilah orang-orang yang moyangnya, dengan darah mereka sendiri, jadi tumbal dari sebuah proses panjang terciptanya perdagangan internasional modern, globalisasi, dan juga kemudian, lahirnya bangsa bernama Indonesia. Dan kami ingin mendengar kisah mereka.
Hari ini, 8 Mei 2021, untuk memperingati 400 tahun pembantaian brutal tersebut, kami mempersembahkan film dokumenter singkat ini. Film tentang masyarakat Banda Eli yang dituturkan oleh mereka sendiri. Kami berharap film ini bukan akhir, tetapi hanya sebagai permulaan untuk diskusi-diskusi selanjutnya.
Terima kasih kepada seluruh warga Banda Eli yang terlibat dalam proses pembuatan film ini, khususnya Munawir Borut, Abd Rivai, Narti Latar, Masa Latar, Aipa Latar, Mustika Latar (alm.), Lawataka Latar (alm.), Andi, Gildan, dan Putri.
Dan juga terima kasih atas bantuannya:
Giri Prasetyo (Editor), Astri Apriyani (Screenwriter), Samuel Respati (Music Composer), Zhu Qincay (Additonal Editing), dan Pak Martin Westlake (English Translation).
Muhammad Fadli