Betapa Susah Belanda Mengakui Proklamasi 1945
Tirto, 17 Agustus 2017, Teks: Iswara N. Raditya
Sangat lama bagi Belanda untuk bisa mengakui kemerdekaan Indonesia. Apa yang terjadi?
tirto.id – Bukan Ratu Beatrix yang datang ke Indonesia untuk menyampaikan penyesalan sekaligus pengakuan, terlebih memohon maaf. Bukan pula Perdana Menteri Jan Peter Balkenende.
Orang yang diperintahkan untuk mewakili “pengakuan” Belanda bahwa kemerdekaan Indonesia memang terjadi sejak 17 Agustus 1945 adalah Menteri Luar Negeri Belanda Bernard Bot.
Setelah 60 tahun berlalu, Belanda akhirnya bersedia secara resmi menerima kenyataan historis proklamasi kemerdekaan yang dibacakan Sukarno-Hatta atas nama rakyat Indonesia terjadi pada 17 Agustus 1945. Sebelum itu, Kerajaan Belanda tetap berkeyakinan bahwa Indonesia baru menjadi negara merdeka setelah penyerahan kedaulatan pada 27 Desember 1949.
Menteri Bot tiba di Jakarta pada 16 Agustus 2005. Ia menghadiri peringatan 60 tahun kemerdekaan Indonesia di Istana Negara (Pewarta Departemen Luar Negeri RI, 2006:139). Kehadiran utusan resmi Kerajaan Belanda ini adalah kali pertama dalam sejarah perayaan proklamasi kemerdekaan.
Basa-Basi ala Belanda
Sehari sebelum mengirim menteri luar negerinya ke Jakarta, Kerajaan Belanda menggelar peringatan berakhirnya pendudukan Jepang di Indonesia. Ratu Beatrix hadir dalam acara yang berlangsung di Den Haag itu. Namun, yang naik ke podium adalah Bernard Bot. Sang ratu tidak berpesan apa pun, hanya menyematkan karangan bunga pada penghujung acara.
Bot mengakui tugas yang diamanatkan kepadanya untuk menyampaikan pidato dalam acara itu cukup menguras perasaan, terlebih lagi ia orang Belanda yang lahir di Indonesia, tepatnya di Batavia (Jakarta) pada 21 November 1937.
Dikutip dari NRC Handelsblad yang dimuat Nieuws Briefs edisi 15 Agustus 2005 (halaman 5), Bot berkata pada bagian awal pidatonya: “… kenangan datang pada hari ini—baik positif maupun negatif—dari Indonesia, melintasi 5 zona waktu dan berjarak 28.000 kilometer jauhnya dari tempat ini, tetapi belum begitu dekat secara emosional.”
Cukup panjang paparan yang disampaikan sang menteri. Sebagian di antaranya berkisah tentang penderitaan akibat pendudukan Jepang di Hindia (Indonesia). Bot seolah-olah hendak mengarahkan bahwa orang Belanda dan Indonesia senasib dan sepenanggungan; sama-sama pernah merana di bawah cengkeraman Dai Nippon.
Bot beberapa kali menekankan bahwa sejarah memang tak boleh dilupakan, tetapi alangkah lebih baik jika fokus menatap ke depan.
“Pengetahuan sejarah memang tidak mewah, tapi (itu adalah) persyaratan untuk memandang lebih jelas tentang masa depan. Dan yang pasti, berlaku (juga) untuk hubungan antara Belanda dan Indonesia.”
Tidak ada kata maaf dalam pidato tersebut. Bot justru menyebut relasi Belanda-Indonesia baik-baik saja—tanpa menyinggung perasaan rakyat Indonesia selama dijajah Belanda—dan kedua negara akan terus bekerja sama di masa depan.
“Banyak tantangan yang harus kita lakukan bersama, seperti memerangi intoleransi, ekstremisme, dan terorisme,” kata Bot.
Bot juga menyampaikan pidato tambahan bahwa ia akan segera terbang ke Jakarta untuk menghadiri peringatan kemerdekaan Indonesia ke-60. Tapi, lagi-lagi, tiada isyarat permohonan maaf dalam agenda kunjungan itu, atau Belanda bakal mengakui secara tegas bahwa 17 Agustus 1945 adalah hari kemerdekaan Indonesia.
Bot hanya mengatakan, “Saya akan menjelaskan kepada rakyat Indonesia bahwa kehadiran saya dapat dilihat sebagai penerimaan politik dan moral dari tanggal tersebut (17 Agustus).”
Penyesalan tanpa Keikhlasan
Saat memberikan sambutan di Jakarta pada 16 Agustus 2005, Bernard Bot menegaskan ucapannya itu. Dikutip dari pidato lengkapnya yang tersedia di laman resmi Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Bot berkata:
“Ini adalah pertama kalinya sejak Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya bahwa seorang anggota pemerintah Belanda akan menghadiri perayaan tersebut. Dengan kehadiran saya, pemerintah Belanda mengekspresikan penerimaan politik dan moral.”
Selanjutnya, ia terkesan berputar-putar menjelaskan apa yang sesungguhnya dirasakan pemerintah Belanda setelah Sukarno-Hatta mendeklarasikan kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, dan fakta-fakta pahit yang sebenarnya terjadi pada masa-masa itu.
“Proklamasi, tanggal Republik Indonesia mengumumkan kemerdekaan. Hanya ketika seseorang berdiri di puncak gunung, dia bisa melihat jalan yang paling sederhana dan terpendek. Hal ini berlaku juga untuk orang-orang di pihak Belanda yang terlibat dalam keputusan yang diambil dari tahun 1945 dan seterusnya.”
“Hanya di belakang, menjadi jelas bahwa pemisahan antara Indonesia dan Belanda ditandai dengan lebih banyak kekerasan dan berlangsung lebih lama dari yang diperlukan,” lanjut Bot.
Pengakuan Kerajaan Belanda atas kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 lagi-lagi hanya diucapkan Bot secara tersirat. Ia justru meminjam kata-kata Ali Boediardjo yang mewakili Indonesia dalam upaya rekonsiliasi dengan Belanda pada 1990.
“Kami memiliki satu prinsip dasar yang sama, yaitu humanisme, yang berarti seseorang dapat memahami sesama dan dapat memaafkan yang jahat,” sebut Bot menirukan ucapan Boediardjo.
Apakah Belanda menyesal?
Bot memang mengakuinya. Tapi tidak secara gamblang dan menyeluruh bahwa Belanda telah mengakibatkan kerugian dan penderitaan bagi rakyat Indonesia selama bertahun-tahun.
Bot hanya menyatakan penyesalan terkait Agresi Militer Belanda I yang dilancarkan setelah Indonesia merdeka. Itu pun ia masih berkelit bahwa pihak Belanda juga mengalami kerugian. Bot sama sekali enggan menyinggung insiden-insiden sebelum atau setelahnya yang memang terjadi dan telah merugikan Indonesia.
“Jelas bahwa pengerahan pasukan militer berskala besar pada 1947 menempatkan Belanda pada sisi sejarah yang salah. Hampir 6.000 militer Belanda gugur dalam pertempuran, banyak yang cacat atau menjadi korban trauma psikologis,” ucap Bot.
“Fakta bahwa tindakan militer diambil dan banyak orang di kedua belah pihak kehilangan nyawa mereka atau terluka adalah kenyataan yang keras dan pahit, terutama bagi Anda, orang-orang Republik Indonesia. Sejumlah besar orang Anda diperkirakan telah meninggal akibat tindakan yang diambil oleh Belanda.”
“Atas nama pemerintah Belanda, saya ingin mengungkapkan penyesalan mendalam atas semua penderitaan itu,” sebut Bot tanpa mengucapkan kata-kata maaf dan hanya memungkasi sambutannya dengan berkata, “Mari kita menyongsong masa depan bersama-sama dengan penuh keyakinan.”
Susah Mengakui & Meminta Maaf
Pemaparan Bernard Bot atas apa yang terjadi antara Belanda dan Indonesia di masa silam itu barangkali sudah cukup memuaskan bagi pemerintah RI. Menteri Luar Negeri RI kala itu, Hassan Wirajuda, tak ingin terlalu ngotot mendesak Belanda meminta maaf dan mengakui bahwa Indonesia merdeka sejak 17 Agustus 1945.
“Kami menerima pernyataan penyesalan dari pemerintah Belanda. Kita sudah dengar sendiri dari Menlu Bot. Ini adalah pernyataan yang sensitif. Di Belanda pun untuk menyatakan penyesalan ini menjadi perdebatan sejumlah pihak. Kita harus menghargai sikap Belanda,” kata Wirajuda (Detik, 16 Agustus 2005).
Alih-alih meminta maaf, Belanda bahkan terlalu lama untuk mengakui kemerdekaan RI: butuh waktu 60 tahun—itu pun disampaikan secara berbelit-belit dan tak langsung dengan tegas ke pokok persoalan, seperti yang telah dipaparkan Bot. Mengapa bisa begitu?
Seperti kata Wirajuda, apa yang diucapkan Bot sebelumnya telah memicu perdebatan keras terkait apakah Belanda perlu meminta maaf dan mengakui kemerdekaan Indonesia atau tidak. Harga diri orang-orang Belanda, terutama kaum veteran, agaknya terlalu tinggi untuk mengatakan bahwa mereka pernah menyebabkan penderitaan yang besar kepada rakyat dan bangsa Indonesia.
Rosihan Anwar, satu-satunya wartawan Indonesia yang meliput Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag pada akhir 1949, juga sepakat dengan itu; bahwa tindakan Bot sebetulnya sudah cukup mewakili pengakuan dan permintaan maaf Belanda kepada bangsa Indonesia.
“Bot yang lahir di Jakarta, masuk kamp interniran di zaman Jepang, berani datang ke Jakarta dan dengan melawan sikap kaum veteran Belanda yang berperang di Indonesia, memberitahukan kepada Negeri Belanda pada saat Aksi Polisionil (agresi militer) telah berdiri aan de verkeerde kant van de geschiedenis (di tempat yang keliru dari sejarah),” sebut Rosihan Anwar dalam Napak Tilas ke Belanda: 60 Tahun Perjalanan Wartawan KMB 1949 (2010:18).
Pro-Kontra Dugaan Kejahatan Perang
Belanda melepas Indonesia setelah penyerahan kedaulatan pada akhir 1949. Itu pun karena desakan internasional dan masih berbuntut pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) dari semula negara merdeka berdaulat berubah bentuk negara federasi. Belanda menganggap secara hukum internasional masih sebagai tuan dan penguasa atas Indonesia (Rosihan Anwar, 2010:18).
Setelah RIS dibubarkan pada 17 Agustus 1950 dan Indonesia mulai benar-benar menapaki perannya sebagai negara baru yang berdaulat, pro dan kontra di Belanda terkait tuntutan pengakuan dan permintaan maaf mulai berlangsung, dan api dalam sekam itu terus terpelihara hingga berpuluh-puluh tahun.
Pemicu apinya bernama Joop Hueting, mantan tentara yang sudah cukup lama berupaya mengungkap kejahatan perang oleh militer Belanda—menurut pengalamannya—semasa ditugaskan di Hindia Belanda. Namun, nyaris tidak ada yang bersedia mendengarkan suaranya.
Baru pada 1969, Hueting berkesempatan untuk menyampaikan apa yang selama ini menghantui hati nuraninya. VARA, salah satu stasiun televisi di Belanda, memberikan panggung kepada Hueting melalui program bertajuk “Achter het Nieuws” (Frans Glissenaar, Indie Verloren, Rampspoed Geboren, 2003:86). Di situlah, mantan serdadu tersebut mengisahkan kebiadaban tentara Belanda di tanah jajahan, Indonesia.
Apa yang diungkapkan Hueting tak pelak membuat gempar seisi negeri Belanda. Mulai muncul pro dan kontra terkait dugaan kejahatan perang yang sebenarnya sangat mungkin dilakukan tentara Belanda di Hindia. Ada yang menyerukan agar pemerintah Belanda meminta maaf secara resmi kepada Indonesia, tetapi banyak pula yang tidak sepakat, terutama dari sebagian besar kalangan veteran.
Mulai terjadi diskusi-diskusi sengit antara kedua kubu, juga perdebatan di Majelis Rendah (Tweede Kamer), hingga digelar penelitian—kendati terkesan terburu-buru—dari komite resmi pemerintah. Mereka yang menolak minta maaf berkeyakinan bahwa pasukan Belanda tak pernah melanggar batas saat bertugas di Indonesia.
Salah satu pentolan dari kubu ini adalah Perdana Menteri Belanda Piet de Jong (menjabat 1967-1971). De Jong, jebolan angkatan laut Belanda, menegaskan bahwa meski dulu mungkin terjadi dampak yang kini disesalkan, tapi para militer di pihak Belanda saat itu pada umumnya telah bertindak menurut garis aturan.
“Pemerintah menyesalkan telah terjadi ekses-ekses, tetapi pemerintah mempertahankan pandangannya bahwa seluruh angkatan perang Belanda di Indonesia telah berperilaku benar. Data-data yang dikumpulkan menegaskan bahwa di masa itu tidak ada tindakan kekejaman manusia,” tandas de Jong dalam suratnya kepada Majelis Rendah bertanggal 29 Januari 1969 (Gert Oostindie, Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950, 2016:21).
Istilah “ekses-ekses” yang digunakan de Jong itu kemudian mendominasi versi resmi pemerintah Belanda. Butuh waktu yang lama istilah “ekses-ekses” itu mulai digantikan oleh istilah yang lebih jujur: kejahatan perang.
Hingga kini pun Belanda lebih mengakui “ekses-ekses” yang sifatnya terbatas, untuk kasus-kasus tertentu, seperti di Rawagede, dan bukan “kejahatan perang” yang berlangsung meluas dan sistematis.
Belajar Memaafkan yang Jahat
Pro-kontra tentang perlu atau tidak digelar penyelidikan secara mendalam dan menyeluruh terkait dugaan kejahatan perang di Indonesia—juga apakah pemerintah Belanda harus meminta maaf kepada rakyat dan pemerintah Indonesia— masih bergulir dari waktu ke waktu, tanpa pernah ada kepastian meskipun masing-masing kubu masih bersikeras dengan keyakinannya masing-masing.
Ketika Ratu Beatrix ingin menghadiri perayaan 50 tahun kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1995, ribut-ribut muncul lagi. Sang ratu sebenarnya sudah terbang menuju Jakarta, tetapi penolakan tajam terutama dari kalangan veteran yang didukung Perdana Menteri Belanda Willem Cockless alias Wim Kok (1994-2002), membuat sang ratu terpaksa singgah di Singapura. Ratu Beatrix baru ke Indonesia beberapa hari setelah perayaan 17 Agustus.
Meski tetap datang ke Indonesia, tetapi tidak ada pernyataan apa pun dari Ratu Belanda, baik pengakuan terhadap kemerdekaan Indonesia maupun permintaan maaf. Ratu Beatrix mengalihkan tujuannya dengan sekadar berkunjung demi menghindari perdebatan yang lebih besar dan keras di negerinya.
Namun, terlepas dari pengakuan atau permintaan maaf Belanda yang terus saja dipersoalkan, yang jelas Indonesia sudah merdeka sejak 17 Agustus 1945. Kemudian ditegaskan dengan hasil KMB pada 2 November 1949 dan segera ditindaklanjuti penyerahan kedaulatan pada akhir tahun itu.
Sang proklamator Mohammad Hatta selaku wakil Indonesia di KMB pun sudah merasa puas dengan keputusan yang dihasilkan di Den Haag tersebut, sebagaimana yang diucapkannya dengan lantang dan bangga dalam upacara penyerahan kedaulatan, yang didengar langsung oleh Rosihan Anwar:
“Rakyat Indonesia sudah merasa lega dengan lenyapnya kolonialisme di Indonesia dan dengan susunan hukum baru berdasarkan Pancasila.”
Sejak itu persoalan ini mestinya sudah dianggap selesai meski tanpa pengakuan tegas dan permohonan maaf secara menyeluruh, termasuk kehadiran Bernard Bot di Istana Negara RI tepat 60 tahun setelah Indonesia merdeka.
Dan, seperti kata Ali Boediardjo yang dipinjam Bot, hubungan Belanda dan Indonesia ada baiknya dimaknai dengan prinsip humanisme: “… bahwa seseorang dapat memahami sesama dan memaafkan (pihak) yang jahat.”
Tapi bisakah itu dilakukan jika salah satu pihak, misalnya Belanda, tidak sepenuhnya jujur mengakui kesalahan-kesalahannya?
—
Reporter & Penulis: Iswara N. Raditya
Editor: Fahri Salam