Author Country Media Name Year Topic , , Translator

Belanda dan Dekolonisasi Indonesia – Revolusioner

Belanda dan Dekolonisasi Indonesia

Perhimpunan Sosialis Revolusioner, 18 Agustus, 2020, teks: Zowi Milanovi, terjemahan: Ted Sprague

Pada 10 Maret, saat kunjungan negara ke Indonesia, Raja Belanda Willem-Alexander menyatakan bahwa dia ingin meminta maaf, mewakili Belanda, atas kekerasan yang dilakukan oleh Belanda selama perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Politisi-politisi Belanda, dari kiri sampai kanan, menyanjung keputusan ini. Apapun yang mengatakan “Belanda salah” dan kita harus bersama-sama mengakui ini supaya “bisa meninggalkan masa lalu ini”, mereka anggap baik. Belanda sekarang adalah partner dagang Indonesia yang secara formal setara. Laba yang diraup modal Belanda hari ini jauh lebih penting daripada isu 75 tahun yang lalu. Terlebih lagi, banyak tentara veteran “Hindia” yang sudah wafat, yang membuat keputusan Raja lebih bisa diterima.

Satu-satunya partai politik yang menentang keputusan ini adalah Thierry Baudent, pemimpin partai konservatif kanan-ekstrem Forum voor Democratie. Dia mengatakan: “Lagi dan lagi ‘maaf’, lagi dan lagi berkapitulasi. Sebagai seorang keturunan orang Indo-Belanda yang banggs, saya malu pada pemerintahan Belanda, yang gagal mengapresiasi sejarah kita dan mengabaikan kejahatan terhadap demografi kami.” Dalam kata lain, ini mengulang slogan konservatif lama “Hindia Lepas, Bencana Datang”, dimana dia berbicara pada demografi Indo-Belanda (Indische Nederlanders). Mereka adalah orang Belanda dan Indo-Eropa yang dulu menetap di koloni Hindia Belanda dan para keturunan mereka. Di luar partai politik, protes serupa datang dari organisasi-organisasi Indo-Belanda seperti FIN (Federation of Indo-Dutch).

Apa yang sesungguhnya terjadi selama periode dekolonisasi dan apa-yang-disebut “aksi polisionil” (Agresi Militer)? Bagaimana analisa kita sebagai kaum Marxis? Untuk menjawab ini, kita harus meninjau seluruh proses dekolonisasi Belanda di Indonesia.

Berabad-abad eksploitasi dan opresi

Hubungan antara Belanda dan Indonesia dimulai dengan VOC pada 1602. Tidak ada yang disebut bangsa Indonesia pada saat itu. Yang ada adalah berbagai etnis dengan bahasa dan kebudayaan yang beragam.

Kaum borjuasi Belanda baru saja menaklukkan kekuasaan politik setelah akhirnya berhasil mendirikan sebuah Republik yang independen pada 1588, menyusul sebuah perjuangan yang panjang melawan Dinasti Habsburg Spanyol. Untuk melanjutkan proses akumulasi kapital, mengurangi risiko dan meredam kompetisi antar pedagang, VOC lalu didirikan sebagai perusahaan saham gabungan pertama di dunia, dan VOC diberi hak monopoli perdagangan di “Timur” oleh pemerintah.

VOC adalah sebuah perusahaan monopoli, tetapi bertindak seperti sebuah negara. Perdagangan disertai dengan peperangan, diplomasi dan kepemilikan benteng dan tanah. Tidak ada tindakan yang sembrono. Gubernur Jendral J.P. Coen ingin menaklukkan Kepulauan Banda pada 1621 guna mengendalikan perdagangan rempah-rempah pala, yang saat itu nilainya tinggi. Untuk memenuhi tujuan ini, warga setempat dibantai dan digantikan dengan budak. Contoh lainnya: untuk mempertahankan monopoli cengkeh, VOC memastikan pohon cengkeh hanya tumbuh di Ambon, dan hanya disuplai untuk VOC. Pohon-pohon cengkeh “ilegal” di pulau-pulai lain dibabat, dan warga yang menanamnya dihukum dengan membakar kampung-kampung mereka. VOC juga terlibat dalam perdagangan budak dan opium.

Karl Marx menulis ini mengenai akumulasi yang dilakukan VOC:

“Sejarah administrasi kolonial Belanda – dan Belanda adalah model negara kapitalis di abad ke-17 – adalah ‘salah satu sistem pengkhianatan, penyuapan, pembantaian, dan kekejaman yang paling hebat.’ Tidak ada yang lebih karakteristik daripada sistem penculikan mereka, guna mendapatkan budak-budak dari Jawa. Para penculik dilatih untuk ini. Sang pencuri, penerjemah, dan penjual, adalah agen-agen utama dalam perdagangan ini, dengan pangeran-pangeran pribumi sebagai penjual utama. Orang-orang muda diculik, dijebloskan ke penjara-penjara rahasia di Sulawesi, sampai mereka siap untuk dikirim ke kapal-kapal budak. Satu laporan resmi mengatakan: ‘Di satu kota Makassar, misalnya, penuh dengan penjara-penjara rahasia, yang teramat buruk, sesak dengan orang-orang malang, korban ketamakan dan tirani, yang dirantai, direnggut secara paksa dari keluarga mereka.’ Untuk mengamankan kota Malaka, Belanda menyuap gubernur Portugal. Dia membiarkan mereka masuk ke kota pada 1641. Mereka segera  ke rumahnya dan membunuhnya, untuk ‘menghindari’ pembayaran £21.875, harga pengkhianatannya. Di manapun mereka memijakkan kaki mereka, kehancuran dan pembantaian menyusul. Banyuwangi, sebuah provinsi di Jawa, pada 1750 berpenduduk lebih dari 80.000 orang, pada1811 hanya 18.000. Sungguh perdagangan yang manis!” (Kapital, bab 31)

Dengan cara ini, VOC berhasil mengumpulkan kekayaan besar, yang berakhir di tangan kaum kapitalis Republik Belanda. Kapital merkantil ini lalu diinvestasikan lebih lanjut ke manufaktur, pertanian dan terutama finans. Belanda memberi pinjaman ke Inggris, dan ini lalu mendorong Inggris menjadi kekuatan adidaya dunia yang menyingkirkan Belanda. Kekuatan Belanda meredut dan menjadi negara rente.

Penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Nicolaas Pieneman (sekitar 1830–35)

VOC mengendalikan banyak benteng di Hindia Timur, tetapi kebanyakan membiarkan elite-elite lokal berkuasa dan hanya secara langsung mengendalikan teritori kecil. Ini berubah pada abad ke-17, ketika VOC pailit dan dinasionalisasi pada 1795. Koloni Hindia Timur jadi milik pemerintah Belanda, yang mencoba memperluasnya di tahun-tahun selanjutnya, sampai akhirnya mencakup wilayah Indonesia hari ini.

Tahun 1830 adalah titik balik dalam proses ini. Tahun itu, Belgia memisahkan diri dari Belanda, dan Belgia adalah wilayah selatan Kerajaan Belanda yang paling terindustrialisasi. Kaum borjuasi Belanda Utara ingin menutup kehilangan ini, supaya tidak tertinggal di belakang. Raja Willem I sebelumnya telah mendirikan Netherlands Trading Society (Nederlandse Handelsmaatschappij, salah satu pendahulu bank ABN AMRO) untuk mendorong perdagangan dan industrialisasi. Sejak itu, perusahaan ini memusatkan perhatiannya untuk mengeruk sumber daya dari Hindia Timur lewat Sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) yang terkenal kejam itu.

Di bawah sistem ini, petani diwajibkan menggunakan sebagian tanah mereka untuk menanam kopi dan tebu, dan dengan demikian menyediakan tanaman dagang untuk ekspor ke Belanda, untuk dijual ke pasar Eropa. Terlebih lagi, mereka harus melakukan berbagai macam kerja rodi, dan sebagian besar upah mereka mengalir kembali ke pemerintahan kolonial dalam bentuk pajak. Ini berarti eksploitasi kejam terhadap kaum tani, dengan investasi kecil, tetapi memeras tenaga kerja mereka empat kali lipat lebih besar dibanding sebelumnya. Pada 1840-59 saja, pemerintah Belanda meraup 300 juta guilder dari ini. Industri garmen Belanda di Twente didirikan dengan menggunakan kapital dari eksploitasi ini dan Indonesia menjadi pasar untuk produk garmen ini.

Pada 1870, sistem tanam paksa dihapus untuk membuka pasar bagi lapisan kapitalis lain, tetapi eksploitasi dan penindasan terhadap warga setempat dipertahankan sampai akhir. Walaupun penduduk setempat menjadi lebih terlibat sejak 1900, dan sebagian dari mereka disekolahkan, hak politik mereka terbatas dan mereka tidak diperbolehkan berorganisasi. Pemogokan dilarang. Pada 1927, dibangun kamp konsentrasi di New-Guinea, yang dikenal dengan nama Boven-Digoel, yang digunakan untuk memenjara kaum nasionalis dan komunis yang diasingkan. Pada 1930, karena krisis ekonomi global, upah dan taraf hidup penduduk setempat terpangkas sebesar 50 sampai 75 persen. Upah buruh Eropa hanya dipotong sedikit saja, atau bahkan tidak dipotong sama sekali. Ini adalah contoh politik pecah belah yang ditujukan untuk mengeksploitasi buruh pribumi dan memperkaya kapitalis Belanda. Ratusan juta guilder diraup dari perkebunan kopi, tebu, tembakau, karet dan kilang minyak. Satu keluarga, yang menjadi kaya raya karena eksploitasi Hindia Timur, adalah keluarga Oranje-Nassau, yang keluarga kerajaan dari Raja Willem-Alexander.

Dekolonisasi

17 Agustus 1945, Presiden Sukarno menyatakan kemerdekaan Indonesia

Oleh karenanya, tidaklah heran bila setelah berakhirnya pendudukan Jepang pada 17 Agustus 1945, Republik Indonesia memproklamirkan kemerdekaan mereka dari Belanda. Di antara rakyat, tidak ada dukungan untuk kembali ke situasi sebelum kedatangan Jepang. Selain itu, okupasi Jepang, walaupun kejam dan reaksioner, menunjukkan bahwa Belanda bukanlah penjajah ‘alami’ Indonesia dan bahwa Eropa bisa dikalahkan oleh orang Asia.

Imperialisme Belanda punya rencana lain. Segera setelah kekalahan Nazi-Jerman dan dibebaskannya Belanda (5 Mei 1945), pemerintahan Belanda berencana mengambil alih kembali Indonesia dari Jepang. Iklan-iklan dipasang di sejumlah koran untuk merekrut tentara sukarelawan untuk keperluan ini. Indonesia harus dijajah kembali, walaupun dengan alasan pembentukan sebuah persemakmuran yang terdiri dari Belanda, Indonesia, Suriname dan Antilles.

Tetapi kekuatan Belanda lemah. Awalnya Belanda mendukung mengirim pasukan Inggris ke Indonesia untuk mengambil alih Indonesia dari Jepang dan melawan para pemberontak Indonesia. Sementara, Belanda mempersiapkan pengiriman pasukannya. Akan tetapi, untuk memungkinkan mobilisasi tentara yang besar yang berdasarkan wajib militer, konstitusi Belanda harus diubah. Pada April 1946, ini dilakukan. Partai Komunis Belanda (CPN) menentang perubahan konstitusi ini. Pada Maret, pasukan sukarelawan pertama sudah mendarat.

Pada saat yang sama, di bawah tekanan dari sekutu Inggris dan Amerika, Belanda bernegosiasi dengan Republik Indonesia, untuk mencapai semacam kompromi “Perserikatan Belanda-Indonesia”. Di bawah kompromi ini, tidak akan ada kemerdekaan sejati. Perusahaan dan tanah-tanah milik Belanda akan dilindungi dari penyitaan, sehingga melanjutkan eksploitasi kolonial hanya dalam bentuk yang berbeda. Tujuan negosiasi ini adalah membentuk sebuah negara federal yang terdiri dari pemimpin-pemimpin moderat yang pro-Belanda, yang akan berkuasa dan menahan elemen-elemen yang lebih radikal.

Sementara perundingan berlangsung, tentara Belanda dikerahkan untuk menumpas kaum nasionalis Indonesia dan penduduk setempat. Peneliti Swiss-Belanda Remy Limpach menunjukkan dalam bukunya yang terbit pada 2016, The burning kampongs [villages] of general Spoor, bahwa kekerasan ekstrem bukanlah ekses semata, tetapi diterapkan secara sistematis.

Menurut studi baru-bari ini oleh Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies (KITLV), lebih dari 97.000 pejuang Indonesia dan penduduk kehilangan nyawanya karena kekerasan dari tentara Belanda selama perang kemerdekaan.

Juga, lebih dari 5000 tentara Belanda mati, dan kebanyakan dari mereka adalah anak buruh dan tani yang direkrut lewat wajib militer. Mereka diberi seragam dan senjata tua dari Inggris dan Kanada, dan dikirim ke belahan dunia lain segera setelah Belanda merdeka dari okupasi kejam Nazi-Jerman.

Karena perang ini memakan biaya besar, sementara pemerintah Belanda tidak punya banyak sumber daya setelah Perang Dunia Kedua, maka mereka mengandalkan Marshall Aid dari AS. Namun AS menganjurkan kompromi dengan Republik Indonesia, sehingga ada kekhawatiran kalau bantuan finansial ini akan dihentikan. Agresi Militer Pertama pada Juli-Agustus 1947 adalah usaha agresif untuk menaklukkan wilayah Jawa dan Sumatra yang memiliki perkebunan, kilang minyak dan pelabuhan yang bernilai. Rencananya ini akan memberikan pendapatan untuk melanjutkan perang kolonial ini.

Akan tetapi, tekanan internasional semakin besar terhadap Belanda. Meledaknya revolusi-revolusi kolonial, menguatnya Uni Soviet dan AS atas negara-negara Eropa, semua ini berarti Belanda sudah tidak bisa lagi memainkan peran sebelumnya. Pada 1948, pemerintahan Indonesia menumpas pemberontakan Madiun, yang dipimpin oleh PKI. Ini adalah bukti bagi AS bahwa AS harus mendukung Republik Indonesia untuk melawan komunisme. AS mendukung kemerdekaan Indonesia dan mulai melakukan investasi ekonomi di Indonesia, sebagai cara untuk menarik Indonesia ke kamp Amerika dalam Perang Dingin yang mulai berkecamuk.

Belanda yang terisolasi melakukan usaha putus asa terakhir untuk menumbangkan Republik Indonesia. Pada 19 Desember 1948, Agresi Militer Kedua diluncurkan. Tentara Belanda memulai ofensif dan berhasil menaklukkan semua kota-kota penting di Jawa dan Sumatra. Ibukota Republik Yogyakarta berhasil diduduki dan pemerintahan Republik, termasuk Sukarno, ditawan.

Namun, ini bukan berarti Belanda berhasil memenuhi golnya. Dari pedesaan, kaum nasionalis memulai perjuangan gerilya melawan tentara Belanda. Selain itu, relasi internasional berubah dan sekarang memainkan peran menentukan. Sampai pada titik itu, imperialisme AS telah bersandar pada Belanda di satu saat dan pada Indonesia di saat lain, guna mencapai semacam kompromi. Tetapi Agresi Militer II ini adalah titik balik. AS sekarang mengancam menghentikan Marshall Aid ke Belanda. Pengeluaran militer Belanda sekarang sudah mencapai separuh dari total Marshall Aid. Ini berarti berakhirnya operasi militer Belanda. Negosiasi baru dimulai pada 1949 dan pada akhir tahun, kedaulatan diserahkan ke Indonesia pada 27 Desember.

Untuk memberi kompensasi pada sekutu Belandanya, Amerika menekan Indonesia untuk menerima membayar hutang Hindia Timur sejak okupasi Jepang. Ini berarti membayar biaya perang Belanda selama perang kemerdekaan, sebesar 4,3 miliar guilder (19 miliar Euro dalam mata uang hari ini). Dari 1950-56, Indonesia membayar sekitar 3,7 miliar guilder, yang adalah beban besar bagi Republik yang masih mudah ini, tetapi stimulus besar untuk rekonstruksi Belanda pasca Perang. Dalam perbandingan, seluruh Marshall Aid yang  diterima Belanda adalah sekitar $1,1 miliar, atau 10 miliar Euro bila dikurskan hari ini.

Masalah Kekerasan

Raja Belanda telah meminta maaf untuk kekerasan yang digunakan selama perang kemerdekaan. Akan tetapi, kekerasan tersebut hanyalah sarana. Apa sebenarnya tujuannya? Tujuan Belanda untuk menjajah kembali Indonesia setelah okupasi Jepang tidak dibicarakan sama sekali. Bila Belanda dapat memenuhi tujuan ini tanpa kekerasan, apakah semuanya maka baik-baik saja? Tidak, karena ini hanya akan berarti melanjutkan eksploitasi dan penindasan imperialis.

Dua Agresi Militer yang diluncurkan Belanda untuk mengembalikan kekuasaannya di Indonesia jelas adalah tindakan kriminal dan imperialis, yang ditujukan untuk mengamankan profit kaum kapitalis dan pemilik perkebunan. Ini tidak bisa dipisahkan dari 350 tahun dominasi terhadap Indonesia. Perjuangan rakyat Indonesia adalah perjuangan yang dibenarkan untuk melawan opresi, dan inilah poin yang paling penting.

Tentu saja kekerasan digunakan oleh pejuang kemerdekaan Indonesia. Organisasi Indo-Belanda dan kaum nasionalis reaksioner gemar menunjukkan fakta ini, dan mengatakan kalau permintaan maaf sang Raja “berat sebelah”. Akan tetapi, tidaklah masuk akal untuk menyamakan kekerasan dari kedua sisi. Tidak seperti kaum moralis, tujuan jelas menentukan apakah sebuah sarana (kekerasan) dapat dibenarkan atau tidak. Kekerasan kaum muda Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan Republik muda mereka dari usaha penjajah lama jelas berbeda dari kekerasan penjajah yang ingin mendapatkan kembali kendali atas perkebunan-perkebunan mereka dan menjajah penduduk setempat.

Dari sisi Indo-Belanda (para pemukim Eropa dan campuran), berdasarkan berbagai estimasi, 5.000 sampai 30.000 penduduk sipil mati. Ada ekses terhadap penduduk tak bersalah dan ini disayangkan, tetapi ini tidak mengubah sama sekali watak aksi-aksi militer Belanda. Aksi-aksi militer ini sudah direncanakan jauh hari sebelum Sukarno memproklamasikan kemerdekaan. Segera setelah Jerman menyerah, iklan sudah muncul di koran-koran untuk merekrut sukarelawan untuk ekspedisi militer ke Indonesia. Ekses-ekses ini lalu dibayangi sepenuhnya oleh kekerasan struktural imperialisme Belanda.

Bila pemerintah Belanda memang memikirkan keselamatan orang Indo-Belanda, mereka tidak akan mengirim ekspedisi militer, tetapi mengakui kemerdekaan Indonesia dengan segera. Persis karena rakyat Indonesia tahu bahwa Belanda akan berusaha kembali ke Indonesia setelah menyerahnya Jepang, yang terbukti dengan mendaratnya pasukan Inggris dan Belanda, ini lalu memicu perang dan kekerasan. Belanda mencoba menunda dan menghambat proses kemerdekaan Indonesia, lewat kombinasi diplomasi dan militer, sampai akhirnya ini sudah tidak mungkin lagi karena perlawanan rakyat Indonesia dan tekanan politik-ekonomi Amerika.

Ini bukan masalah pertentangan antara rakyat Belanda dan Indo-Eropa melawan Rakyat Indonesia. Ini adalah perjuangan pembebasan rakyat Indonesia dari cengkeraman imperialisme Belanda. Ada juga orang Indo-Eropa yang berjuang untuk kemerdekaan Indonesia, seperti misalnya Ernest Douwes Dekker, cucu keponakan Multatuli. Di Belanda, juga ada tradisi solidaritas dengan perjuangan Indonesia.

Sejarah Solidaritas di Belanda

Penjajahan Hindia juga memicu perlawanan di Belanda. Eduard Douwes Dekker, yang lebih dikenal dengan nama samarannya Multatuli, menulis buku legendaris Max Havelaar pada 1859, sebagai kecaman terhadap perlakuan yang diterima penduduk Jawa di perkebunan kopi selama Sistem Tanam Paksa.

Solidaritas yang sistematis datang dari gerakan buruh, Sementara sayap kanan Sosial Demokrat selalu membuntuti retorika kelas penguasa sehubungan dengan masalah kolonial, sayap kiri selalu mendukung kemerdekaan Indonesia. Henk Sneevliet, pendiri Indies Social Democratic Association (ISDV) pada 1914, berusaha membangun solidaritas antara buruh Eropa dan buruh Indonesia. Dari rahim organisasi inilah lahir Partai Komunis Indonesia.

Partai Komunis Belanda (CPN) juga melakukan hal yang sama, dengan slogan “Indonesia merdeka dari Belanda, Sekarang!” Awalnya, CPN adalah satu-satunya partai yang mendukung kemerdekaan. Henk Sneevliet setelah kembali ke Belanda mendukung ini, dan dia akhirnya menjadi pemimpin Partai Buruh Sosialis Revolusioner.

Henk Sneevliet dihukum lima bulan penjara karena manifestonya yang mendukung pemberontakan kelasi di kapal perang Zeven Provincien di Indonesia. Pemberontakan ini terhadi pada 4 Februari 1933, yang bersolidaritas dengan gerakan kelasi Surabaya yang menentang pemotongan upah. Beberapa dari mereka ditangkap. Kelasi Indonesia dan Belanda mengambil alih kapal ini dan ingin berlayar dari Sumatra Timur Laut ke Surabaya untuk membebaskan kamerad-kamerad mereka yang ditahan. Pemerintah Belanda punya “solusi” lain, dan pada 10 Februari membom kapal ini, yang membunuh 23 kelasi.

Pada 1938, di bawah tekanan dari Moskow, CPN yang Stalinis mengubah posisi mereka. Untuk menyesuaikan diri mereka dengan kebijakan luar negeri Stalin, Partai-Partai Komunis harus mendukung pembentukan aliansi Front Popular dengan kaum “borjuasi demokratik” dan negeri-negeri demokratik dalam melawan negeri-negeri fasis. Untuk memberi konsesi pada kaum “borjuasi demokratik”, kaum Stalinis tidak lagi mendukung kemerdekaan koloni, tetapi pembentukan persemakmuran.

Satu-satunya tendensi yang tetap konsisten dalam dukungan mereka terhadap kemerdekaan Indonesia adalah Partai Buruh Sosialis Revolusioner pimpinan Sneevliet dan Partai Komunis Revolusioner Belanda yang di kemudian hari menjadi seksi Internasional Keempat.

Setelah berakhirnya Perang Dunia Kedua, pemerintahan Belanda meluncurkan agresi militer ke Indonesia. Ini tidak diterima oleh banyak orang di Belanda. Belanda baru saja dibebaskan dari penjajahan Jerman, dan ekonomi berantakan. Rakyat tidaklah mendukung gagasan mengirim pasukan ke belahan dunia lain untuk menjajah rakyat lain.

Yang biasanya dilupakan, kelas buruh Belanda awalnya menentang misi militer ke Indonesia. Pada 24 September, 1946, ada pemogokan liar 24-jam menentang pengiriman pasukan ke Indonesia. Pemogokan terjadi di wilayah Zaan, Velsen, Delft, Enschede dan Groningen. Pada hari Sabtu sebelumnya, sudah ada demonstrasi di Amsterdma, dimana polisi militer menembak seorang demonstran. Karena tidak adanya kepemimpinan yang konsisten, dan juga karena dihalangi oleh Sentra Serikat Buruh yang didominasi kaum Stalinis, gerakan ini tidak berkembang lebih lanjut. Tetapi gerakan ini menunjukkan kelas buruh Belanda melawan kebijakan politik kolonial kaum kapitalis. Contoh lainnya adalah membangkangnya para rekrut; pada pengiriman pasukan pertama, 15 persen rekrut tidak hadir, dan 22 persen pada pengiriman pasukan kedua.

Ada juga solidaritas di luar Belanda. Buruh pelabuhan Australia memainkan peran penting, dimana serikat buruh pelabuhan mengorganisir boikot pengiriman senjata dan pasukan Belanda.

Bertentangan dengan propaganda kaum nasionalis (dan juga gagasan pemikir “de-kolonial” post-modern hari ini, yang ada dua sisi dari koin yang sama), kelas buruh secara fundamental tidak punya kepentingan mempertahankan kolonialisme, tetapi dengan rakyat kolonial mereka punya musuh yang sama: kapital Belanda.

Ini adalah bagian sejarah yang sering kali dilupakan. Mereka yang mempertahankan kolonialisme dan aksi militer pada saat itu (seperti partai-partai sayap-kanan dan sosial demokrat) selalu berbicara mengenai “suasana pada masa itu”, dan bahwa orang-orang dulu “tidak tahu apa yang mereka lakukan”, dan oleh karenanya mengabaikan fakta bahwa ada juga resistensi kelas buruh Belanda terhadap kolonialisme dan aksi militer.

Para buruh pemberani yang berdemo dan mogok pada saat itu, dan mereka yang menolak wamil, dicap “pengkhianat”. Bersembunyi dari wamil dapat dipenjara dua tahun, dan hanya pada 1979 Polisi Militer menghentikan memburu para pembelot wamil. Pahlawan Komunis resistensi anti-Nazi, Piet Van Staaveren (Pitojo Koesoemo), membelot ke sisi Indonesia dan dihukum penjara 6 tahun. Untuk lebih mempermalukan dia, dengan sengaja dia dipenjara bersama dengan kaum fasis Belanda dan kolaborator Nazi (anggota-anggota National Socialist Movement). Para fasis ini biasanya mendapat grasi hanya setelah beberapa tahun. Semua ini menunjukkan, permintaan maaf dan pengembalian kehormatan bagi para penentang agresi militer Belanda, para pembelot dan pemogok, akan jauh lebih layak.

Masalah Maluku Selatan dan Papua

Salah satu cara kelas penguasa Belanda dapat mendominasi Indonesia selama berabad-abad adalah dengan menyuap para pemimpin dari berbagai pulau dan etnis. Selama perang kemerdekaan Indonesia, Belanda menggunakan taktik yang sama, dengan mengajukan pendirian persemakmuran yang akan terdiri dari berbagai wilayah otonomi, alih-alih menyerahkan kekuasaan pada Republik Indonesia.

Kebijakan ini dilanjutkan setelah 1949, dengan menggunakan masalah kebangsaan Maluku Selatan dan Papua. Seperti sering kali dalam sejarah, di sini kita juga melihat bagaimana minoritas-minoritas nasional digunakan sebagai pion oleh kekuatan imperialis besar. Mereka digunakan untuk kepentingan imperialis, dan saat mereka sudah tidak berguna lagi, mereka dicampakkan.

Orang Maluku Selatan digunakan sebagai serdadu elite dalam angkatan bersenjata kolonial, KNIL, dan mereka dijanjikan sebuah republik otonom oleh Belanda. Republik Indonesia melihat ini sebagai usaha Belanda untuk mendirikan sebuah negara boneka, dan memang demikian tujuan Belanda.

Republik Maluku Selatan (RMS) dideklarasikan di Ambon pada April 1950, tetapi dikalahkan secara militer pada November tahun yang sama. RMS meneruskan perjuangan mereka dengan perang gerilya di pulau Seram, sampai akhirnya dikalahkan pada 1963, dimana Presiden Chris Soumokil ditahan. Dia dieksekusi pada 1966 di bawah Suharto.

Sementara, pada 1951, serdadu KNIL dari Maluku dan keluarga mereka telah mengungsi ke Belanda, sekitar 12.000 orang. Mereka secara “temporer” ditempatkan di barak-barak (termasuk di barak-barak bekas kamp konsentrasi Nazi), dipisahkan dari masyarakat Belanda, dengan rencana akan dipulangkan kembali ke RMS, yang akan diakui secara internasional di masa depan.

Akan tetapi, kelas penguasa Belanda sesungguhnya tidak ada dalam posisi untuk bisa melakukan apa-apa mengenai masalah kebangsaan Maluku, dan hanya menawarkan harapan palsu. Kendati demikian, Belanda meluncurkan aksi-aksi klandestin, kebanyakan oleh elemen-elemen militer reaksioner yang telah bertempur melawan Republik Indonesia. Raymond Westerling, kapten Koprs Pasukan Khusus, yang dikenal menggunakan teror sistematis di Sulawesi dan usaha kudeta yang gagal di Jawa pada 1950, terlibat dalam jaringan sayap-kanan ekstrem yang menyokong RMS. Erik Hazelhoff Roelfzema, yang dikenal juga sebagai “Soldier of Orange”, pada 1951 terlibat dengan admiral Helfrich dalam usaha memasok senjata ke RMS. Ini adalah aksi-aksi avonturis oleh kaum reaksioner yang tidak bisa menerima kenyataan bahwa “Hindia sudah merdeka” dan mereka tidak bisa melakukan apapun.

Pemulihan hubungan antara Belanda dan Indonesia di bawah Suharto pada 1970 berarti kelas penguasa Belanda telah menghentikan usahanya untuk menggunakan RMS sebagai pionnya. Relokasi orang-orang Maluku di Belanda sudah bukan lagi bersifat sementara. Ini mendorong gelombang radikalisasi di antara kaum muda Maluku, yang pada 1970an melakukan serentetan aksi terorisme individual (pembajakan dan penculikan) untuk memaksa Belanda mengubah haluan, yang berakhir dengan kegagalan. Pemerintah Belanda merespons dengan represi brutal, yang disusul dengan konsesi-konsesi untuk memperbaiki kesenjangan sosial yang menimpa orang Maluku di Belanda.

Generasi baru orang Maluku sudah terasimilasi ke dalam masyarakat Belanda. Akan tetapi, masalah RMS belum terselesaikan. Masih ada sentimen yang kuat, yang bisa dimaklumi, dan pemerintah Belanda harus meminta maaf atas perlakuan mereka terhadap orang Maluku. Akan tetapi, pemerintahan Belanda hari ini, yang dikendalikan oleh kapitalisme Belanda, tidak akan pernah bisa memainkan peran progresif. Satu-satunya sekutu kaum buruh dan muda Maluku Selatan, di Belanda dan di Indonesia, adalah kelas buruh terorganisir. Dengan perjuangan, mereka akan dapat memenangkan hak setara, mengakhiri kesenjangan sosial orang Maluku di Belanda, dan menjamin hak penentuan nasib sendiri bagi semua bangsa tertindas di Indonesia.

Rakyat Papua juga dimanfaatkan oleh Belanda. Mereka bahkan tidak akan mendapatkan pemerintahan yang independen dari Belanda. Sebaliknya, Papua akan jadi negara baru bagi orang Indo-Belanda, yang akan berkuasa di atas rakyat Papua. Belanda terus mempertahankan Papua Barat dan ini hampir menyebabkan perang besar dengan Indonesia pada 1962.

Pada akhirnya, yang mengubah situasi ini adalah kemerosotan imperialisme Belanda dalam konteks Perang Dingin. Imperialisme AS menekan Belanda untuk mentransfer Papua Barat ke Indonesia, untuk menarik rejim Sukarno lebih dekat ke AS. Ini menandai berakhirnya peran Belanda sebagai kekuatan imperialis yang mandiri, dan sejak itu kelas penguasa Belanda semakin tunduk pada AS.

Referendum di Papua, yang dijanjikan PBB, dilaksanakan secara cacat pada 1969 oleh rejim Suharto. Apa-yang-disebut “Act of Free Choice”, alih-alih pemilu dengan satu orang satu suara, tentara Indonesia menunjuk 1.026 ketua suku, yang memilih masuk ke Indonesia. Ini adalah awal dari penjarahan dan eksploitasi Papua Barat oleh perusahaan-perusahaan tambang seperti Freeport-McMoran.

Namun, adalah ilusi kalau membayangkan situasi Papua akan lebih baik bila saja Amerika tidak menekan Belanda. Satu-satunya sekutu rakyat Papua adalah gerakan buruh internasional, termasuk gerakan buruh Indonesia. Pada 2016, masalah kebangsaan Papua meledak kembali, dengan demo-demo massa memprotes diskriminasi terhadap orang Papua. Elemen masyarakat yang paling maju, termasuk kaum Marxis Indonesia, berjuang melawan diskriminasi dan berjuang untuk referendum.

Imperialisme Belanda mencoba menggunakan masalah kebangsaan Papua dan Maluku, untuk mencapai kesepakatan dengan Suharto. Alih-alih mempercayai imperialisme Belanda, hanya perjuangan kelas yang tersatukan yang dapat menyediakan solusi untuk masalah kebangsaan Papua.

Kelas penguasa Belanda setelah 1965

Setelah dikalahkan pada 1962 dalam masalah Papua, kelas penguasa Belanda merasa dikhianati oleh sekutu-sekutunya. Dinasti kolonial tua ini sudah runtuh dan terpaksa mencari jalan baru. Sejak saat itu, Belanda menjadi semakin tunduk pada imperialisme Belanda dalam hal kebijakan luar negeri, dan seperti Inggris, menjadi salah satu negara yang paling pro-Amerika. Untuk memastikan agar Belanda tidak sepenuhnya tunduk pada AS dalam semua hal, kelas penguasa Belanda memilih kerja sama yang erat dengan Komunitas Eropa dalam hal ekonomi.

Tahun 1956 adalah titik balik di Indonesia. Jendral Suharto meluncurkan kudeta yang mengakhiri situasi revolusioner di sana. Presiden Sukarno menjadi tahanan rumah, dan tentara, yang dibantu oleh geng-geng kriminal dan kaum Islam Fundamentalis, memulai kampanye represi dan pembantaian terhadap semua orang yang dituduh anggota PKI atau mendukung PKI. Ini adalah kontra-revolusi kapitalis yang kejam, yang disokong oleh CIA.

Bagi kelas penguasa Belanda, ini adalah awal yang baru, sebuah peluang untuk memenangkan kembali apa yang raib dari tangannya sebelumnya. Relasi antar negara dipulihkan pada 1968, dengan bantuan AS. Pada 1970, sang jagal Suharto melakukan kunjungan negara ke Belanda, yang disusul oleh kunjungan Kerajaan Belanda ke Indonesia pada 1971. Suharto setuju untuk membayar sisa hutang 600 juta guilder ke Belanda. Menurut menteri Belanda Luns, kesepakatan ini menunjukkan “kemurah-hatian Belanda”, karena Belanda tidak menuntut ganti rugi sebesar 4,5 miliar guilder untuk perusahaan-perusahaan yang dinasionalisasi di Indonesia. Sungguh ini adalah lelucon yang memuakkan, untuk berbicara mengenai “kemurah-hatian” setelah 350 tahun penjajahan. Ini adalah awal dari relasi baru antara Belanda dan Indonesia, dengan peluang-peluang baru bagi kapital Belanda.

Pemulihan hubungan dengan rejim Suharto menunjukkan kalau kelas penguasa Belanda hanya menggunakan masalah “hak asasi manusia” bila sesuai dengan kepentingannya. Kita ambil contoh saja sikap Belanda terhadap Suriname (bekas koloni Belanda). Rejim militer Suriname Deis Bouterse pada 1982 membunuh 15 kaum oposisi. Eksekusi ini dikritik keras oleh para politisi Belanda, tetapi tidak demikian dengan pembantaian 1 juta rakyat oleh Suharto. Perbedaannya, Suharto adalah seorang pemimpin yang memperbaiki relasi dengan Barat, sementara Bouterse adalah pemimpin yang menginginkan kebijakan politik domestik dan luar negeri yang lebih mandiri dari Belanda dan AS, dibandingkan pendahulunya Henck Arron.

Begitu juga dengan masalah kebangsaan Maluku dan Papua. Kepentingan ekonomi adalah alasan utama, dan rakyat Maluku dan Papua dimanfaatkan secara sinis, untuk memecah-belah Indonesia dan memastikan agar kapital Belanda dapat mengakses negara-negara yang lebih kecil ini. Ketika kebijakan ini gagal, kelas penguasa Belanda mengubah taktik dengan mengakui rejim Suharto dan bekerja sama dengannya.

Hari ini, kapital Belanda memainkan peran serius di Indonesia. Pada 2016, Belanda adalah satu satu dari lima investor terbesar ke Indonesia, menurut data dari BKPM. Bank Sentral Belanda melaporkan, pada 2016 Belanda melakukan investasi 2 miliar Euro ke Indonesia. Pada 2017, Indonesia mengekspor sekitar 3,5 miliar Euro barang ke Belanda (lebih dari Vietnam dan Australia), yang membuat Belanda importir produk Indonesia terbesar di Eropa, menurut International Trade Centre. Pelabuhan Rotterdam adalah pintu masuk produk Indonesia ke Eropa. Indonesia menjadi pintu masuk kapital Belanda ke pasar ASEAN.

Bagi kapitalis Belanda dan Indonesia, “masalah-masala sensitif” dari masa lalu harus dimuluskan, supaya investasi dan perdagangan bisa terus berlanjut. Inilah mengapa, Raja Belanda, sebagai kepala negara yang “berdiri di atas partai-partai”, sekarang memutuskan untuk menawarkan permintaan maaf untuk “kekerasan yang berlebihan”.

Kesimpulan

Kelas penguasa Belanda dalam sejarah telah berkali-kali mengubah taktiknya dalam menghadapi Indonesia. Permintaan maaf untuk kekerasan selama perang kemerdekaan hanyalah menandai akhir dari periode tertentu, dengan harapan untuk melanjutkan relasi antara modal Belanda dan Indonesia.

Imperialisme Belanda tidak akan pernah lagi memiliki monopoli atas Indonesia. Dengan kekuatan-kekuatan imperialis besar, seperti AS, China dan Jepang, yang beroperasi di wilayah tersebut, ini adalah gagasan yang absurd. Belanda memainkan peran sebagai penghubung antara Indonesia dan pasar Eropa.

Masalah Maluku dan Papua tidak akan bisa diselesaikan oleh kelas penguasa Belanda, yang menggunakan mereka sebagai pion semata.

Kelas buruh Indonesia jauh lebih kuat dibandingkan sebelumnya. Kemenangan Revolusi Sosialis di Indonesia, yang berdasarkan persatuan buruh dari semua kelompok etnis, akan dapat mengakhiri republik kapitalis yang otoriter ini dan mendirikan demokrasi buruh, dengan hak penentuan nasib sendiri untuk bangsa-bangsa tertindas.

Di Belanda, kita harus melampaui kemunafikan dari permintaan maaf ini. Daripada meratapi penggunaan “kekerasan yang berlebihan”, kita harus menuntut pertanggungjawaban dari kaum kapitalis yang menjajah dan menjarah Indonesia selama 300 tahun, yang mengirim anak-anak kaum buruh Belanda ke seberang lautan untuk mati berperang, dan yang secara sinis memanfaatkan orang Maluku dan Papua. Hanya dengan mengekspropriasi kelas kapitalis Belanda, yang kekayaannya dibangun di atas eksploitasi berabad-abad atas rakyat pekerja Indonesia dan Belanda, maka kita dapat menggunakan kekayaan ini untuk membangun dunia yang lebih baik untuk semua orang dan mengakhiri secara pasti pra-sejarah umat manusia yang kejam ini.