Author Country Media Name Year Topic , , Translator ,

Seberapa berwarnakah arsip anda? – Volkskrant

Seberapa berwarnakah arsip anda?

Adalah hal yang cukup baik ketika Belanda dan Indonesia akan memulai penyelidikan bersama atas periode yang terjadi antara 1945-1949, ungkap Ady Setyawan. Bagaimanapun, jika Belanda dan Indonesia sungguh-sungguh ingin melanjutkan ide ini maka harus dilakukan pada kesetaraan, kedua negara harus menghindarkan generalisasi atau asumsi atas tiap topik permasalahan, karena hal itu hanya akan mengarahkan proses diskusi pada jalan buntu.

Volkskrant / 29 Desember 2016 / Tulisan: Ady Setyawan, Foto : Indra Eka Saputra

ady-setyawan-photo-2

Sebagai seorang keturunan dari pelaku perang kemerdekaan, saya ingin merespon atas perdebatan di negeri Belanda atas kejahatan perang di Indonesia yang selama ini saya ikuti dari jauh. Reaksi saya mungkin masih relevan dimana saat ini pemerintah anda telah memutuskan untuk memulai sebuah penyidikan. Semoga pandangan ini bernilai sesuatu sebelum tim penelitian sungguh sungguh dibentuk.

Yang saya pahami adalah pemerintah Belanda menginginkan kerjasama dengan pemerintah Indonesia dalam penelitian ini. Hal ini akan menjadi sangat menarik karena ada beberapa perbedaan yang perlu dijembatani. Sekarang saya akan membahas sekat perbedaan, saya mengamati cara pandang orang Belanda terhadap pola pikir kami, orang orang Indonesia.

Sudah merupakan ketimpangan ketika bermacam tulisan yang mengasumsikan bahwa kami orang Indonesia menolak kritik, bahwa kami juga berperan dalam aksi kekerasan. Kami hanya tertarik mengagungkan para pahlawan-pahlawan kami, bahwa kami masih berdiri diatas pondasi mitos. Sebuah mitos karena pada kenyataannya yang terjadi bukan hanya perang kolonialisme tetapi lebih kepada perang sipil antar kelompok bersenjata di Indonesia. Alasan bahwa kami tidak mau membahas ini adalah karena hal tersebut membahayakan wibawa pemerintahan Indonesia. Mitos bahwa kemerdekaan Indonesia adalah dongeng indah sebelum tidur.

Saya menyatakan membantah semua pemikiran itu dan berpendapat bahwa semua mitos itu hanyalah pikiran orang-orang Belanda saja.

Pecah belah dan Kuasai

Adalah benar bahwa kawasan-kawasan lain ada ketidaksukaan bergabung dengan Jawa ( catatan penulis : lihat perjanjian Linggarjati ). Adalah benar ada pertempuran melawan satu sama lain diantara kami. Tapi ada yang perlu diperhatikan dengan sungguh-sungguh dalam hal ini, yaitu pengaruh dari politik Belanda “devide et impera”, pecahbelah dan kuasai. Apakah kekacauan setelah tahun 1945 itu masih terkait dengan hasil kebijakan Belanda tersebut? Jangan pernah lupakan kejadian sebelum masa perang dunia. Setiap kali kami mengorganisir kekuatan lokal pada era pemerintahan Belanda, secepat itu pula Belanda menghancurkannya. Dalam masa perang kemerdekaan, Belanda menciptakan metode kebijakan “negara federal” dimana setiap kawasan diluar Jawa diimingi janji untuk dimerdekakan. Mereka berharap dengan metode ini maka kekuatan dari Republik Indonesia akan dapat dilemahkan. Yang mengejutkan saya adalah bahwa pemikiran ini masih cukup dipercaya dan diyakini orang-orang Belanda, mempercayai pondasi mitos. Padahal kenyataannya, memiliki Belanda sebagai musuh bersama berhasil menciptakan persatuan bangsa, sekalipun hal ini memudar setelah Belanda angkat kaki.

Dalam setiap peringatan nasional, kami memang selalu berfokus pada jasa para pahlawan. Kami tidak banyak mengetahui kelompok-kelompok kecil yang saling membunuh satu sama lain, tidak semua berada dalam catatan dan ingatan Republik. Kecuali beberapa kelompok besar seperti Darul Islam atau kelompok yang berniat mendirikan negara komunis. Ada banyak buku tentang keduanya juga museum yang menyimpan data tentang kelompok ini.

Dengan menempelkan predikat kepada Indonesia sebagai bangsa yang “tidak berkeinginan” dalam riset ini, maka hampir mustahil bagi kami untuk bereaksi. Setiap ucapan yang berlawanan dengan kerangka fikir ini akan dianggap sebagai pembenaran atas sebuah penolakan.

Sebenarnya bukan hanya sebuah “ketidakinginan” , lebih dari itu, kita menghadapi perbedaan dalam sudut pandang. Prasangka ini melukai dan membuat saya enggan untuk terlibat dalam diskusi apapun bentuknya. Saya berpendapat jika Belanda sungguh-sungguh ingin mempelajari trauma dan masa lalu bersama dengan orang-orang Indonesia,maka adalah hal yang penting untuk memahami sudut pandang dari masing-masing pihak secara terbuka. Sudut pandang adalah hal yang sangat penting untuk menciptakan sebuah kerangka pekerjaan, lebih penting dari memunguti serpihan barang bukti sejarah masa lalu.

Pemboman Atas Kota Surabaya

Adalah benar bahwa secara umum, warga Indonesia tidak familiar dengan istilah “bersiap” dan mungkin bahkan tidak semua orang Belanda paham betul makna kata bersiap. Menurut saya , pemahaman dari orang orang umum harus dibedakan dengan pendapat ahli. Pada tahun 2013 saya mengunjungi Belanda dan dengan cepat saya mengetahui bahwa sebagian besar orang tidak memiliki pengetahuan tentang tentara Belanda yang dikirimkan dalam perang di Indonesia. Saya pikir buku “Soldaat in Indonesie” ( Pasukan di Indonesia) mungkin sudah cukup dikenal dikalangan para ahli,namun saya masih penasaran apakah kesimpulan dari buku ini sudah merupakan pengetahuan yang secara umum dimiliki warga Belanda. Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan oleh Limpach. Di Indonesia pun sebenarnya tidak banyak perbedaan, orang orang secara umum tidak mengenal periode masa bersiap. Sejarawan indonesia tentu tahu dan kadang mengadakan diskusi tentang masa bersiap. Tapi masa bersiap tentu saja bukan topik yang menarik untuk dibicarakan, bukan karena kami ini naif atau hanya ingin mengenang kepahlawanan para pendahulu kami, tapi adalah hal yang manusiawi untuk mengingat atau membicarakan kepedihan kita sendiri.

Tahun 1945 kami mengenang pemboman Inggris atas kota tempat tinggal saya, Surabaya. Lebih dari 10.000 orang meninggal dalam perang itu. Saya memahami sepenuhnya kenapa bangsa anda tidak banyak yang mengetahui tentang insiden ini, namun jauh lebih menggarisbawahi dan senantiasa mendengungkan “era bersiap”, sebuah era dimana terjadi pembunuhan atas orang-orang bangsa anda. Namun bagaimanapun saya meyakini sebagian besar dari bangsa saya sadar bahwa dalam perang revolusi adalah sejarah yang berlumur darah, dan sangat logis dalam perang meraih kemerdekaan itu bukan hanya orang Indonesia yang menjadi korban.

Yang saya permasalahkan adalah ketika Belanda menurunkan wacana yang membuat seakan-akan terkesan bahwa orang Indonesia adalah orang-orang naif dan bodoh dalam dunia penulisan sejarah. Seakan kami harus mengikuti contoh yang baik dari Belanda. Seakan akan kami ini membutuhkan Belanda untuk mengajari kami. Benarkah demikian? Saya pikir tidak banyak orang Belanda yang tahu tentang Sabarudin, seorang penjahat perang yang dieksekusi oleh TNI atas kejahatannya dari era bersiap. Disisi lain, adakah tentara Belanda yang pernah diadili atas kejahatan perangnya atas orang Indonesia yang tidak bersalah?

Baru-baru ini ini saya membaca artikel Belanda bahwa gambaran kami akan orang Belanda dibangun berdasarkan gambaran dari sebuah film populer, jika boleh saya bertanya , atas dasar apa anda memberi gambaran kepada pemuda Indonesia ? Apa yang anda ketahui tentang penulisan sejarah kami sejauh ini? Seberapa banyak warna dalam arsip anda? Jika Belanda dan Indonesia benar-benar ingin melanjutkan penelitian ini dengan adil maka sangat tidak elok ketika mantan penjajah mendikte kami tentang apa yang seharusnya ditulis disisi Indonesia. Akan jauh lebih pantas jika anda berdiskusi dan bertanya tentang isi pikiran kami dalam melakukan penelitian.

Bukan Ketidakinginan

Saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan membagi cerita untuk menunjukkan bahwa disini tidak ada “ketidakinginan” dari Indonesia ketika membahas kekerasan era bersiap. Salah satu sahabat saya seorang Indo Belanda bernama Max van der Werff menceritakan kepada saya kisah tentang pamannya yang terbunuh di Bandung. Lalu kami memutuskan untuk membuat sebuah acara untuk mengenang para korban era bersiap di Makam Kembang Kuning, Surabaya. Bersama dengan para anggota komunitas Roodebrug Soerabaia, kami menaruh bunga ditiap makam Belanda. Tahukah anda? Ada begitu banyak media Indonesia yang meliput bahkan salah satu televisi nasional turut mendokumentasikan. Ini adalah satu contoh dalam skala kecil bagaimana kita saling berbagi sudut pandang. Bisa anda bayangkan seandainya Max van der Werff begitu bertemu dengan saya langsung mengatakan “orang-orang yang kau sebut pahlawan itu membunuh pamanku!!” , mungkin peringatan di makam itu tak akan pernah ada.

Ketika kita benar-benar ingin kerjasama dalam penelitian ini, kita harus memperhatikan dan menghormati sudut pandang satu sama lain. Generalisasi dan pengambilan kesimpulan yang tergesa akan menutup pintu dialog. Bagi kami bangsa Indonesia, perang kemerdekaan bukanlah sebuah peristiwa khusus yang terisolir, sama halnya dengan periode bersiap. Semua terhubung dengan sejarah masa-masa sebelumnya. Indonesia maupun Belanda harus yakin bahwa gambaran satu sama lain tidak diwarnai kebencian masa lalu.

Ady Setyawan ( 1982 ) adalah seorang Insinyur Indonesia dan sejarawan amatir dari Surabaya. Pada 2010 dia mendirikan komunitas Roode Brug Soerabaia, dengan tujuan membuat sejarah lebih menyenangkan untuk dipelajari bagi generasi muda. Kerap mengadakan kegiatan reka ulang mengenang perjuangan melawan Inggris dan Belanda. Presentasi dan kegiatan pameran juga sering diadakan oleh komunitas ini.

opinie-ady-vk-dec-2016 opinie-ady-vk-dec-2016-2

[Terjemahan dalam bahasa Indonesia oleh Ady Setyawan. Bila Anda memiliki tanggapan dan saran demi perbaikan terjemahan ini, silakan kirimkan email kepada kami info@historibersama.com]