Video ini hanya tersedia dalam Bahasa Belanda, silakan baca penjelasan di bawah, yang mencantumkan transkrip terjemahannya:
Pada 25 November 2021, kami mengunggah sebuah video pendek tentang presentasi buku ‘De strijd om Bali‘ (Perjuangan untuk Bali.)
Membaca transkripsi bahasa Indonesia:
Sayangnya, Spui 25 (Universitas Amsterdam) mendesak kami untuk menghapus video tersebut. Mereka menuduh Histori Bersama atas pelanggaran hak cipta. Buku tersebut ditulis oleh sejarawan Belanda Anne-Lot Hoek. Sebagian penelitiannya ‘Kemerdekaan, dekolonisasi, kekerasan, dan perang di Indonesia, 1945-1950’ didanai oleh pemerintah Belanda yang dimana hasilnya akan dipresentasikan pada 17 Februari 2022. Dimana Hoek berpartisipasi sebagai peneliti dalam proyek ini selama 2 tahun.
Hoek menghubungi ketua HB Fitria Jelyta setelah dia mengetahui kami menulis tentang presentasi bukunya. Dia menuduh Histori Bersama telah menyebarkan kebohongan dan fitnah. Hoek memungkiri bahwa bukunya adalah proyek penelitian yang dinanai oleh pemerintah Belanda. Setelah Jelyta membalasnya dan menjelaskan motif kami, Hoek kemudian menghubungi Spui25 untuk mengadu tentang unggahan kami. Setelah itu Fatima Kamal dari Spui25 menghubungi Histori Bersama untuk menggugat penyalahgunaan rekaman siaran langsung tersebut. Kami tidak diperbolehkan mengunggah video pendek berdurasi 1:44 menit dengan terjemahan Bahasa Inggris. Meskipun kami sudah mencantumkan sumber keseluruhan video sebagai tautan terkait. Masalahnya adalah: keseluruhan percakapan hanya dalam Bahasa Belanda, yang mengekslusikan pengikut Histori Bersama yang non-Belanda.
Pada presentasi buku itu, 24 November 2021, Harm Botje (editor ‘Vrij Nederland’) mewawancarai Hoek tentang motivasinya dalam penelitian kejahatan Belanda di Bali. Dia menyatakan bahwa keputusan pengadilan pada 2011, atas tuntutan hukum KUKB terhadap Negara Belanda, membuat dia belajar lebih banyak tentang apa yang terjadi antara 1945-1949. Hoek mengklaim bahwa Pak Pondaag adalah “orang yang sangat penting baginya” yang dalam jalur hukum berusaha melawan sistem Belanda yang “membuka mata” dan membantu Hoek untuk “menghubungkan titik satu ke titik lain”.
Bagaimanapun, tidak pernah ada hubungan lagi antara Hoek dan Pak Pondaag. Pada musim panas 2020, dia dan Botje sang editor berjanji untuk menulis sebuah karangan tentang beliau yang akan diterbitkan sekitar 17 Agustus, Hari Kemerdekaan Indonesia. Setelah itu, Pak Pondaag mengirimkan dia beberapa surel dengan informasi tentang bagaimana pengalaman beliau secara sistematis dikucilkan oleh akademisi dan media Belanda. Dalam sambungan telepon Anne-Lot menjelaskan pada Beliau bahwa apa yang belilau alami itu bukan pengucilan. Dia juga mulai mengajari beliau tentang bagaimana melihat apa yang disebut sebagai ‘Bersiap’. Kemudian Pak Pondaag mengirimi mereka berdua surel dimana beiau menulis mengapa beliau tidak terima diajari untuk isu seperti ini. Segera setelah itu, Botje menelepon beliau dan berkata bahwa proyek tersebut ‘ditunda’. Alasanya: mereka ‘sangat sibuk’ menulis buku. Pak Pondaag terus bertanya apa maksudnya ‘ditunda’. Apakah itu dibatalkan? Akhirnya mereka membalas bahwa mereka telah memutuskan untuk tidak menerbitkan apapun.
Namun, kembali pada 2016 hubungan semakin rumit ketika Hoek menerbitkan sebuah artikel pada pembantaian Belanda di Rengat di koran Belanda NRC. Dia mendapatkan informasi dari KUKB. KUKB juga memberikan dia kontak. Bahkan, untuk publikasi di surat kabar NRC itu dia menolah untuk mencantumkan nama-nama yayasan ini karena dia bilang jika dia cantumkan, artikel tersebut tidak akan dimuat.
Sekarang, buku Hoek ‘perjuangan untuk Bali’ sedang diterbitkan sebagai satu dari hasil kajian yang menerima 4,1 juta euro dari pemerintah Belanda. Ketika proyek penelitian 4 tahun itu diluncurkan pada 2017, Pak Pondaag, bersama dengan Francisca Pattipilohy, menulis sebuah surat terbuka kepada pemerintah Belanda untuk memprotes kajian tersebut. Meskipun para peneliti Belanda itu mengakui bahwa jalur hukum itu penting dalam penyelesaian masalah ini dalam agenda ke depannya, mereka tidak mengundang Pak Pondaag dalam permulaan penelitian ini. Pak Pondaag dan Pattipilohy sebagai inisiator dalam surat terbuka tersebut, diacuhkan. Sebagai peneliti yang berpartisipasi, Anne-Lot Hoek tidak pernah secara terbuka mencantumkan atau mengomentari surat terbuka tersebut, apalagi isi surat itu. Keblikan dari Pak Pondaag, Pattipilohy dan kritikus lainnya dalam kajian ini yang memiliki kesulitan dalam menerbitkan artikelnya, Hoek memiliki akses penuh kepada media utama Belanda. Sebagaimana peneliti lainnya, dia tidak memperdulikan kritik dari dua orang Indonesia ini. Jadi apa artinya ketika dia bilang bahwa Pak Pondaag adalah orang penting baginya?
Transkrip cuplikan video siaran langsung dari presentasi buku Anne-Lot Hoek:
[6:08 – 6:40 min.]
Harm Botje: “Anne-Lot berfokus pada penjajahan berdarah atas Indoensia. Jadi sekarang sudah berjalan selama 10 tahun, Anne-Lot telah bekerja pada subjek ini selama 10 tahun. Anda bekerja dengan cara Anda, kita bisa bilang, untuk menjadi salah satu ahli, yang bisa sering dilihat di televise, Anda diminta untuk bergabung dalam kepanitiaan yang melakukan penyelidikan atas nama pemerintah, untuk benar-benar menggali kesalahan antara 1945 dan 1949 dan untuk mengantisipasinya, Anda kini telah membuat buku ini yang akan kita kita bicarakan dengan panjang lebar.”
[8:14 – 8:24 min.]
Harm Botje: “hari ini, sepanjang hari, Anda melakukan wawancara media, Anne-Lot. Malam ini berita besar akan disiarkan via RTL dan media lain tentang kamp penyiksaan di Bali, kita juga akan mendiskusikan ini lebih jauh di sini.”
[11:07 – 12:53 min.]
Anne-Lot Hoek: “saya langsung merasa ada lebih banyak di balik ini, cerita ini lebih besar. Di Belanda kita memiliki … yah … beginilah diskusi ini berkembang. Kami fokus pada insiden tunggal dari kekerasan, tapi …”
Harm Botje: “Yaitu, Sulawesi Selatan …”
Anne-Lot Hoek: “ya! Ini Bali, tentu saja ini baru. Tapi bagi saya, ini menimbulkan banyak pertanyaan … tentang cerita kolonial yang lebih besar di belakangnya. Dan kenapa kekerasan ini terjadi? Dan pertanyaannya mengapa ini sangat menarik bagi saya. Saya ingin tahu mengapa kita di sana dan apa yang terjadi dan bagaimana. Saya tahu sangat sedikit tentang sejarah kolonial sebelum [tahun 1945] itu.”
Harm Botje: “Jadi Anda ingin menjelaskan lebih jauh dari Rawagede… dan Anda menemukan Bali, apa yang Anda temukan di sana? Pertama kali Anda pergi kesana?”
Anne-Lot Hoek: “Uhm… boleh saya… karena saya ingin membagikan ini singkat saja”
Harm Botje: “Anda baru saja menyebutkan Rawagede…”
Anne-Lot Hoek: “baik, pada kasus pengadilan dari 2011 setelah Negara Belanda harus memberikan kompensasi atas kerusakan dan meminta maaf kepada para janda di Rawagede. Kasus pengadilan tersebut diinisiasikan oleh Jeffry Pondaag, beliau yang membuka mata saya. Saya lihat liputan berita sekembalinya saya dari Bali. Di situlah saya mulai menyambung titik satu ke titik lain. Pertanyaan yang muncul di kepala saya ketika saya di Bali dan kasus pengadilan ini. Sambil duduk saya ternganga di depan televisi. Inilah kenapa Jeffry Pondaag itu orang yang sangat penting bagi saya. Dia benar-benar menyadarkan pandangan saya. Begitulah ini berlanjut ….”
[30:10 – 30:46 min.]
Anne-Lot Hoek: “saya mencoba untuk menulisnya dari perspektif underdog, orang-orang di lapangan. Saya tidak hanya bicara tentang orang Indonesia … tapi juga tentara Belanda, itu juga pendapat saya, mereka juga punya cerita. Saya rasa sangat penting untuk menggarisbawahi suara-suara ini karena mereka benar-benar memberi gagasan yang lain di luar arsip kolonial Belanda. Dari apa yang saya sebut ‘materi-pelaku kejahatan’ untuk melihat periode tersebut. Sangat penting untuk merubah naratif. Untuk benar-benar melihatnya dari sudut pandang kritis.”
[31:31 – 32:35 min.]
Harm Botje: “Dan kemudian pada Februari publikasi atas riset besar para sejarawan dimana Anda juga mengambil bagian. Paling tidak Anda berkontribusi juga. Apa ekspektasi Anda dari laporan itu?”
Anne-Lot Hoek: Aduh … kita belum mendiskusikan pertanyaan ini sebelumnya Harm! [tertawa dengan gugup.]
Harm Botje: “saya hanya mencoba untuk memperluas … [perspektifnya!]”
Anne-Lot Hoek: “Uhm… saya rasa ini sulit sekali dikatakan. Saya tidak membaca kesimpulannya, hasil akhir buku itu. Saya sangat fokus pada cerita saya. Ya, tentu saja saya berharap ini akan memberikan banyak. Itu akan membimbing kea rah yang baru.”
Harm Botje: “bagus! Tapi apa yang Anda tulis dalam buku ini pada dasarnya adalah bagian dari proyek ini?”
Anne-Lot Hoek: “Yah… ini sebenarnya dua produk yang terpisah, bisa dibilang. Tapi saya menggunakan simpulan yang penting, paling tidak aspek penting (tentang kebijakan federal dan bagaimana kekerasan bergema di daerah itu) bagian itu saya masukkan [ke dalam proyek penelitian].
Atau unduh transkripnya dalam pdf
—
Lihat juga:
Fitria Jelyta responds to the book publication of Anne-Lot Hoek