Author Media Name Year Topic , , , , ,

Mendekolonisasi Mitos Kartini – Saut Situmorang

Mendekolonisasi Mitos Kartini

Esai ini merupakan bagian dari proyek ‘Recall/Recalibrate’, yang secara kritis menyelidiki apa yang disebut ‘kebijakan etis’ yang diterapkan Belanda pada pergantian abad ke-20 di Indonesia yang diduduki Belanda. Proyek ini merupakan inisiatif pendidik desain Belanda Rosa te Velde. Dalam kontribusinya, penyair dan kritikus Indonesia Saut Situmorang menawarkan wawasan tentang bagaimana ‘feminisme imperialis’ membentuk warisan Raden Ajeng Kartini. Ia menunjukkan bagaimana citranya sebagai pahlawan feminis dan anti-kolonial adalah mitos yang dibangun yang terutama melayani kepentingan penjajah Belanda. Seperti yang pernah dikatakan oleh jurnalis dan penulis Indonesia Fitria Jelyta: ‘Orang Belanda cenderung mengagungkan tokoh-tokoh sejarah yang ‘baik’. Apa artinya itu, ketika mereka ‘baik’? Ketika mereka kolaboratif, ketika mereka seperti Raden Ajeng Kartini’. Sementara itu, di Belanda, para aktivis telah mendesak Universitas Amsterdam untuk mengganti nama ruang VOC kolonial menjadi ‘Ruang Kartini’. Namun apa yang tersisa dari citra heroik anti-kolonial Kartini ketika kita menelaahnya kembali melalui sudut pandang dekolonial?Penyair dan kritikus Saut Situmorang menawarkan wawasan tentang bagaimana ‘feminisme imperialis’ berfungsi dengan menelusuri bagaimana warisan Raden Ajeng Kartini digarap dengan cermat. Sebagaimana dinyatakan oleh jurnalis dan penulis Fitria Jelyta, “Orang Belanda cenderung mengagungkan tokoh-tokoh sejarah yang ‘baik’. Apa artinya itu, ketika mereka ‘baik’? Ketika mereka kolaboratif, ketika mereka seperti Raden Ajeng Kartini”. Namun, bahkan di luar glorifikasi arus utama, dalam konteks ‘dekolonisasi universitas’, para aktivis saat ini mendesak penggantian nama ruang VOC kolonial di Universitas Amsterdam menjadi ‘Ruang Kartini’. Apa yang tersisa dari warisan Kartini ketika kita mengkajinya secara kritis dalam konteks proyek peradaban ‘Politik Etis’?

www.recalibrate.nl, teks: Saut Situmorang, 17 Agust 2025
Saut Situmorang

Sejarah Indonesia mencatat banyak pejuang perempuan yang gugur dalam perjuangan melawan penjajahan Belanda. Cut Nyak Din dari Aceh (Sumatera Utara), Lopian Boru Sinambela dari Tanah Batak (Sumatera Utara), dan Martha Christina Tiahahu dari Maluku (Indonesia Timur) hanyalah beberapa contoh. Dewi Sartika, yang berjasa dalam memperjuangkan hak-hak dan pendidikan perempuan, mendirikan sekolah khusus perempuan di Tanah Sunda (Jawa Barat) pada tahun 1904. Ruhana Kuddus dari Minangkabau (Sumatera Barat), jurnalis perempuan pertama di Indonesia, juga mendirikan sekolah khusus perempuan pada tahun 1911.[1] Namun tidak ada satupun dari prempuan tersebut yang menjadi setenar Raden Ajeng Kartini,[2] yang dirayakan secara internasional sebagai tokoh feminis Indonesia paling ikonik, bahkan di negara bekas penjajah: Belanda. Setelah Anne Frank, Kartini adalah penulis berbahasa Belanda paling terkenal di dunia.[3] Pertanyaannya adalah: mengapa ia menerima pujian ini sementara banyak pahlawan prempuan Indonesia lainnya masih belum dikenal di luar Indonesia? Apakah hanya karyanya saja yang membuatnya menonjol? Dengan merefleksikan konteks politik dan historis tulisan Kartini, statusnya, dan koneksinya, esai ini akan membedah ‘feminisme’ Kartini dalam kaitannya dengan zamannya, yaitu ‘Periode Etis’, dan akan mengkaji bagaimana mitos-mitos warisan Kartini berlanjut hingga saat ini.

Dirangkul oleh elit kolonial

Semasa hidupnya, orang-orang Belanda di kalangan atas menaruh minat pada Kartini. Di antaranya adalah Jacques Abendanon, Direktur Pendidikan, Agama, dan Industri – yang setara dengan Menteri Pendidikan di masa kolonial Belanda – dan istrinya, Rosa Abendanon-Mandri. Pasangan berpengaruh ini menganggap Kartini sebagai sahabat selama masa hidupnya yang singkat. Barangkali yang paling menentukan ketenarannya adalah penerbitan kumpulan surat-suratnya yang telah disunting oleh Jacques Abendanon pada tahun 1911, tujuh tahun setelah kematiannya, berjudul: Door Duisternis tot Licht (Dari Kegelapan Menuju Cahaya). Posisi politik Abendanon yang terkemuka tentu saja turut membantu penyebaran nama dan karya Kartini di kalangan elit kolonial pada masa itu; ia memberikan legitimasi pada karya Kartini yang mungkin tidak akan disadari oleh para elit ini. Buku tersebut mendapat perhatian besar dan diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, termasuk Arab, Sunda, Jawa, Jepang, Rusia, dan Prancis. Barangkali yang paling berpengaruh adalah terjemahan bahasa Inggrisnya dengan judul Letters of a Javanese Princess pada tahun 1920.[4]

Gambar 1 Sampul buku Door Duisternis tot Licht: Gedachten van Raden Adjeng Kartini, G. C. T. Van Dorp & Co, 1911 (edisi ke-1).

Apakah kebangkitan bintang Kartini merupakan proses yang tak terelakkan atau alami? Keterlibatan tokoh-tokoh politik dalam penyebaran karyanya turut membangun statusnya sebagai tokoh ikonik. Mereka yang menerbitkan dan menerjemahkan karya-karyanya pasti memiliki agenda mereka sendiri, sehingga untuk memahami perjalanan kariernya, kita harus bertanya: apa kepentingan orang-orang yang membuatnya terkenal di dunia?

Subjek kolonial yang ‘beradab’

Abendanon memainkan peran penting dalam pelaksanaan program Politik Etis pemerintah Belanda. Kebijakan ini, yang berlaku sejak tahun 1901 hingga pendudukan Jepang pada tahun 1942, bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk asli Indonesia yang menderita di bawah penjajahan Belanda.[5] Sebagai pejabat tinggi kolonial Belanda, penyajian Kartini sebagai seorang feminis dan pendidik oleh Jacques Abendanon sangat berpengaruh bagi citranya. Ia dengan cermat memilih dan menyunting surat-surat Kartini, menyorot bagian-bagian di mana ia memuji keberhasilan proyek kolonial Belanda dan, yang terpenting, menghapus bagian-bagian di mana ia mengkritik pemerintahan kolonial Belanda. Metafora yang dipilih Abendanon dari tulisan-tulisannya sebagai judul buku, Door Duisternis tot Licht (Dari Kegelapan Menuju Cahaya), juga bermakna. Ia jelas ingin meyakinkan pembaca bahwa seorang perempuan Jawa, yang selama ini hidup dalam kegelapan (yaitu budaya Jawa asli yang patriarkal) kini mampu mencapai cahaya (melalui ‘peradaban’ Eropa), dan bahwa kemungkinan ini merupakan hasil intervensi Belanda. Dengan demikian, surat-surat Kartini digunakan sebagai contoh keberhasilan Politik Etis yang diklaim sendiri oleh Belanda.[6]

Terjemahan bahasa Inggris pertama yang diterbitkan pada tahun 1920 didasarkan pada buku Abendanon dan tidak mengalami perubahan editorial yang signifikan, kecuali penyensoran kritik Kartini terhadap kolonialisme dan paternalisme Eropa. Penerjemah bahasa Inggris Agnes Louise Symmers membela pilihannya dengan menyatakan bahwa ia hanya ingin menggambarkan Kartini sebagai ‘gadis modern’ yang ‘jatuh cinta!’ Konstruksi citra Kartini sebagai panutan feminis di dunia Barat mencapai puncaknya pada tahun 1960 ketika UNESCO menerbitkan edisi bahasa Prancis buku Abendanon dengan kata pengantar dari orientalis Louis Massignon. Tak lama kemudian, terjemahan bahasa Inggrisnya dicetak ulang pada tahun 1964, yang bahkan menyertakan kata pengantar dari Eleanor Roosevelt, istri mantan presiden AS Franklin D. Roosevelt.[7]

Ketertarikan orang kulit putih terhadap Kartini, yang membuatnya sangat terkenal di Barat, tidak berakhir di situ. Pada tahun 1987, setahun setelah arsip keluarga Abendanon dirilis, arsiparis dan sejarawan Frits Jacquet menerbitkan koleksi surat Kartini lainnya, yang berisi lebih banyak korespondensinya dengan pasangan Abendanon..[8] Pada tahun 2014, sejarawan Australia Joost Coté menerbitkan ‘tulisan lengkap’ Kartini dalam terjemahan bahasa Inggris, sebuah volume 900 halaman.[9]  Dalam ulasan buku tersebut, sarjana Belanda Paul Bijl membandingkan Kartini dengan pemikir antikolonial seperti W. E. B. Dubois dan Frantz Fanon.[10] Pada tahun 2020, Bijl bersama dengan sarjana Malaysia Grace V. S. Chin, menyunting kumpulan esai Appropriating Kartini: Colonial, National and Transnational Memories of an Indonesian Icon (Mengapropriasi Kartini: Memori Kolonial, Nasional, dan Transnasional Seorang Ikon Indonesia).

Kartini muncul sebagai ikon populer di luar literatur sejarah; kita dapat melihatnya di elemen masyarakat lainnya. Di Belanda, setidaknya ada delapan nama jalan[11] dan dua hadiah diberi nama sesuai namanya.[12] Institut Kerajaan Belanda untuk Linguistik, Geografi dan Etnologi (KITLV) mendedikasikan koleksi khusus untuknya.[13] Pada bulan April lalu, diadakan diskusi di Universitas Amsterdam dengan tujuan mengganti nama ruang VOC menjadi Ruang Kartini dalam konteks dekolonisasi universitas.[14] Dan yang terbaru, sejarawan Belanda Lara Nuberg dan sejarawan Indonesia Feba Sukmana menerbitkan De mooiste brieven van Kartini (Surat-surat Kartini yang Terindah) dalam bahasa Belanda.[15] Mereka menyebutkan fakta luar biasa bahwa Keluarga Kerajaan Belanda memberikan sumbangan pertama kepada Dana Kartini pada tahun 1913, tetapi tidak menarik kesimpulan apa pun darinya. Sebaliknya, mereka menampilkannya sebagai seorang perempuan inspiratif dengan pandangan antikolonial yang tidak pernah diakui. Mereka tampaknya tidak tertarik untuk mengetahui alasan mengapa para penjajah Belanda, bersama dengan orang Eropa lainnya, memilih Kartini sebagai pahlawan mereka.[16]

Gambar 2 Kartini dan saudara perempuannya Roekmini, Kartinah dan Soemarti sebagai guru, Jepara, Jawa, tahun tidak diketahui. KITLV 503280.

Yang perlu diperhatikan, para pemikir anti-kolonial seperti Dubois dan Fanon [17] tidak pernah diapropriasi, dirayakan, dan diidealkan oleh elit kolonial sebagaimana Belanda mengapropriasi Kartini. Meskipun publikasi Abendanon mungkin merupakan seleksi cermat yang mengecualikan kritiknya terhadap pemerintahan kolonial Belanda, fakta bahwa ia juga memuji para penguasa Belanda menunjukkan bahwa meskipun kritik merupakan bagian dari analisisnya, sudut pandangnya pada dasarnya tidak anti-kolonial. Lagipula, mengharapkan para penjajah memperbaiki diri tidak sama dengan berupaya menghancurkan sistem. Mengakui bahwa Kartini telah diapropriasi, seperti yang tersirat dalam judul kumpulan esai Bijl dan Chin, adalah satu hal, tetapi memahami alasannya adalah hal lain.

Imperialisme Linguistik

Surat-surat yang ditulis Kartini dalam bahasa Belanda umumnya digunakan untuk mendukung klaim bahwa ia seorang feminis dan ‘gadis modern’. Dari perspektif kolonial, kemampuan berbicara dan menulis dalam bahasa penjajah merupakan simbol modernitas dan kemajuan. Ahli bahasa Skotlandia Robert Phillipson menciptakan istilah ‘imperialisme linguistik’,[18]  yang ia definisikan sebagai:

“[…] Sebuah bentuk linguisisme, yaitu keberpihakan pada satu bahasa atas bahasa lain yang paralel dengan penstrukturan masyarakat melalui rasisme, seksisme, dan kelas. Bersifat ideologis: keyakinan, sikap dan imajeri mengagungkan bahasa yang dominan, menstigma yang lain, dan merasionalisasi hierarki linguistik; dominasinya bersifat hegemonik, diinternalisasi dan dinaturalisasi sebagai sesuatu yang “normal”. Imperialisme bahasa saling terkait dengan struktur imperialisme dalam budaya, pendidikan, media, komunikasi, ekonomi, politik, dan kegiatan militer. Pada hakikatnya ini adalah tentang eksploitasi, ketidakadilan, ketidaksetaraan dan hierarki yang mengutamakan mereka yang mampu menggunakan bahasa yang dominan[19]

Penguasaan bahasa Belanda Kartini membuka pintu-pintu yang sebelumnya tertutup. Berkat kemampuan berbahasanya, ia pertama kali dikenal di kalangan elit kolonial Belanda. Mereka mengundangnya ke berbagai acara, yang banyak di antaranya diselenggarakan oleh rezim kolonial Belanda, dan bahkan menawarkannya kesempatan untuk melanjutkan pendidikan di Belanda. Tidak ada catatan Kartini yang ragu akan hal ini; bahkan, ia secara terbuka mengagungkan dominasi bahasa Belanda, yang ia kaitkan dengan keunggulan budaya Belanda dibandingkan bahasa dan budayanya sendiri. Dalam suratnya kepada Stella Zeehandelaar, seorang feminis dan sosialis Belanda yang terdidik, Kartini menulis pada 6 November 1899:

“Oh, Stella, dapatkah kau bayangkan bagaimana rasanya sangat menginginkan sesuatu dan menyadari dirimu tak berdaya untuk mencapainya! Aku yakin, jika ia mampu, Ayah tak akan ragu mengirim kami ke negerimu yang dingin dan jauh. […] Kini kau mengerti mengapa aku begitu ingin menguasai bahasamu yang indah? Tidak, jangan coba-coba membodohiku. Saya merasa sangat jelas akan kekurangan saya. Seandainya saya menguasai bahasa Belanda sepenuhnya, masa depan saya pasti terjamin.”[20]

Gelap versus terang

Kartini melangkah lebih jauh daripada sekadar mengagungkan budaya Belanda; ia juga merendahkan asal-usul Jawanya sendiri dengan perbandingan yang kekanak-kanakan dan ahistoris. Penggunaan metafora ‘gelap’ dan ‘terang’ sangat dominan dalam surat-suratnya. Islam juga tak luput dari hinaannya,[21] yang saat ini pasti akan dianggap Islamofobia:

“Saya menjadi Muslim hanya karena nenek moyang saya juga demikian. Bagaimana saya bisa mencintai ajaran yang diberikan kepada saya jika saya tidak mengetahuinya, tidak boleh mengetahuinya? Al-Qur’an terlalu suci untuk diterjemahkan, tidak peduli apa pun bahasanya. Di sini tidak ada yang tahu bahasa Arab. Orang-orang di sini diajari membaca Al-Qur’an tetapi apa yang dibaca tidak dipahami. Menurut saya itu konyol—mengajari seseorang membaca tanpa memahami apa yang dibaca. Seolah-olah Anda mengajari saya membaca buku bahasa Inggris sepenuhnya di luar kepala tanpa menjelaskan sepatah kata pun kepada saya.”[22]

Dalam surat pertamanya kepada Zeehandelaar, Kartini membuka suratnya dengan:

Saya sangat ingin berkenalan dengan seorang “gadis modern”—gadis mandiri yang sangat saya kagumi; yang menjalani hidup dengan percaya diri, ceria dan bersemangat, penuh antusiasme dan komitmen; bekerja tidak hanya untuk keuntungan dan kebahagiaannya sendiri tapi juga menawarkan dirinya kepada masyarakat luas, bekerja untuk kebaikan sesama manusia. Terbakar semangat saya atas era baru ini dan—ya—saya bisa katakan bahwa meskipun saya tidak akan mengalaminya di Hindia Belanda, tapi pikiran dan perasaan saya bukanlah bagian dari Hindia Belanda saat ini tapi sepenuhnya bagian dari saudara perempuan kulit putih progresif saya di Barat yang jauh“.[23] 

Betapa senangnya Kartini menjadi bagian dari ‘era baru’ yang terjadi di ‘Barat yang jauh’! Dalam surat yang sama, ia melanjutkan:

“Oh, anda tidak akan pernah tahu bagaimana rasanya mencintai masa kini, zaman baru ini—zaman anda—dengan sepenuh hati dan jiwa, tapi, pada saat yang sama, masih terikat, tangan dan kaki, dirantai pada hukum, praktik, dan adat istiadat negeri sendiri yang tidak mungkin bisa dilepaskan. Dan praktik serta adat istiadat negeri saya bertentangan dengan apa yang sangat ingin saya lihat diperkenalkan ke  masyarakatnya. Siang dan malam saya merenungkan cara-cara yang mungkin masih bisa dilakukan untuk melepaskan diri dari tradisi dan adat istiadat yang ketat di negeri saya, tapi…”[24]

Oh, betapa mengerikannya negeri kelahiran Kartini! Betapa berbedanya dengan ‘Barat yang jauh’ dan ‘era barunya’! Dalam pandangannya, praktik dan adat istiadat negerinya sepenuhnya bertentangan dengan nilai-nilai Barat, yang sangat ia harapkan untuk diperkenalkan ke dalam masyarakatnya sendiri. Ia secara terbuka menyatakan keyakinannya bahwa Indonesia hanya dapat diubah oleh ‘suara-suara dari luar, dari Eropa yang beradab dan telah direformasi’, sehingga hanya sedikit yang dapat dibayangkan dalam hal pendapatnya tentang intervensi kolonial.[25] Sepenuhnya sejalan dengan cita-cita para pelaksana Politik Etis rezim kolonial Belanda, Kartini percaya bahwa ‘kemajuan’ hanya dapat dicapai dengan membuka diri terhadap ‘tamu dari seberang lautan: yaitu, budaya Barat’. Ia memuji kakeknya, Pangeran Ario Condronegoro dari Demak, yang merupakan pendukung besar kemajuan, karena: ‘semua anaknya hanya mengenyam pendidikan Eropa’.[26] Dalam surat yang sama, Kartini menyatakan:

“Kami, para gadis, yang masih terikat dengan praktik dan adat istiadat lama, hanya bisa sedikit memperoleh manfaat dari kemajuan ini dalam hal pendidikan. Sudah merupakan pelanggaran besar terhadap moral dan adat istiadat negeri saya jika kami, para gadis, pergi keluar dan mengenyam pendidikan dan karena itu kami harus keluar rumah setiap hari untuk bersekolah. Anda lihat, adat negeri kami melarang keras para gadis muda untuk pergi ke luar rumah mereka. Kami tidak diizinkan pergi ke luar rumah—dan satu-satunya lembaga pendidikan yang dikaruniai kepada kota kecil kami hanyalah sekolah dasar negeri biasa untuk orang Eropa.”[27]

Di bawah belenggu adat istiadat Jawa yang mematikan, Kartini merasa bahagia karena kota kecilnya ‘diberkati’ dengan sebuah sekolah Eropa. Selama empat tahun ‘masa gelap yang mengerikan’, ketika tradisi mengharuskannya tinggal di rumah sebagai gadis lajang, ia merasa lega karena:

“[…] Beruntung sekali bagi saya karena saya tidak dilarang membaca buku-buku Belanda atau berkorespondensi dengan teman-teman Belanda. Itulah satu-satunya momen penting dalam periode yang mengerikan dan gelap itu. Mereka adalah segalanya bagi saya—tanpa mereka saya mungkin sudah mati, atau lebih buruk lagi: jiwa saya, roh saya akan mati[28]  

Apa yang ia tulis dalam surat-surat awalnya kepada Zeehandelaar merupakan ciri khas dari semua suratnya yang ditujukan kepada beberapa tokoh penting Belanda, termasuk keluarga Abendanon, Dr. Nicolaus Adriani (seorang linguis misionaris Belanda), Marie Ovink-Soer (istri Asisten Residen Jepara), serta Nellie van Kol (istri Henri van Kol, pemimpin Partai Buruh Sosial Demokrat Belanda).

Dalam sebuah memorandum publik tertanggal ‘Jepara, Januari 1903’ dan berjudul “Berikan Orang Jawa Pendidikan!”, Kartini menulis tentang betapa pentingnya pendidikan sekolah Belanda bagi perempuan pribumi Jawa. Namun, ia hanya berbicara tentang perempuan dari kelasnya sendiri, kaum bangsawan:

“Meskipun mustahil untuk segera menyediakan pendidikan bagi seluruh penduduk yang berjumlah 27 juta orang, bukan tidak mungkin untuk memulainya dengan menyediakan pendidikan bagi lapisan atas penduduk tersebut dan mengembangkannya sedemikian rupa sehingga dapat bermanfaat bagi mereka yang berada di bawahnya. Masyarakat sangat terikat dengan kaum bangsawan; apa yang terpancar dari kaum bangsawan itu mudah diterima di antara mereka.”[29]

Jadi, bagi Kartini, ‘lapisan atas masyarakat’ merupakan kunci bagi perkembangan masyarakat kolonial lainnya:

“Masyarakat pribumi sangat membutuhkan perbaikan fondasi moralnya. Tanpanya, langkah-langkah yang diambil Pemerintah, betapapun baiknya niatnya, akan, jika tidak sepenuhnya gagal, paling banter hanya akan memberikan hasil yang minimal. Oleh karena itu, fondasi moral masyarakat pribumi harus ditingkatkan; setelah fondasi moral yang baik terbentuk, benih-benih kemajuan dapat ditanam dengan sukses.”[30]

Dalam penalarannya, penduduk asli sedang mengalami krisis moral yang akut, dan merupakan tugas rezim kolonial Belanda untuk memperbaikinya. Namun, bagaimana mungkin ia mengharapkan sesuatu yang baik dari penjajah asing yang telah menduduki negerinya selama berabad-abad? Jelas, penduduk asli Indonesia menderita di bawah kekuasaan Belanda, tetapi sejauh mana krisis tersebut merupakan krisis moral? Dan bagaimana dengan moralitas penjajah? Rupanya, tidak terlintas dalam benaknya bahwa sistem penindasan kolonial Belanda adalah penyebab sebenarnya dari begitu banyak masalah – sebaliknya, Kartini berharap Belanda akan menyelamatkan rakyatnya dengan, antara lain, menyediakan pendidikan bagi perempuan:

“Sesungguhnya faktor penting dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat adalah kemajuan perempuan Jawa! Oleh karena itu, tugas pertama Pemerintah adalah meningkatkan kesadaran moral perempuan Jawa, mendidiknya, mengajarinya, menjadikannya ibu dan pengasuh yang cakap dan bijaksana!”[31]

Namun, ia menambahkan:

“Tidak dimaksudkan untuk mengajarkan bahasa Belanda kepada seluruh masyarakat Jawa: apa gunanya buruh tani, penebang kayu, pemotong rumput, dan sebagainya  belajar bahasa Belanda? Bahasa Belanda hanya mesti diajarkan kepada mereka yang memiliki bakat dan cocok untuk belajar bahasa Belanda.[32]

Kartini menggambarkan penguasaan bahasa Belanda sebagai kunci yang dapat membuka ‘harta karun peradaban dan pengetahuan Barat’, dan ia percaya bahwa harta karun ini hanya bermakna bagi mereka yang tertarik padanya, yaitu kaum bangsawan Jawa seperti dirinya.

Cendekiawan Malaysia Grace V. S. Chin, dalam babnya dalam kumpulan esai ‘Apropriating Kartini’ (Mengapropriasi Kartini, 2020), mengungkap keterbatasan feminisme Kartini yang berakar pada perempuan aristokrat seperti dirinya, namun tetap bungkam mengenai isu-isu yang dihadapi perempuan kelas bawah. Dalam esainya, Chin secara meyakinkan mendekonstruksi narasi populer tentang progresivitas feminis Kartini:

“Di satu sisi, terdapat seruannya yang berapi-api untuk hak-hak perempuan atas pendidikan dan pekerjaan serta penghapusan adat-istiadat feodal seperti poligami dan perjodohan, tetapi di sisi lain, terdapat kebisuannya mengenai penderitaan perempuan kelas bawah, termasuk ‘selir’.[33] Visinya tentang perempuan priyayi terpelajar yang membawa cahaya ke masyarakat luas sebagai ibu sekaligus pendidik calon pemimpin Jawa tidak hanya secara implisit mengecualikan perempuan kelas bawah dengan menyesuaikan diri dengan hierarki kelas, pangkat, dan hak istimewa, tetapi juga memperumit ‘trope’ feminisme progresifnya yang terkenal.“[34]

Fig. 3 Kartini bersama suaminya Raden Adipati Djojoadiningrat, bupati Rembang, 1903. Foto oleh Tee Han Sioe. KITLV 15470.

Kartini tidak hanya mengabaikan penderitaan perempuan kelas bawah, tetapi ia juga percaya bahwa pendidikan perlu menguntungkan rezim kolonial itu sendiri. Merujuk pada kakeknya, Condronegoro, Pangeran Demak, yang anak-anaknya diizinkan bersekolah di sekolah Eropa, ia menulis bahwa Belanda diuntungkan secara langsung dari keputusan ini karena empat putra dan dua cucunya telah menjadi bupati yang sukses dan menerima pujian dari para penguasa Belanda mereka. Kartini sama sekali tidak mempertanyakan pengaturan ini; satu-satunya keinginannya adalah agar perempuan bangsawan juga menerima pendidikan:

“Jika kaum bangsawan tahu bahwa Pemerintah menginginkan putri-putrinya lebih berbudaya, maka pada awalnya mereka mungkin tidak akan mengirimkan putri-putri mereka karena keyakinan pribadi, tetapi mereka akan mengirimkan mereka atas kemauan mereka sendiri. Kaum bangsawan harus didorong ke arah ini. Apa pentingnya motif apa putri-putri mereka dikirim ke sekolah? Yang penting adalah merekalah yang dikirim ke sekolah!”[35]

Ia juga berpendapat bahwa para ibu dari anak-anak bangsawan harus dididik, karena: ‘dari rumah khususnya bimbingan moral harus datang’. Kartini percaya bahwa pada saat itu, istri bangsawan – sang ibu – sama sekali tidak siap untuk peran pembimbing ini.[36] Oleh karena itu, ia berpikir bahwa dengan mendorong para pemimpin bangsawan untuk mendidik putri-putri mereka, harga diri mereka tidak lagi ditentukan oleh hak kelahiran semata:

“Latar belakang yang baik harus dibarengi dengan kualifikasi jika seseorang ingin dipertimbangkan untuk menduduki jabatan tinggi. Hal ini akan menjadi pendorong bagi orang tua yang berkedudukan tinggi untuk mendidik anak-anak mereka sebaik mungkin.”[37]

Hal ini menegaskan bahwa, dalam benak Kartini, perempuan bangsawan pribumi harus dikirim ke sekolah-sekolah Eropa, khususnya demi kepentingan kaum bangsawan Jawa, yang bagaimanapun juga merupakan representasi rezim kolonial Belanda di Jawa. Betapa kolonialnya Kartini dapat dibaca di akhir memorandum publik, di mana ia menggarisbawahi apa yang ia yakini sebagai tujuan utama mendidik perempuan bangsawan dan rakyat Indonesia pada umumnya:

“Oleh karena itu, Belanda harus memberikan kesempatan kepada putra-putri Jawa untuk memiliki kualifikasi yang memungkinkan mereka untuk mengangkat masyarakatnya ke tingkat perkembangan spiritual yang lebih tinggi dan hasil yang lebih besar—demi kehormatan dan kemuliaan Belanda.[38]

Feminisme kolonial kulit putih

Feminisme Kartini adalah contoh dari apa yang disebut feminisme kolonial atau imperialis, sebuah ideologi yang menggunakan retorika feminis untuk membenarkan imperialisme Eropa. ‘Feminisme’ semacam ini lebih merusak daripada bermanfaat karena melanggengkan stereotip yang tidak akurat dan merendahkan tentang status perempuan di belahan bumi selatan, sembari mendukung tujuan yang merugikan alih-alih membela semua perempuan. Pada akhir abad ke-19, ketika bangsa Eropa secara terbuka memerintah populasi besar non-kulit putih dan non-Barat, mereka membenarkan dominasi mereka dengan apa yang disebut ‘misi peradaban’. Argumennya adalah bahwa perempuan di bangsa-bangsa ini ditindas oleh penduduk laki-laki pribumi karena ideologi patriarki yang seksis sebagaimana diharuskan oleh tradisi budaya lokal. Pemerintahan Eropa, menurut mereka, akan membebaskan perempuan-perempuan ini dari penindasan kaum laki-laki mereka.[39]

Edward Said, profesor sastra Palestina-Amerika yang ternama, mengajarkan kita bahwa pada abad ke-18 dan ke-19, para penjajah Barat memunculkan ‘Orientalisme’ sebagai sebuah gagasan baru yang membenarkan kolonialisme. Para penjajah menciptakan konsep ‘Timur Jauh’ dan penduduknya untuk mempromosikan gagasan bahwa Barat, dalam oposisi, lebih unggul. Sebaliknya, Timur diposisikan sebagai wilayah terbelakang yang harus dibudayakan. Perempuan Timur, khususnya perempuan Muslim, merupakan bagian sentral dari kerangka Orientalis. Cendekiawan India-Amerika Deepa Kumar menggambarkan feminisme kolonial sebagai:

“[…] berdasarkan perampasan hak-hak perempuan untuk melayani imperialisme. Lahir pada abad ke-19 dalam konteks kolonialisme Eropa, feminisme kolonial bertumpu pada konstruksi ‘dunia Muslim’ yang barbar dan misoginis yang harus dibudayakan oleh Barat yang liberal dan tercerahkan; sebuah retorika yang juga dikenal sebagai Orientalisme gender.”[40]

Dalam esai lainnya, ia menulis:

“Banyak cendekiawan telah menunjukkan bahwa perempuan Muslim dipandang sebagai objek seks dalam dunia fantasi harem, atau sebagai korban tertindas yang dipenjara, diasingkan, dikerudungi, dan diperlakukan sebagai budak laki-laki. Dalam kedua konstruksi tersebut, berbagai pejabat dan penguasa kolonial konon bertanggung jawab untuk menyelamatkan perempuan-perempuan ini.”[41]

Jelaslah bahwa penjajah Belanda di Indonesia dipengaruhi oleh orientalisme. Pada tahun 1914, Komisi Kesejahteraan Rendah Belanda (Mindere Welvaart Commissie) menerbitkan sebuah laporan berjudul ‘De Verheffing van de Inlandsche Vrouw’ (‘Peningkatan Perempuan Pribumi’) yang menyelidiki bagaimana perempuan pribumi dapat diselamatkan dari poligami dan pernikahan anak. Dengan demikian, feminisme imperialis berfungsi sebagai alat Politik Etis, yang dapat dipahami sebagai versi Belanda dari ‘misi peradaban’ dan ‘Beban Orang Kulit Putih’.[42]

Kumar berpendapat bahwa feminisme imperialis Barat ditandai dengan sikap rasis dan merendahkan terhadap perempuan kulit berwarna yang tidak dianggap sebagai sekutu melainkan sebagai korban yang membutuhkan penyelamatan.[43] Kadang-kadang, Kartini menulis sinis tentang pertemuannya dengan wanita Eropa.[44]  Misalnya, ketika dia merenungkan kontribusinya pada Pameran Perempuan di Den Haag, dia mencatat bahwa ‘itu tidak berakhir dengan baik’, tetapi dia tidak mengungkapkan rinciannya.[45]

Hal ini menunjukkan bahwa Nuberg dan Sukmana mengusulkan Kartini sebagai contoh feminis interseksional, namun tidak mengakui bahwa pemikirannya sejalan dengan agenda kolonial Belanda: ‘Kartini menganggap semua orang setara dan melihat mekanisme penindasan di berbagai lapisan masyarakat kolonial Jawa.’[46] Meskipun banyak tulisannya menunjukkan hal yang sebaliknya, tulisan-tulisannya menggambarkannya sebagai sosok yang sadar kelas: “Kartini sudah memahami bagaimana penyalahgunaan kekuasaan dan ketidaksetaraan tampak dalam berbagai aspek masyarakat: dari kaya ke miskin, dari kulit putih ke cokelat, dari pria ke wanita, dari bangsawan ke pekerja, dari satu agama ke agama lain.”

Cukup membingungkan bagaimana Nuberg dan Sukmana memandang Kartini sebagai contoh feminisme interseksional, sementara tidak melihat mengapa ia bersekutu dengan agenda kolonial Belanda. Sebagaimana dijelaskan, kasus Kartini tidak mengajarkan kita tentang interseksionalitas, melainkan tentang feminisme imperial. Perbedaan antara konsep-konsep ini bermakna dan penting. Feminisme interseksional membahas bagaimana berbagai bentuk diskriminasi, seperti seksisme, rasisme, dan klasisme, dapat saling tumpang tindih dan beririsan, menciptakan pengalaman penindasan yang unik bagi setiap individu.[47] Feminisme imperialis menggambarkan praktik-praktik di mana feminisme digunakan untuk memajukan agenda-agenda imperialis, yang menghasilkan kebijakan-kebijakan yang merugikan kehidupan dan kesejahteraan perempuan di negara-negara terjajah. Hingga saat ini, kekuatan-kekuatan kolonial di dunia masih memanfaatkan feminisme imperialis dengan memaksakan norma-norma budaya Barat kepada masyarakat non-Barat atas nama nilai-nilai Barat.[48]

Kesimpulan

Kebanyakan pahlawan wanita Indonesia, seperti pejuang perlawanan Aceh, Cut Nyak Din, dan banyak rekannya, tidak dirayakan secara internasional, dan alasannya adalah karena mereka benar-benar anti-kolonial. Mereka gugur dalam perjuangan berdarah melawan penindasan Belanda, sementara ‘Putri Jawa’ Raden Ajeng Kartini justru diuntungkan.

Promosi atas Kartini sebagai pemikir anti-kolonial yang brilian, setara dengan Frantz Fanon, adalah mitos belaka. Fokus berlebihan Belanda terhadap warisannya dapat dijelaskan oleh gagasan-gagasan kolonial yang ia hasilkan. Meskipun sesekali mengkritik pemerintahan Belanda, ia hanya menginginkan reformasi di bawah kepemimpinan Belanda. Pikirannya begitu terindoktrinasi oleh kolonialisme sehingga ia secara terbuka mengungkapkan kekagumannya terhadap ‘peradaban’ Eropa, dan mengharapkan keselamatan darinya. Tidak ada satu pun tulisannya yang menunjukkan bahwa ia pernah memikirkan gagasan kemerdekaan bangsanya dari Belanda. Sebaliknya, ia sangat yakin bahwa bangsanya dapat maju secara intelektual melalui pendidikan sekolah Belanda, yang pada gilirannya akan menguntungkan rezim kolonial Belanda. Inilah pemikiran utama yang ia hasilkan melalui karyanya, sebagaimana dapat dibaca dalam sebagian besar surat dan tulisan-tulisannya. Kartini tidak hanya menganut prasangka kelas bahwa apa yang menguntungkan kelas atas pada akhirnya akan ‘menetes ke bawah’ ke kelas bawah,[49] Ia juga sepenuhnya terindoktrinasi oleh imperialisme linguistik, merasa bangga akan superioritasnya karena kemampuan bahasa Belandanya. Fakta bahwa surat-suratnya diterbitkan oleh pejabat tinggi Belanda untuk kepentingan program Politik Etis Belanda menunjukkan dengan jelas betapa bermanfaatnya ia bagi mereka; feminisme imperialisnya pada akhirnya terbukti merupakan alat kolonial lainnya.

Teks ini diterbitkan sebagai bagian dari seri Recall/Reclibrate. Teks ini diterbitkan di bawah lisensi CC BY-NC-ND, yang memungkinkan pengguna untuk menyalin dan mendistribusikan materi ini dalam media atau format apa pun, dalam bentuk yang belum diadaptasi, hanya untuk tujuan nonkomersial, dan hanya dengan syarat atribusi diberikan kepada pencipta. Informasi selengkapnya dapat ditemukan di www.recalibrate.nl

Catatan akhir:

[1] Lihat pula teks ‘Navigating Colonial Politics’ oleh Raistiwar Pratama dan Marjolein van Pagee dalam rangkaian esai ini.
[2] Raden Ajeng Kartini, yang populer dengan sebutan Kartini (tanpa gelar bangsawan Jawa Raden Ajeng), lahir pada 21 April 1879 di Jepara (Jawa Tengah) dari sebuah keluarga dengan sebelas anak. Ia adalah putri kedua dari bupati Jawa Raden Mas Adipati Ario Samingun Sosroningrat, yang telah menerima pendidikan Barat. Ayahnya dianggap cukup ‘modern’ karena ia memutuskan tradisi Jawa dengan mengizinkan Kartini dan saudara perempuannya untuk bersekolah di sekolah Eropa. Ibunya adalah istri kedua Sosroningrat dan putri seorang ulama berpengaruh di Jepara. Sesuai adat setempat, Kartini terpaksa menghabiskan empat tahun dipingit sebelum ia menikah dengan Raden Mas Ario Djojo Adiningrat melalui perjodohan. Ia adalah bupati Rembang (Jawa Tengah) dan seorang duda berpendidikan Belanda yang telah memiliki dua belas anak pada saat itu, dan yang telah menghabiskan beberapa tahun di Belanda sebelumnya. Kartini menjadi istri keempatnya, dengan perbedaan usia 26 tahun di antara mereka. Baik ayah maupun suaminya dipandang sebagai pemimpin Jawa yang progresif. Pada 17 September 1904, Kartini meninggal dunia di usia dua puluh lima tahun, hanya beberapa hari setelah melahirkan putra tunggalnya.
[3] Jean Gelman Taylor, ‘Afterword’, dalam: Paul Bijl and Grace V. S. Chin (editors), Appropriating Kartini: Colonial, National and Transnational Memories of an Indonesian Icon, Singapore, ISEAS – Yusof Ishak Institute, 2020, hlm. 175.
[4] Paul Bijl and Grace V. S. Chin, ‘Introduction’, dalam: Appropriating Kartini, hlm. 1.
[5] Lihat juga esainya ‘Occupation as requirement for ‘development’, the emergence of Dutch Ethical Imperialism in Indonesia’ oleh Rosa te Velde seri esai ini.
[6] Pada tahun 1922, atas permintaan Abendanon sendiri, terjemahan Melayu/Indonesia pertama diterbitkan oleh lembaga penerbitan kolonial Balai Pustaka dengan judul yang sebanding: Habis gelap terbitlah terang.
[7] Bijl & Chin, Appropriating Kartini, hlm. 2.
[8] F. G. P. Jacquet, Brieven aan mevrouw R.M. Abendanon-Mandri en haar echtgenoot, Dordrecht, Foris Publications, 1987.
[9] J. Coté, Kartini: The Complete Writings 1898–1904, Melbourne, Monash University, 2021.
[10] P. Bijl, ‘Kartini: The Complete Writings 1898–1904, Written by Kartini’, dalam: Bijdragen tot de taal-, land- en volkenkunde / Journal of the Humanities and Social Sciences of Southeast Asia, vol. 172, issue 4, Brill, 2016, 554–555.
[11] L. Nuberg and F. Sukmana, De mooiste brieven van Kartini, Amsterdam, De Geus, 2025, hlm. 20.
[12] Paul Bijl, ‘Kartini and the Politics of European Multiculturalism’, in: Bijl & Chin, Appropriating Kartini, hlm. 159–160.
[13] Lihat: https://collectionguides.universiteitleiden.nl/resources/ubl324.
[14] Matthias van der Vlist, ‘Can UvA really use the name Kartini Room? This symposium gives UvA the benefit of the doubt’, dalam: Folia, 23 April 2025. Diakses melalui: https://www.folia.nl/en/actueel/166182/can-uva-really-use-the-name-kartini-room-this-symposium-gives-uva-the-benefit-of-the-doubt.
[15] Nuberg & Sukmana, De mooiste brieven.
[16] Di Indonesia sendiri, konstruksi mitos seputar Kartini sangat dipengaruhi oleh dua buku, yaitu Panggil Aku Kartini Saja (1962) karya novelis ternama Indonesia, Pramoedya Ananta Toer, dan Kartini, Sebuah Biografi (1977) karya Sitisoemandari Soeroto. Antropolog Amerika Danilyn Rutherford, dalam esainya “Unpacking a National Heroine: Two Kartinis and Their People” (1993), membandingkan kedua buku tersebut, dengan menyatakan bahwa: “Kedua penulis tersebut menganggap Kartini sebagai pelopor bangsa Indonesia yang belum ditemukan. Keduanya berpendapat bahwa patron kolonial Kartini mengaburkan kekuatan sejati pemikirannya.” Danilyn Rutherford, ‘Unpacking a National Heroine: Two Kartinis and Their People’, in: Bijl & Chin, Appropriating Kartini, hlm. 105.
[17] Dalam kasus Fanon, misalnya, akan sangat sulit bagi kaum imperialis etis Prancis untuk membuat versi tulisannya yang ramah kolonial. Entah berdasarkan seleksi yang cermat atau tidak, pemikirannya terlalu kritis terhadap kolonialisme untuk digambarkan sebaliknya. Sebenarnya, ketika ia mendekonstruksi dampak ‘misi peradaban’ Eropa terhadap masyarakat terjajah, Kartini bisa menjadi ilustrasi dari pola pikir khas masyarakat terjajah yang digambarkan Fanon dalam bukunya yang terbit tahun 1952 Black Skin, White Masks (Kulit Hitam, Topeng Putih.)
[18] R. Phillipson, ‘Imperialism and Colonialism’ dalam: The Cambridge Handbook of Language Policy, edited by Bernard Spolsky, Cambridge, Cambridge University Press, 2012, hlm. 203–225.
[19] R. Phillipson, ‘Imperialism and Colonialism’, hlm. 214.
[20] Coté, Kartini, hlm. 81.
[21] Dengan Dr. Nicolaus Adriani, seorang ahli bahasa misionaris Belanda, Kartini bertukar sebagian besar surat yang membahas agama. Beliau mendorongnya untuk mengkritik Islam. Joost Coté mencatat bahwa Kartini pasti menyadari rujukan yang saat itu sedang marak mengenai ‘Islam fanatik’ di kalangan Eropa. Baik Adriani maupun Abendanon secara pribadi terlibat dalam strategi untuk menghambat penyebaran Islam di Sulawesi Tengah. Kartini sangat positif terhadap misi Kristen Belanda: ‘Kami sungguh bersimpati terhadap karya misi Kristen di Hindia Belanda dan kami tertarik pada segala hal yang berkaitan dengan karya tersebut, upaya, dan kehidupan orang-orang berhati mulia yang menempatkan diri di daerah-daerah paling terpencil, padang gurun, jauh dari negeri mereka sendiri.’ Lihat: Coté, Kartini, hlm. 52, 191.
[22] Coté, Kartini, hlm. 84.
[23] Coté, Kartini, hlm. 67.
[24] Coté, Kartini.
[25] Coté, Kartini, hlm. 68.
[26] Coté, Kartini, hlm. 68.
[27] Coté, Kartini, hlm. 69.
[28] Coté, Kartini, hlm. 69.
[29] Coté, Kartini, hlm. 810.
[30] Coté, Kartini, hlm. 811.
[31] Coté, Kartini, hlm. 812.
[32] Coté, Kartini, hlm. 815.
[33] Selir adalah kata Jawa untuk ‘istri kedua’. Ibu Kartini adalah seorang ‘selir’, sesuatu yang tidak pernah ia sebutkan dalam surat-suratnya kepada Zeehandelaar.
[34] G. V. S. Chin, ‘Ambivalent Narration: Kartini’s Silence and the Other Woman’, dalam Bijl dan V. S. Chin, Appropriating Kartini, 2020, hlm. 95.
[35] Coté, Kartini, 2021, hlm. 814.
[36] Coté, Kartini, 2021, hlm. 814.
[37] Coté, Kartini, 2021, hlm. 821.
[38] Coté, Kartini, 2021, hlm. 825.
[39] V. Amos dan P. Parmar, ‘Challenging Imperial Feminism,’ Feminist Review, No 17, July 1984, hlm. 3–19.
[40] D. Kumar, ‘Imperialist Feminism and Liberalism’, openDemocracy, November 6, 2014. Lihat: https://www.opendemocracy.net/en/imperialist-feminism-and-liberalism/.
[41] D. Kumar, ‘Imperialist Feminism’, International Socialist Review, issue 102, Fall 2016. Lihat:  https://isreview.org/issue/102/imperialist-feminism/.
[42] “The White Man’s Burden” (1899) adalah judul puisi karya penyair Inggris Rudyard Kipling. Ia membela pendudukan AS di Filipina dengan menyajikan penaklukan kolonial sebagai elemen misi peradaban, berdasarkan gagasan superioritas laki-laki kulit putih atas massa terjajah. Karena perempuan kulit putih juga turut serta dalam misi peradaban, hal ini umumnya disebut sebagai “White Woman’s Burden”.
[43] Kumar, ‘Imperialist Feminism’, 2014.
[44] Lihat misalnya ‘From a Forgotten Corner’, dimana Kartini mengejek ketakutan para perempuan kulit putih saat berada di bawah sinar matahari dan menjadi ‘warna kulit penduduk asli’, atau kecemasan mereka terhadap ‘jari-jari kotor monyet-monyet kecil itu’, Coté, Kartini, hlm. 772.
[45] Grever & Waaldijk, Feministische Openbaarheid: De Nationale Tentoonstelling van vrouwenarbeid in 1898, 1998, hlm. 190.
[46] L. Nuberg & F. Sukmana, De mooiste brieven van Kartini, Amsterdam, De Geus, 2025.
[47] Kerangka kerja ini pertama kali diperkenalkan oleh Kimberlé Crenshaw pada tahun 1989, yang menciptakan istilah ‘interseksionalitas’ untuk menyoroti bagaimana sistem kekuasaan yang saling terkait memengaruhi mereka yang paling terpinggirkan dalam masyarakat.
[48] Ambil contoh, gagasan yang tersebar luas bahwa perempuan berhijab semuanya tertindas dan membutuhkan penyelamat Barat berkulit putih. Hingga saat ini, kaum feminis Barat berkulit putih terus mempromosikan gagasan ‘jilbab’ sebagai simbol penindasan, menganjurkan pencopotannya, tanpa memahami makna budaya dan agamanya di banyak masyarakat. Lihat: H. Hakeem, ‘Imperial Feminism’, The News International, April 14, 2023. Lihat: https://www.thenews.com.pk/print/1060403-imperial-feminism.
[49] Lihat juga: F. Gouda, ‘Teaching Indonesian Girls in Java and Bali, 1900-1942: Dutch progressives, the infatuation with ‘Oriental’ refinement, and ‘Western’ ideas about proper womanhood’, dalam: Women’s History Review 4:1, 1995.

Lihat juga (bhs Inggris):

Pada tahun 2021 Saut Situmorang juga menulis secara kritis tentang novel kolonial ‘Max Havelaar’:


Juga bagian dari seri esai ini: