Sentakan Keras
Politik Pembaharuan “Etis” Melalui “Seni dan Kerajinan Pribumi” di Indonesia Jajahan Belanda
Pada pergantian abad ke-20, program penelitian dan peningkatan yang menyasar kerajinan dan industri kerajinan di Indonesia jajahan Belanda mengemuka. Melalui esai ini, Rosa te Velde mengkaji bagaimana gagasan “keinginan untuk memperbaiki” menjadi inti karya “Indolog” Rouffaer dan pegawai negeri sipil jajahan J.E. Jasper, dan lainnya. Bagaimana memahami kerja mereka dalam konteks perluasan dan intensifikasi pendudukan ke “wilayah jajahan luar” (wilayah di luar Jawa dan Madura)?
www.recalibrate.nl, 17 Agustus 2025, teks: Rosa te Velde

Pada 1901, Gerret Pieter Rouffaer (1860 – 1928) menulis artikel di majalah De Indische Gids edisi Oktober,[1] yang memaparkan kemajuan besar dari berbagai penelitian ilmiah yang dilakukan di Indonesia jajahan Belanda.[2] Rouffaer, seorang sejarawan seni dan peneliti otodidak, pernah berkelana ke Jakarta (“Batavia”) pada 1885. Kunjungannya ke wilayah yang disebut Hindia Belanda ini akan melancarkan kariernya sebagai seorang “Indologis”, dan khususnya reputasinya sebagai penikmat batik.[3] Dalam artikelnya, Rouffaer memuji stasiun pengujian pertanian dan penelitian botani di kebun di Bogor (“Buitenzorg”), serta upaya Het Bataviaasch Genootschap meneliti linguistik, etnografi, dan sejarah mereka.[4] Ia sangat senang dengan kajian arkeologi di Jawa yang dipimpin Dr. Brandes. Dengan penelitian ini, ia mengklaim, “hutang budi”—hutang budi yang terakumulasi akibat malpraktik penjajahan sebelumnya—terbayar lunas, menghormati para Hindu agung dan seni luhur mereka.[5]

Namun, Rouffaer melihat adanya pengabaian serius terhadap studi kerajinan “hidup” dibandingkan dengan minat yang berkelanjutan terhadap arkeologi dan sisa-sisa Hindu.[6] Menurut Rouffaer, para peneliti, termasuk dirinya sendiri, gagal menyadari dan menghargai “keindahan khas Hindia Belanda”, sebagian karena ketidakpedulian pemerintah untuk mendukung seni di Belanda.[7] Rouffaer menyebutkan beberapa studi tentang seni dekoratif Jawa, termasuk studi oleh profesor Wina A. R. Hein tentang ornamen Dayak di Kalimantan, tetapi secara umum ia melihat kurangnya minat di luar Jawa. Namun, seperti yang ia tulis, “di sanalah seni rakyat yang sesungguhnya hidup.” [8] Menurut Rouffaer, yang dibutuhkan adalah melepaskan “superioritas Barat yang kita bayangkan” dan melakukan “studi teknis yang serius mengenai bidang kerajinan dan seni dekoratif yang terabaikan”.[9] Menurutnya, ini akan menjadi cara untuk melunasi “utang” lain kepada Jawa dan Madura serta “wilayah terluar”. Ia merasa wajib memastikan bahwa “kehidupan mereka, seni dan kerajinan pribumi mereka, tidak boleh merana karena kekurangan cahaya dan udara, tidak dikenal dan tidak dicintai!”[10] Pada akhirnya, menurutnya, pengetahuan tentang kerajinan dan seni dekoratif masyarakat adat akan bermanfaat bagi kesejahteraan “penduduk pribumi”.[11]
Dalam artikel ini, saya tertarik memahami mengapa dan bagaimana program penelitian kerajinan dan industri kerajinan di Indonesia jajahan Belanda mengemuka selama Periode Etis. Bagaimana gagasan “keinginan untuk memperbaiki”,[12] sebagaimana dikembangkan antropolog Kanada Tania Murray Li, menjadi inti karya Rouffaer dan lainnya, khususnya dalam konteks perluasan dan intensifikasi pendudukan Belanda ke “wilayah jajahan luar” (buitenbezittingen, wilayah di luar Jawa dan Madura)? Praktik apa saja yang muncul selama periode ini yang bertujuan untuk “menyelamatkan”, “mengembangkan”, dan menyentak kerajinan pribumi?
Hutang Kehormatan
“Hutang Kehormatan Artistik” Rouffaer[13] merupakan tanggapan langsung terhadap “Hutang Kehormatan” (1899) karya Conrad Theodor van Deventer, sebuah artikel yang mengawali apa yang disebut Politik Etis (ethische politiek), yang baru pada 1980-an disebut sebagai Periode Imperialisme Etis oleh sejarawan Belanda Elsbeth Locher-Scholten.[14]
Tanpa menyinggung penaklukan militer Belanda yang sedang berlangsung atas “wilayah jajahan luar” Indonesia pada saat itu, seperti perang Aceh yang brutal dan berkelanjutan serta “ekspedisi” intensif yang dipimpin Jenderal Van Heutsz, Rouffaer membingkai penyelidikan wilayah-wilayah yang belum dipetakan di bidang seni dan kerajinan sebagai kewajiban moral.
Ia mengusulkan bahwa hal itu akan mengungkap kerajinan yang belum dikenal,[15], sejalan dengan seruan Ratu Wilhelmina untuk menjadi “penjaga” atau “pengasuh” masyarakat pribumi.[16] Rouffaer secara eksplisit menyebutkan “wilayah luar” dan minatnya pada kerajinan hidup dan seni dekoratif di luar Jawa. Ia menyarankan untuk memulai penelitian di kepulauan Timor, yang kemudian dapat diperluas ke Bali, Kalimantan (“Borneo”), Sulawesi (“Celebes”), dan Sumatra, banyak wilayah yang menjadi sasaran ekspansionis yang akan segera terjadi pada masa yang sama[17] Proposal penelitian Rouffaer yang ambisius sejalan dengan upaya Belanda untuk “memperoleh kendali politik de facto atas seluruh kepulauan Indonesia serta pengembangan negara dan masyarakatnya di bawah kepemimpinan Belanda dan mengikuti contoh Barat”.[18]
Skema Perbaikan
Bagi Rouffaer, hanya setelah “kajian serius” barulah mungkin, tulisnya, “merancang rencana pemeliharaan, promosi, dan pengembangan seni dan industri dekoratif pribumi”.[19] Rouffaer meyakini seseorang perlu mengetahui lebih dahulu, lalu mengevaluasi, dan baru setelah itu ia dapat melakukan intervensi.[20]
Dalam bukunya The Will to Improve: Governmentality, Development, and the Practice of Politics (2007), antropolog Tania Murray Li menyelidiki dua ratus tahun program perbaikan di Indonesia. Menurutnya, sepanjang 1905 – 1930:
“…beban orang kulit putih untuk memperbaiki kehidupan penduduk pribumi paling jelas diungkapkan […] [yang] juga merupakan periode ketika ‘perbedaan’ penduduk pribumi, perbedaan mereka yang tak terlukiskan, dielaborasi secara konseptual, diselidiki secara empiris, dan dijadikan dasar bagi kebijakan yang bertujuan untuk memulihkan ‘tradisi’ dan kehidupan desa Asia yang harmonis.”[21]
Mencermati beragam studi kasus di Sulawesi Tengah–yang Belanda sebut Celebes (“wilayah jajahan luar” yang kemudian diperintah langsung pada 1905 setelah penaklukan yang brutal)–Murray Li mengidentifikasi berbagai praktik dan tahapan program reformasi yang menerjemahkan keinginan untuk pembangunan dan perbaikan yang dianggap perlu ke dalam praktik.[22] Dalam kasus Sulawesi Tengah, ia menunjukkan bagaimana para etnografer dan ahli bahasa misionaris “mempersiapkan medan praktis dan moral untuk invasi militer”.[23] Menurut Murray Li, proses penyusunan program perbaikan dimulai dengan “mengidentifikasi kekurangan”, sementara tahap kedua adalah “menjadikan teknis”, yang terdiri dari mengusulkan berbagai strategi dan praktik untuk merepresentasikan “wilayah yang akan diperintah sebagai bidang yang dapat dipahami”.[24] Tujuannya adalah “mengumpulkan informasi tentang apa yang termasuk dan merancang teknik untuk memobilisasi kekuatan dan entitas yang terungkap dengan demikian”. Bagaimana tepatnya Rouffaer dan rekan-rekannya mengidentifikasi kekurangan, mengumpulkan informasi, dan merancang teknik intervensi dan peningkatan?
Keindahan yang Mengagumkan
Rouffaer bukanlah orang pertama yang mendorong studi dan apresiasi seni dan kerajinan dari “Hindia”. Khususnya, dalam artikel-artikelnya pada 1864 dan 1884, Frederik Willem van Eeden, Direktur Museum Jajahan dan Museum Seni dan Kerajinan di Haarlem, telah melakukannya, didorong minat untuk berkontribusi pada “kanon artistik sejarah universal”.[25] Mirip dengan Van Eeden dan Rouffaer, pegawai negeri sipil dan sejarawan kolonial, Pieter Hendrik van der Kemp telah melakukan penelitian tentang seni dan kerajinan di Indonesia yang diduduki Belanda pada 1889, membagi penelitiannya ke dalam dua lokasi: Jawa dan Madura, serta Wilayah Luar.[26]
Untuk kedua wilayah tersebut, Van der Kemp mengkaji a) keberadaan seni dan kerajinan, b) kemunduran dan kemajuan seni, serta kerajinan secara bersamaan, dan c) memberikan rekomendasi untuk “pengembangan”, seperti menyelenggarakan pameran, memberikan hadiah, atau memulai program pendidikan seputar kerajinan.
Rekomendasi Rouffaer dalam artikel 1901-nya untuk menugaskan seorang peneliti yang bersemangat dan memiliki “bakat seni dan pengetahuan teknis”[27] beserta seorang asisten pribumi, ditanggapi dengan serius. Antara 1905 dan 1930, pegawai negeri sipil Indo-Eropa Johan Ernst Jasper dan seniman sekaligus ilustrator Jawa Mas Pirngadi mengerjakan inventaris lima jilid tentang seni dan kerajinan di Hindia Belanda. Lainnya, termasuk Johannes Aarnout Loebèr Jr., mengerjakan proyek penelitian serupa.[28] Kelompok kecil peneliti, “Indolog”, dan pegawai pemerintah jajahan ini melakukan penelitian, menerbitkan artikel dan inventaris, serta turut campur dalam seni dan kerajinan di Indonesia jajahan Belanda.
Rouffaer menulis bahwa terdapat ancaman besar “hilangnya karakter” pada kerajinan pribumi, baik karena terabaikan maupun karena diadaptasi untuk memenuhi selera Eropa.[29] Ia berpendapat bahwa “studi serius” akan mengarah pada “konservasi, kemajuan, dan pengembangan” kerajinan pribumi.[30] Rouffaer khususnya tertarik pada promosi industri rumahan (huisvlijt), “di mana petani tetap menjadi petani dan keluarga tetap menemukan pekerjaan di lingkungannya sendiri untuk mengasah keterampilan dan selera”.[31] Minat Rouffaer terletak pada pembangunan ekonomi dan peningkatan estetika, sembari menekankan pentingnya “membiarkan penduduk pribumi tetap menjadi penduduk pribumi”,[32] yang mengingatkan pada keinginan untuk memulihkan kehidupan desa tradisional Asia.[33]
“Sangat Merusak dan Kurang Bermanfaat”
Meskipun Rouffaer bersikap positif terhadap pengaruh Islam pada seni batik Jawa,[34] namun secara umum, kebangkitan Islam empat ratus tahun sebelumnya dianggap sebagai ancaman bagi apa yang disebut tradisi Hindu asli, dan dianggap “sangat merusak dan kurang bermanfaat”.[35] Citra ini kemungkinan semakin diperkuat sekitar 1901 oleh Perang Aceh yang sedang berlangsung dan dengan “pengkhianatan” yang baru saja terjadi pada 1896 oleh pemimpin perlawanan Teuku Umar yang masih segar dalam ingatan.[36] Apa yang sebelumnya dianggap sebagai kerajinan Hindu mulai dianggap sebagai budaya asal “sejati” yang harus dilestarikan. Dalam studinya tentang pengucilan Indonesia dari bidang seni Islam, kurator dan peneliti Mirjam Shatanawi menyoroti direktur museum Lindor Serrurier: selain mengakui “korupsi” dan kepunahan budaya material yang akan segera terjadi karena kehadiran Eropa – dan dengan itu, alasan untuk “mengoleksi sebelum terlambat” – Lindor Serrurier juga menunjukkan Islam sebagai kekuatan yang merusak.[37] Saat mengunjungi koleksi Museum South Kensington di London pada 1886, ia berkomentar, “Betapa tingginya seni dan kerajinan Hindu dibandingkan seni dan kerajinan Melayu dan Jawa di jajahan kita.”[38] Namun, “hanya sentakan keras” yang dibutuhkan untuk mencapai “level klasik” era Hindu.[39]
“Reka Citra Teknis” dan Terbaca: Saran Peningkatan
Seperti apakah “sentakan keras” itu? Meskipun intervensi Eropa diakui sebagai ancaman bagi keautentikan kerajinan Indonesia, namun perbaikan yang dianggap perlu tetap menjadi hal terpenting, tetapi selalu disertai ambiguitas dan kontradiksi.[40]

Sejak 1905, Jasper, bersama Pirngadi, melakukan penelitian untuk menghasilkan lima jilid karya tentang Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlands-Indië (1912 – 1930): I: Anyaman (1912), II: Tenun (1912), III: Batik (1916), IV: Emas dan Perak (1927), dan V: Logam Non-Mulia (tempa tembaga dan pamor) (1930). Inventaris “teknis-artistik” Jasper, dengan lukisan karya Pirngadi dan beberapa foto, merupakan penelitian mendalam tentang status quo seni dan kerajinan yang menghimpun banyak ilustrasi dan rincian produksi teknis serta menganalisis sumber daya mentah yang digunakan. Jasper memberikan batasan tajam antara Jawa dan selainnya, menyematkan karakter “kepemilikan luar” sebagai sesuatu yang terbelakang, misalnya ketika terkait ketertarikan orang dalam penjualan kerajinan mereka. Bagi Jasper, informasi tentang produksi teknis begitu penting, sebagaimana halnya ini kelak memperlancar inovasi dan kelak penting juga untuk melestarikan kerajinan. Pirngadi akan menggambar pola-pola presisi, misalnya dari alas kursi asal Aceh–situs penaklukan brutal selama puluhan tahun hingga “ditenangkan” pada 1904.[41] Penggambaran teknis pola tersebut begitu terperinci sehingga penyusun lain mampu mereproduksinya.
Penelitian Jasper bagaimanapun juga tidak “teknis” murni. Dia juga tertarik pada kebiasaan, kepercayaan, dan konteks sosial suatu produksi kerajinan. Dengan metode analisisnya dia membandingkan antara wilayah geografis, dia bermaksud menyumbang pada pemahaman yang lebih luas terhadap perkembangan historis “ras-ras” dan tahap-tahap peradabannya melalui kerajinan, mengikuti karya kolega-kolega seperti George Birdwood dalam The Industrial Arts of India (1884).
Misalnya, Jasper menjelaskan keragaman kerajinan ornamental yang begitu luas di Kepulauan India sebagai hasil perbedaan “ras-ras” dan pengaruhnya.
“Dus, misalnya, seseorang memiliki bentuk-bentuk kuno dan sederhana dari suku-suku asli yang tinggal di perbukitan dan bagian-bagian yang kurang dapat diakses dari dataran tinggi India Tengah; figur-figur liar, fantastis dari suku-suku Mongolia di Himalaya Timur dan perbatasan Birma; ornamen Swami yang menakutkan dari ras-ras Dravidia Dakha; figur-figur bunga dan Binatang Hindustan yang primitive; dan lalu, Arya, motif bunga yang begitu hidup yang para pejuang Persia, Afghanistan, dan Mongol bawa.”
Melalui seri Inlandsche Kunstnijverheid, Jasper terutama tertarik pada legasi “Hindu”:
“[…]tahapan primitif di mana alat tenun masih ada di banyak tempat dan nama-nama asli (Melayu-Polinesia) untuk bagian-bagiannya menunjukkan bahwa seni menenun dapat dianggap sebagai warisan leluhur ras Melayu-Polinesia.”[42]
Ia terpesona perbedaan menenun di kepulauan yang luas, membandingkan berbagai “praktik primitif”.[43] Untuk penelitian Jasper, banyak demonstrasi (bertahap) di pekan raya tahunan (pasar malam) diselenggarakan, tidak hanya untuk tujuan penelitian tetapi juga untuk menciptakan pasar (berorientasi Eropa) bagi kerajinan Indonesia.[44] Selama pameran-pameran ini, komoditas dan juga peralatan dijual, dan demonstrasi langsung akan diadakan di desa-desa pengrajin (kampong toekang).[45] Daftar kontribusinya panjang, dan mencakup banyak kiriman dari “wilayah luar”. Dengan mendorong peningkatan kualitas, kontribusi terbaik akan diberi penghargaan: medali emas, perak, dan perunggu diberikan kepada para kontributor dan daftar panjang diploma kehormatan untuk para pengrajin. Dalam laporannya tentang Pasar Seni Vierde Jaar (1909), Jasper bangga melaporkan perkembangan industri kerajinan, menekankan bagaimana pasar berfungsi untuk menginspirasi kebangkitan kerajinan tradisional yang hilang.[46] Ia juga mencatat fungsi pedagogis pameran tersebut: para siswa diberikan akses gratis. Lebih lanjut, ia menyebutkan model dan peralatan yang dijual kepada “kepala suku” dari Aceh, Minahasa, dan Boni. Inventarisasi yang dilakukan Jasper masih menjadi standar penting bagi para kurator di Wereldmuseum, sebagaimana dapat diamati dari katalog daring yang sering dirujuk dalam deskripsi teknis objek.[47]
Skema Perbaikan Imperialisme

Teks Rouffaer pada 1901, yang membahas “utang kehormatan artistik”, tampaknya ditulis pada momen penting ketika ia merenungkan upaya-upaya sebelumnya untuk “membayar” utang tersebut dan mempertimbangkan langkah-langkah yang akan datang. Langkah-langkah selanjutnya ini akan mengarah pada penelitian ekstensif yang kemudian dilakukan J. E. Jasper. Melalui pendekatan mereka yang berbeda, para peneliti seni dan kerajinan pada masa itu mengkonsolidasikan pemikiran evolusionis rasis dan “ilmiah”, memahami peradaban sebagai perbandingan, dalam hal kebangkitan dan kemerosotannya. Contoh nyata dari ideologi rasis adalah retorika “kemurnian” dan stigmatisasi Islam, yang, selain kehadiran Eropa, dipandang sebagai ancaman bagi kerajinan artisanal dan seni dekoratif “pribumi”.
Dengan demikian, kita melihat bagaimana agenda “etis” diabadikan para peneliti seperti Rouffaer dan Jasper, yang, dengan pola pikir jajahan yang mendalam, menampilkan diri sebagai penjaga kerajinan yang “hilang”, tidak hanya dengan menelusuri dan merevitalisasi tradisi kerajinan “pribumi”, tetapi juga dengan mendorong pembangunan ekonomi untuk kepentingan penjajah. Studi “teknis artistik” oleh Jasper “membuatnya mudah dipahami” bidang kerajinan yang konon membutuhkan penyelamatan dan pengembangan. Melalui penyelenggaraan pameran, sentakan keras, dan promosi penggunaan motif “lama”, atau dorongan bagi para perajin melalui pemberian diploma kehormatan, penelitiannya menjadi kisah sukses yang menggenapi dirinya sendiri. Bagi masyarakat umum, pendekatan ini mengisolasi bidang kerajinan dan industri kerajinan dari konteks imperialisme, menampilkan dirinya sebagai sesuatu yang tampak “etis”. Retorika berbuat baik memfasilitasi citra diri Belanda sebagai “bangsa kecil tapi etis”, sebagaimana dikemukakan antropolog Gloria Wekker, yang mengukir logika kepolosan kulit putih yang masih dominan hingga saat ini.[48]
Namun, menelaah karya para peneliti seperti Van der Kemp, Rouffaer, dan Jasper dalam konteks imperialisme etis memungkinkan pemahaman yang, pertama, melihat kondisi etika yang terlibat, dan kedua, melampaui sekadar membingkai karya mereka sebagai paternalis dan rasis, yang mencari “keautentikan”, atau berkontribusi pada “modernisasi” Indonesia. Apa yang dapat kita lihat melalui lensa ini adalah bagaimana para peneliti ini justru mengonsolidasikan ekspansi Imperialisme dengan – secara antusias – mengalihkan minat penelitian mereka ke “wilayah jajahan luar”, dengan demikian mengikuti jalur ekspansi Imperialisme, dan melegitimasi pendudukan dengan memanfaatkan seni dan kerajinan untuk mendukung misinya. Bagi Menteri Urusan Jajahan A.W. F. Idenburg (1901), penaklukan dan kendali dianggap sebagai prasyarat untuk “kewajiban kehati-hatian” dalam rangka “modernisasi”.[49] Bahkan, melalui karya para peneliti ini, kita melihat bagaimana mereka juga “mempersiapkan medan praktis dan moral untuk invasi militer”.[50]
Bagaimana hal ini beresonansi pada masa kini? Bagaimana para desainer masa kini memposisikan diri sebagai “penyempurna”, atau sebagai orang yang “menyentak” orang lain ke arah tertentu? Meskipun “periode etis” secara eksplisit dikaitkan dengan Indonesia jajahan Belanda, logika perbaikan dan beban yang diciptakan orang kulit putih sendiri dapat diamati sebagai prinsip tata kelola berkelanjutan di bidang pembangunan dan bantuan kemanusiaan. Para peneliti dan pembuat kebijakan, serta kurator, seniman, dan desainer terus melestarikan pandangan dunia yang etis dan paternalistik yang telah mapan sejak pergantian abad ke-20, serta dinamika dan hubungan penjajahan yang dihasilkannya. Program pendidikan desain kontemporer, inovasi kreatif neoliberal, dan “desain untuk pembangunan” mengulangi beberapa “figurasi budaya imperial” ini,[51] di mana praktik desain seringkali dianggap tanpa kritis “tidak hanya nyata tetapi juga benar, dan tidak hanya benar tetapi juga baik”.[52]
Teks ini diterbitkan sebagai bagian dari seri Recall/Recalibrate. Teks ini diterbitkan di bawah lisensi CC BY-NC-ND, yang memungkinkan pengguna untuk menyalin dan mendistribusikan materi ini dalam media atau format apa pun, dalam bentuk yang belum diadaptasi, hanya untuk tujuan nonkomersial, dan hanya dengan syarat atribusi diberikan kepada pencipta. Informasi selengkapnya dapat ditemukan di www.recalibrate.nl
Catatan Akhir:
[1] De Indische Gids (1879–1941) adalah jurnal bulanan yang berfokus pada politik dan budaya jajahan di Indonesia jajahan Belanda..
[2] G. P. Rouffaer, ‘De noodzakelijkheid van een technisch-artistiek onderzoek in Ned.Indië’, dalam: De Indische Gids Vol. 23, October 1901, hlm. 1209–1210. Diakses melalui: https://kitlv-docs.library.leiden.edu/open/Metamorfoze/Indische%20gids/MMKITLV01_PDF_TS5949_1901_2.pdf Saya menemukan artikel ini berkat bab ‘Oktober 1901. Gerret Rouffaer constateert een artistieke ereschuld. Vernieuwing van de beeldende kunsten in een koloniale context’ oleh Berteke Waaldijk dan Susan Legêne dalam: Buikema & Meijer (ed.), Cultuur en migratie in Nederland. Kunsten in beweging 1900–1980, 2003. Diakses melalui: https://www.dbnl.org/tekst/meij017cult01_01/meij017cult01_01_0003.php
[3] ‘Rouffaer, Gerret Pieter (1860–1928)’, Huygens Instituut. Diakses melalui: https://resources.huygens.knaw.nl/bwn1880-2000/lemmata/bwn1/rouffaer. Lihat: G. P. Rouffaer & H. H. Juynbol, De batik-kunst in Nederlandsch-Indië en haar geschiedenis, 1914. Sungai Tariku di Papua diganti namanya menjadi Rouffaer.
[4] Het Bataviaasch Genootschap der Kunsten en Wetenschappen (Masyarakat Seni dan Ilmu Pengetahuan Batavia) adalah sebuah perkumpulan akademis kolonial yang berpusat di Batavia (sekarang Jakarta) yang mempelajari seni dan ilmu pengetahuan di ‘Hindia’, didirikan pada 1778.
[5] G. P. Rouffaer, hlm. 1210. Benedict Anderson menjelaskan bagaimana, dalam konteks diskusi tentang investasi dalam pendidikan, “dorongan arkeologi” dapat dianggap sebagai cara untuk membiarkan “penduduk pribumi tetap menjadi penduduk pribumi”, serta strategi bagi negara untuk mengambil peran sebagai penjaga “prestise kuno”, menggantikan “pembicaraan brutal secara terbuka tentang hak penaklukan” dengan pembenaran alternatif. B. Anderson, Imagined Communities, Verso, (1983) 2006, hlm. 118. Sejarawan Belanda Marieke Bloembergen membingkai “dorongan arkeologis” ini dalam konteks “nasionalisme arkeologis” abad ke-19: pencarian asal-usul dan keantikan ‘peradaban’ sendiri. Lihat: Marieke Bloembergen, Koloniale vertoningen: de verbeelding van Nederlands-Indië op de wereldtentoonstellingen (1880–1931), 2001, Disertasi PhD Universitas Amsterdam, hal. 197.
[6] Rouffaer p. 1187. Rouffaer hlm. 1187.
[7] Rouffaer mengacu pada Victor de Stuers, ‘Holland op zijn smalst’, dalam: De Gids, 4 December 1872.
[8] Rouffaer, hlm. 1191 (penekanan dari saya sendiri).
[9] Rouffaer, hlm. 1210.
[10] Rouffaer, hlm. 1210.
[11] Rouffaer, hlm. 1207.
[12] Tania Murray Li, The Will to Improve: Governmentality, Development, and the Practice of Politics, Durham & London: Duke University Press, 2007.
[13] B. Waaldijk & S. Legêne, 2003.
[14] E. Locher-Scholten, Ethiek in fragmenten. Vijf studies over koloniaal denken en doen van Nederlanders in de Indonesische Archipel, 1877-1942, Hes & De Graaf Publishers, 1981. Istilah ini telah dicetuskan sejarawan Paul van ‘t Veer pada 1969 dalam studinya tentang Perang Aceh. Lihat: P. van ’t Veer, De Atjeh-Oorlog, Amsterdam: De Arbeiderspers, 1969.
[15] Rouffaer, hlm. 1210.
[16] Locher-Scholten, hlm. 176. Lihat juga Paul Bijl, Emerging Memory: Photographs of Colonial Atrocity in Dutch Cultural Remembrance, 2015, hlm. 85.
[17] Rouffaer, hlm. 1203. Lihat: H. van der Jagt, Engelen uit Europa: A. W. F. van Idenburg en de moraal van het Nederlands imperialisme, 2022, hlm. 94. Van der Jagt juga menyebut Ceram (Seram) (1905), Boni (1905), Sumba (1906–1907), Sumbawa (1908), dan Flores (1907–1911).
[18] Locher-Scholten, hlm. 213. Lihat juga: M. Kuitenbrouwer, ‘Het imperialisme-debat in de Nederlandse geschiedschrijving’, in: BMGN 113:1, (1998) hlm. 56–73, yang menulis secara ekstensif tentang diskusi historis mengenai ‘imperialisme Belanda modern’.
[19] Rouffaer, hlm. 1203.
[20] Rouffaer, hlm. 1203.
[21] Murray Li, hlm. 32.
[22] Dalam bab ini, Murray Li mengkaji perbaikan manusia (mendidik mereka menjadi ‘penduduk desa yang tertib’), lanskap (perlindungan hutan), dan produktivitas lahan. Murray Li, hlm. 61. Dalam bab-bab berikutnya, ia mengkaji warisan pasca-kemerdekaan dari praktik-praktik perbaikan ini.
[23] Murray Li, hlm. 67–68. Murray Li menulis bahwa, bagi rezim penjajahan, konversi ke agama Kristen merupakan cara melawan kebangkitan Islam. Setelah satu dasawarsa penelitian yang saksama misionaris Kruyt dan Adriana, keberhasilan konversi penduduk desa sangat terbatas. Pada 1905, Raja Luwu ditaklukkan dan merekomendasikan pendudukan militer kepada otoritas kolonial. Penduduk desa, yang sebelumnya tinggal di perbukitan, dipaksa keluar dari tanah leluhur mereka, yang kemudian memicu pengabaian kepercayaan dan praktik mereka.
[24] Murray Li, hlm. 7.
[25] Hoitink (2011) dalam: I. van Hout & S. Wijs, Indonesian Textiles at the Tropenmuseum, 2017, hlm. 16. F.W. van Eeden, ‘Versiering en Kunststijl in de Nijverheid’, dalam: Tijdschrift ter bevordering van Nijverheid, V:1864. F.W. Van Eeden, ‘XIII. Wie zijn de Barbaren?’ dalam: De Koloniën op de Internationale Tentoonstelling te Amsterdam in 1883, Haarlem: Erven Loosjes, 1884, hlm. 77–83.
[26] P.H. van der Kemp, ‘Resumé van gewestelijke rapporten over de kunstnijverheid in N.I’, Batavia: Ogilvia & Co., 1889. Diakses melalui: https://books.google.nl/books/about/Resum%C3%A9_van_gewestelijke_rapporten_over.html?id=G_MYmUFCk1sC&redir_esc=y.
[27] Rouffaer, hlm. 1199.
[28] Lihat: M. Simon Thomas, De leer van het ornament: versieren volgens voorschrift, Amsterdam: De Bataafse Leeuw, 1996, hlm. 160.
[29] Rouffaer, hlm. 1201.
[30] Rouffaer, hlm. 1203.
[31] Rouffaer, hlm. 1201.
[32] B. Anderson, (1983) 2006.
[33] Murray Li, hlm. 32.
[34] Bloembergen, hlm. 206.
[35] Rouffaer, hlm. 1189.
[36] Jenderal Van Heutsz telah merekrut pemimpin lokal Teuku Umar dan mendanainya untuk membangun pasukannya sendiri. Teuku Umar menyerang Belanda secara tiba-tiba pada 1896, yang kemudian dikenal sebagai “pengkhianatan Teuku Umar”. Istrinya, Cut Nyak Dhien, akan terus bekerja dengan pasukan gerilya setelah kematiannya. Van der Jagt, pp. 127–129.
[37] M. Shatanawi, Making and unmaking Indonesian Islam: Legacies of colonialism in museums, PhD dissertation University of Amsterdam, 2022, p. 196.
[38] Bloembergen, p. 205.
[39] Bloembergen, mengacu pada Serrurier 1883 dan 1887, hlm. 205. Di sini kita juga melihat bagaimana Belanda membandingkan wilayah jajahan mereka dengan wilayah jajahan Kerajaan Inggris.
[40] M. Bloembergen, hlm. 208.
[41] Beberapa sejarawan berpendapat bahwa perang Aceh berlangsung hingga 1913, atau bahkan hingga 1942. Lihat misalnya: S. de Winter, ‘Selling the Aceh War’, dalam: Militaire Spectator, 2019 . Diakses melalui: https://militairespectator.nl/artikelen/selling-aceh-war.
[42] Martine Tonnet (1907) dikutip oleh Jasper di Weefkunst, 1912.
[43] Jasper, Weefkunst, 1912, hlm. 5.
[44] J. E. Jasper, ‘Verslag van de eerste Tentoonstelling-jaarmarkt te Soerabaja’, Batavia: landsdrukkerij, 1906, hlm. 3. Diakses melalui: https://digitalcollections.universiteitleiden.nl/view/item/3680469?solr_nav%5Bid%5D=3cd7fab6c70968c0602b&solr_nav%5Bpage%5D=0&solr_nav%5Boffset%5D=3#page/3/mode/1up.
[45] Jasper
[46] J. E. Jasper, Verslag van de Vierde Jaarmarkttentoonstelling Soerabaja 1909, hlm. 5–7.
[47] Peneliti Itie van Hout & Sonja Wijs juga menyebut buku-buku tersebut sebagai karya baku bagi para peneliti. I. van Hout & S. Wijs, Indonesian Textiles at the Tropenmuseum, 2017, hlm. 51.
[48] G. Wekker, White Innocence: Paradoxes of Colonialism and Race, Duke University Press, 2016, hlm. 21.
[49] Idenburg (1901) dikutip oleh Van der Jagt, hlm. 95. “Bukanlah kekuasaan yang menjadi dasar hukum, melainkan panggilan moral dari masyarakat yang lebih maju terhadap bangsa yang kurang berkembang”.
[50] Murray Li, hlm. 67–68.
[51] Wekker, White Innocence, hlm. 21.
[52] Madina Tlostanova mengutip Neil Curtis dalam: M. Tlostanova, ‘On decolonizing design’, Design Philosophy Papers, 15:1, hlm. 51–61.
Baca juga:


