Author Country Media Name , Year Topic , , Translator

Suatu sore bersama Raja dan Ratu Belanda – Frieda Amran

Suatu sore bersama Raja dan Ratu Belanda

Facebook, 22 Februari 2020, Oleh: Frieda Amran

Jelang tidur, kira-kira sebulan lalu, sebelum menutup laptop, kubuka email. Siapa tau ada yang menarik atau penting. Ada beberapa email baru, termasuk di antaranya dari Cees de Graaff, direktur Dutch Culture (network and knowledge organisation for international cultural cooperation). Lembaga ini berada di bawah naungan Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Belanda. Aku sudah beberapa kali hadir dalam seminar atau simposium yang diadakan oleh Dutch Culture itu. Akan ada seminar barukah?

Subjek emailnya; “Persoonlijke uitnodiging voor het seminar ‘Indonesia and the Netherlands: a joint future”–undangan pribadi untuk seminar. Ngapain seminar kok pake undangan pribadi segala?? Ternyata, baik di surat maupun di undangan resmi yang terlampir, diungkapkan bahwa aku diundang hadir di seminar di Amsterdam yang akan dihadiri oleh Raja dan Ratu Belanda. Seminar kecil itu diorganisir oleh Dutch Culture untuk mempersiapkan pasangan Raja dan Ratu Belanda yang akan ke Indonesia Maret mendatang.

😲 Hah? Ga salah nih?? Kupikir, aku salah baca atau, mungkin karena sudah jelang tengah malam dan aku sudah mengantuk, aku salah mengerti. Kubacakan undangan itu untuk Misoa dan si Bungsu.

“Wow, Mam!” kata si Bungsu
“Serius?” tanya Misoa
“Maksudnya, aku diundang ke seminar untuk Raja dan Ratu??” tanyaku dungu.
“Sepertinya begitu,” kata Misoa tertawa.
“Aku musti RSVP,” kataku. “Besok aja deh. Cek dulu, bener atau ngga. Ngapain aku diundang? Barangkali hoax nih …”

Ternyata, bukan hoax. Aku memang betul-betul diundang untuk hadir di seminar tertutup yang diadakan untuk mempersiapkan pasangan Raja dan Ratu Belanda yang akan ke Indonesia. Aneh. Tapi nyata.

Tentu saja, aku datang. Terlalu cepat. Misoa menurunkan aku di Rokin, salah satu jalan utama di pusat kota Amsterdam. Seminar itu diadakan di gedung pertemuan di ujung daerah lampu merah. Daerah mesum, tapi mahal. Setelah dua jam di jalan, aku sebetulnya kebelet. Aku berjalan cepat ke Nes 45, tempat pertemuan itu.

Terbayang film aksi Amerika. Presiden AS atau kepala negara lain akan datang ke suatu tempat. CIA atau FBI atau entah apa nama badan intelijen dan keamanan negeri jiran itu sudah bersiap-siap. Di segala sudut gedung-gedung tinggi, penembak-penembak jitu sudah siap membidikkan senapannya kepada penjahat–kalau ada yang hendak membuat huru-hara. Di jalan, ada pasangan ‘suami-isteri’ yang tak henti melihat sekitarannya sambil mendorong kereta bayi yang isinya boneka dengan pistol-pistol yang disembunyikan di bawah boneka itu. Mereka pun siap menyerang dan menangkap penjahat, kalau ada penjahat. Di Indonesia, setiap penjual bakso, pisang goreng dan tukang sampah berbisik-bisik ke dalam mikrofon tersembunyi untuk melaporkan bahwa keadaan di sekitar gedung pertemuan aman-aman saja. ‘Tak ada penjahat di sini! Over!’

Di Amsterdam, tak kulihat semua itu. Jalan Nes sepi-sepi saja. Hanya ada aku dan seorang perempuan yang berjalan tergesa-gesa dengan kepala yang tertunduk, terbenam di dalam jas dan syaalnya. Biasa aja deeeh .. aku pun demikian karena walau matahari bersinar cerah, angin musim dingin bertiup dan menusuk-nusuk sampai ke sumsum.

“Anda datang terlalu cepat!” kata si perempuan cantik di dalam gedung. Ada sekitar 7 orang polisi bertubuh tegap dan besar dan beberapa orang panitia yang sepertinya santai-santai saja. “Anda belum boleh masuk ke sini. Lebih baik ke WC di kafe sebelah saja.”

Terpaksalah ke kafe sebelah. Pk 15.10. Aku minum kopi bersama geng yang kukenal dari KITLV: kakak beradik Henk dan Nico, Ireen dan Taufik sambil menunggu pintu dibuka pk 15.30.

“Nanti kau harus tutup mulut, Frieda,” kata Nico. “Publik tidak boleh bertanya.”

“Lho …??”

“Cuman boleh datang, duduk, diam, dengarkan …” kata Henk.

“Aneh juga,” kataku yang tersiksa betul kalau dilarang membuka mulut. “Untuk apa kita disuruh datang?”

“Untuk ‘zaalvulling’,” kata Nico. Untuk memenuhi ruangan; mengisi kursi-kursi kosong.

Aku terdiam. Tanda tanya mulai ribut muncul di kepalaku. Kenapa ada seminar tapi tak boleh bertanya? Tak juga boleh komentar, menambahkan atau membantah apa yang dikatakan pembicara. Aneh betul. Tapi okelah, aku memang tak merasa dapat memberikan bekal apa-apa untuk pasangan Raja dan Ratu yang jendak berkunjung ke negeriku. Lagipula, apa yang bisa disampaikan kepada mereka dalam waktu dua jam sehingga mereka menjadi lebih … (entah lebih apa) ketika sedang berkunjung.

Pk.15.30, pintu dibuka dan undangan antri untuk masuk. Di pintu lain, wartawan-wartawan dengan kamera berlensa besar-besar antri juga. Kulihat beberapa orang teman, Indonesia maupun Belanda sedang antri bersamaku: peneliti, dosen, guru besar, penulis, seniman (penyair, perupa, teater ), kira-kira 5-7 orang dari KBRI (termasuk pak Dubes, pak Wakil Dubes dan beberapa stafnya), beberapa orang teman dan sobatku: Ratna, Lea. Tossi, Nur, Hasti.

Pk 15.50. Pintu ke ruang pertemuan dibuka. Ruangannya seperti teater dengan balkon di sayap kiri-kanan dan kursi-kursi yang disusun dari bawah ke atas. Secarik kertas kecil terdapat di kursi-kursi paling depan: Reserved. Untuk orang-orang penting di antara kita. Aku duduk di baris kelima, kursi tanpa kertas ‘reserved’. Di sebelah kananku, duduk direktur Museum Bronbeek. Di sebelah kiriku, seorang manajer di perusahaan rempah-rempah. Kurasa memang ruangan itu berisi sekitar 200 orang dari dunia bisnis, kebudayaan dan pendidikan.

Pk 16.00. Raja Willem-Alexander dan Ratu Maxima memasuki ruangan. Semua orang berdiri. Kupikir akan ada pemutaran lagu Wilhelmus dan orang-orang Belanda di sekitarku akan menyanyikan lagu kebangsaan mereka dengan khidmat. Nyatanya, tidak. Raja dan Ratu mengangguk ke khalayak, lalu duduk.

Acara dibuka dengan pidato dari Duta Besar RI, Pak Puja. Aku suka sekali dengan gaya pak Dubes yang bijak dan humoristis ini. Pidatonya pendek saja. Satu kalimatnya kucatat: “Somebody said: God crated the world, but the Dutch created the Netherlands.” Publik tertawa. Dan, kupikir, pandai betul pak Dubes memberikan pujian kepada orang Belanda yang sangat membanggakan kepiawaian teknologi mereka dalam mengeringkan laut untuk membuat tanah-airnya! Bayangkan! Tuhan menciptakan laut dan sedikit tanah lempung untuk orang Belanda. Tak cukuplah tanah itu untuk semua manusia dan binatangnya. Lalu, mereka memompa air itu, mengeringkan laut sehingga lebih banyak tanah yang diperoleh. (Tetapi, tentunya, kepiawaian dan kehebatan teknologi itu didapat setelah mereka mendapatkan modal dari rempah-rempah dan sumber daya alam nusantara yang diperdagangkan di mancanegara. Tentu juga, Pak Dubes tidak mengatakan hal ini).

Topik pertama adalah ‘From Past to the Future’ dengan pembicara Grace Leksana (kandidat PhD di Univ Leiden). Ada satu kalimat yang kucatat dari Grace. Kira-kira begini: “A shared future is not based on commonalities, but on differences”. Kebersamaan tidaklah didasarkan atas kesamaan, tetapi justeru atas dasar perbedaan. Kesetaraan dalam berbeda dan dalam perbedaan harus menjadi landasan untuk maju dan mencapai ‘Indonesia and the Netherlands: A Joint Future’ (sesuai judul seminar itu).

Dua orang lagi menarik perhatianku, yaitu presentasi dalam bentuk tanya-jawab yang disampaikan oleh Vivian Maretina (yang kuliah di Delft Univ) dan Stella Juventia (alumna dan peneliti di Wageningen Univ). Dalam profesi masing-masing, keduanya menunjukkan bahwa kerjasama Indonesia-Belanda memang betul dapat menghasilkan sesuatu yang teramat baik. Terciptalah ‘joint future’ yang dicita-citakan itu.

Jujur, setelah mendengar uraian Grace, Vivian dan Stella, aku bangga betul. Indonesia memerlukan generasi muda seperti mereka: pintar, percaya diri, bersahaja, dan bersemangat membangun negara dan bangsa.

Tetapi, ada rasa aneh di dadaku. Aku tidak puas. Ketidakpuasan itu semakin menjadi-jadi mendengar uraian Viktorien van Hulst (direktur Theatre Festival Boulevard di Den Bosch). Katanya: tahun 2020 adalah tahun yang penting karena menggarisbawahi adanya pemilikan sejarah yang sama–shared history. Tahun 2020, persis 15 Agustus, Belanda akan merayakan 75 tahun pembebasan dari penindasan oleh Jerman (di tanah sendiri) dan pembebasan dari penindasan Jepang. Ia tak menyebutkan bahwa penindasanJepang terhadap orang Belanda terjadi di nusantara. Ia tak menyebutkan bahwa sementara ‘rakyat’ Belanda di nusantara lepas dari penindasan Jepang, rakyat ‘pribumi’ di nusantara digempur karena memproklamasikan kemerdekaan. Ia tak menyebut bahwa tahun 2020 juga teramat penting bagi Indonesia karena pada tanggal 17 Agustus 2020, Indonesia merayakan 75 tahun kemerdekaan. Ia tak menyebutkan itu. Sepatah kata pun tidak.

Tentu saja, ia tidak menyebutkan hal itu. Bahkan mungkin ia sama sekali tidak tahu, tidak ingat dan tidak peduli betapa pentingnya 17 Agustus 1945 dan 17 Agustus 2020 bagi Indonesia. Ia orang Belanda. Secara resmi, negara dan kerajaan Belanda tidak mengakui kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Kemerdekaan Indonesia baru diakui oleh Ratu Juliana, nenek Raja Willem-Alexander, pada tahun 1949.

Aku pulang ke rumah dengan rasa kecewa. Dalam kesempatan bertemu dengan Raja dan Ratu Belanda, tak seorang pun (kecuali Gert Oostindie) mengingatkan pasangan yang mulia itu bahwa INDONESIA MERDEKA PADA TANGGAL 17 AGUSTUS 1945!

Tak juga, aku! Kekecewaanku yang paling besar adalah pada diriku sendiri. Mengapa aku tidak menggunakan kesempatan pertemuan sore itu untuk mencolek, menyikut, atau menarik perhatian mereka dengan cara apa pun agar dapat mengatakan: “Hai Raja! Hai Ratu! Sudah waktunya Anda berlaku jantan dan bijak. Akuilah. Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus tahun 1945.”

Bagaimana mungkin ada kesetaraan, seperti yang diungkapkan oleh Grace, bila tak ada pengakuan hakikat kebangsaan, yaitu kemerdekaan Indonesia?