Setelah Semua Mengakui Bahwa Tindakan di Seberang Laut Adalah Sebuah Kesalahan
De Volkskrant, 29 Juli 2015, ditulis oleh: Tineke Bennema, penulis buku “Inspektur Polisi Belanda di Hindia Belanda Tidak Pernah Berasimilasi.”
Sejarah kolonial adalah lembaran-lembaran sejarah hitam dari masa lalu kita di tanah Hindia Belanda yang sudah seharusnya mendapat tempat menjadi sebuah memori bersama.
Saya adalah anak kamp perang dan juga merupakan seorang cucu dari era kolonial, ayah saya selamat dari kamp Jepang dan juga selamat dari masa Bersiap, masa kebrutalan pemuda-pemuda Indonesia. Kakek saya adalah seorang Inspektur Polisi di Hindia Belanda meninggal di kamp tawanan. Kepada siapa saya harus setia? Tentu saja kepada ayah saya yang mendekam selama 3,5 tahun dalam kamp tawanan Jepang.
Namun bagaimana saya bisa berempati kepada kakek saya yang pada masa itu merupakan bagian dari sebuah rezim yang mengeksploitasi manusia bangsa lain dan merampas sumber dayanya? Saya tidak mendapatkan jawaban dari pertanyaan ini pada pelajaran sejarah, terutama sejarah era kolonial, karena disana masih belum tercipta sebuah pandangan yang sama.
Oleh karena itulah saya melakukan riset pribadi mengenai peranan dan pemikiran kakek saya maupun keluarganya di Hindia Belanda. Sebuah “petisi sejarah” sebagai sebuah gambaran tentang negeri Hindia Belanda. Sebagai korban kamp perang, keluarga membawa kisah-kisah pedih pulang kembali ke Belanda. Kisah masa interniran, kelaparan dan pembunuhan oleh Jepang.
Perdana Menteri Belanda saat mengunjungi Makam Kehormatan Menteng Pulo © ANP
Pandangan Terowongan Tertutup
Sebagai survivor era bersiap,mereka memberi gambaran kepada kita tentang para pejuang kemerdekaan dengan kesaksian-kesaksian mereka tentang sebuah masa dimana para pemuda Indonesia menyerang wanita-wanita dan anak-anak Belanda yang lemah didalam kamp. Seiring dengan itu mereka menceritakan tentang aksi polisionil dari para veteran perang dengan dalih memulihkan keamanan namun semua membisu tentang aksi kejahatan perang. Dari sinilah mereka mulai menciptakan “terowongan tertutup” dari sebuah kisah sejarah turun temurun.
Sejak tahun 1800an pemerintah Belanda mengambil alih Hindia Belanda dari VOC, perusahaan multinasional yang sangat agresif, memiliki kekuatan angkatan darat sekaligus angkatan laut. Sebuah perusahaan yang selama dua abad didukung penuh oleh Belanda namun harus ambruk karena manajemen buruk dan kasus korupsi yang merajalela. Inilah bagaimana negara kita bermain dalam sebuah proyek ekonomi dimana mereka pikir hal ini adalah sesuatu yang luar biasa.
Pendatang seperti kakek saya bekerja sesuai kerangka yang sudah ditetapkan oleh pemerintah. Dia harus menjalankan tugasnya bersama 1.500 inspektur kulit putih lainnya dalam sebuah negara kepulauan berjumlah 60 juta jiwa. Korps kulit putih yang didukung 35.000 bawahan membentuk piramida putih ini.
Penelitian Sejarah Nasional Berskala Besar
Kakek saya merupakan anggota dari sebuah unit yang baru dibentuk, polisi lapangan yang bertugas mengidentifikasi gerakan-gerakan kebangkitan nasionalisme secepat mungkin dan menekan gerakan ini. Kakek saya memanfaatkan ketergantungan ekonomi dari para bawahannya orang Indonesia yang kondisinya sangat miskin. Mereka tinggal bersama keluarganya di barak-barak sedangkan kakek saya tinggal di sebuah villa.
Kakek saya berada pada sebuah posisi yang membuat saya kini merasa malu. Ada keinginan besar dari generasi ketiga untuk mengetahui lebih dalam sejarah masa lalu di Indonesia. Mereka didukung oleh jurnalis-jurnalis yang melacak veteran-veteran perang yang disiksa dan dihantui perasaan bersalah akibat kejahatan perang yang mereka lakukan pada masa aksi polisionil. Kini semakin banyak dari mereka yang membuat pengakuan.
Terhubung dengan hal ini, dibutuhkan sebuah penelitian sejarah nasional berskala besar. Termasuk Departemen Dokumentasi Perang / NIOD. Ini hendaknya berujung pada penambahan materi pada buku-buku pelajaran sejarah sekolah kita.
Ada juga serangan hukum terhadap aksi kejahatan perang di Indonesia. Komite Utang Kehormatan Belanda ( KUKB ) bersama dengan pengacaranya Liesbeth Zegveld telah memenangkan tiga kasus tuntutan kepada pemerintah Belanda dan menerima kompensasi untuk para keluarga korban penembakan massal tentara Belanda pada masa perang kemerdekaan.
Seluruh aksi dari kelompok ini akan semakin menunjukkan bahwa Indonesia akan selamanya menjadi luka terbuka hingga pemerintah Belanda menunjukkan tanggungjawabnya. Sebuah pengakuan sepenuh hati dari pemerintah kita atas tindakan tercela pada masa kolonialisme dan permohonan maaf yang tulus akan menjadi sebuah awal yang baik. Selanjutnya bisa dilakukan seperti di Afrika Selatan, sebuah investigasi / penelitian independen bersama tentang kejahatan perang.
Ketika saya ke Jakarta, mengunjungi makam kakek di Menteng Pulo bersama ayah, saya melihat barisan salib yang berjajar simetris dan tertata indah. Disini saya mendadak bisa memahami bahwa orang-orang ini hanya menjalankan tugasnya. Tugas yang dibebankan dan ditentukan negara kepada mereka. Oleh karena itu adalah hal yang sangat penting bagi veteran dan keluarganya, untuk Perdana Menteri dan Raja memberikan pernyataan bahwa yang dilakukan di seberang lautan pada masa itu adalah hal yang salah. Bahwa ratusan ribu prajurit yang dikirimkan hanyalah jiwa-jiwa yang setia pada negaranya. Hanya dengan cara semacam inilah saya akan mendapatkan kembali rasa hormat pada kakek saya.
Kini 70 tahun telah berlalu dari hari kemerdekaan Indonesia, mari kita tentukan jalan.
Tineke Bennema, penulis artikel
[terjemahan dalam bahasa Indonesia oleh Ady Setyawan, Roode Brug Soerabaia]