Pertunjukan Rasisme Kolonial di Rijkmuseum Amsterdam
Rijksmuseum di Amsterdam baru-baru ini digugat oleh warga Indonesia karena menggunakan istilah rasis “bersiap” dalam pameran nya. Para aktivis HAM Indonesia telah telah berhasil mengalihkan debat tentang sejarah dan kejahatan kolonial Belanda di berbagai kasus di pengadilan. Ide-ide penjajahan juga kembali diperkarakan di pengadilan meskipun pada Kamis 5 Januari lalu Pengadilan Banding di Amsterdam menyatakan bahwa “istilah bersiap tidak serta-merta bermakna negatif bagi warga Indonesia”, ujar cendekiawan Marjolein van Pagee.
JusticeInfo.net, 10 Januari 2023, Oleh: Marjolein van Pagee
Pada 13 Oktober 2022, seorang pria Indonesia bersetelan jas emas dengan peci hitam, berdiri di depan Pengadilan Banding Amsterdam. Terdapat kotak kulit hitam di depannya bertuliskan: ‘Piet hitam rasis.’ (merujuk pada pembantu Santo Nikolas yang berkulit hitam di cerita rakyat Belanda). Dia menatap tajam para hakim sambil berkata: ‘Saya senang dapat berdiri di sini, di depan para hakim pribumi kulit putih”. Tiada yang tahu apakah mereka memang benar-benar pribumi Belanda, tapi bukan itu intinya. Dengan memanggil para hakim sebagai inlander, di depan institusi yang didominasi kulit putih, dia menyindir mereka tentang perlakuan para penjajah di Indonesia selama masa kolonial. Bagi orang Indonesia, kata ‘inlander’ adalah sebuah hinaan – mirip dengan kata “n” bagi keturunan Afrika. Ia jelaskan bahwa selama 350 tahun penjajahan Belanda, orang Indonesia tidak pernah diberi hak legal seperti yang ia dapatkan sekarang.
Lelaki itu bernama Jeffry Pondaag, pendiri dan ketua Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB). Ini bukan pertama kalinya ia memanfaatkan hak yang sebelumnya tidak dimiliki nenek moyangnya. Organisasi Jeffry dikenal karena telah memenangkan berbagai kasus pengadilan melawan Belanda terkait pembantaian tahun 1947 di Rawagede, Jawa Barat. Setelah memenangkan gugatan pertama di tahun 2011, KUKB terus membawa lebih banyak kasus ke pengadilan Belanda.
Selama bertahun-tahun, Pondaag memperjuangkan hak-hak sesama warga Indonesia yang dibunuh secara kejam, disiksa atau diperkosa oleh tentara (kolonial) Belanda selama perang mempertahankan kemerdekaan dari tahun 1945 hingga 1949. Usahanya tidak luput dari sorotan.
Fakta-fakta mengerikan yang terungkap dari kasus-kasus tersebut juga membuat khawatir para sejarawan dan jurnalis yang menduga bahwa ini hanyalah ‘puncak gunung es’. Jelas bahwa kasus pengadilan KUKB membuka kotak Pandora dan mengembalikan topik sensitif kejahatan perang Belanda terhadap Indonesia menjadi agenda utama. Namun, alih-alih perannya diakui, Pondaag kerap diabaikan dan dikesampingkan dari berbagai diskusi di Belanda karena dianggap terlalu radikal.
MAKNA BERSIAP
Dalam kasus pengadilan di bulan Oktober, Belanda bukanlah pihak yang tertuduh, melainkan Rijksmuseum Amsterdam. Pada Januari 2022, KUKB telah melaporkan Rijksmuseum, Kurator Harm Stevens dan Direktur Taco Dibbits ke polisi. Kejahatan mereka? Masih maraknya penggunaan istilah ‘bersiap’ dalam pameran Revolusi Kemerdekaan Indonesia (11 Februari – 5 Juni 2022), yang merujuk ke perang kemerdekaan.
Tidak hanya Rijksmuseum, para sejarawan Belanda umumnya menggunakan kata ‘bersiap’ untuk menunjukkan luapan kekerasan anti-kolonial yang terjadi pada fase awal revolusi tahun 1945-46. Dalam konteks Belanda, makna ‘bersiap’ adalah kekejaman yang dilakukan oleh orang Indonesia melawan Belanda, campuran Indo-Belanda, dan mereka yang bekerja sama dengan Belanda.
Namun, menurut KUKB, keseluruhan konsep bersiap adalah istilah buatan kolonial Belanda yang hanya ada dalam buku-buku sejarah Belanda. Mereka bersikukuh bahwa Bersiap sebagai suatu periode sejarah – yang sering digambarkan sebagai peristiwa terpisah sebagai kekerasan sepihak anti-penjajahan Indonesia terhadap Belanda – adalah tidak ada. Pada bulan-bulan yang sama ketika Belanda mengklaim bahwa terdapat masa Bersiap, pasukan Belanda dan Sekutu juga melakukan tindakan kekerasan. Istilah itu juga mendukung penyangkalan para penjajah yang tidak ingin dipersepsi sebagai agresor dan perampas tanah orang lain. Interpretasi Belanda atas bersiap malah menciptakan kesan konflik yang biasa, di mana dua negara yang bersaing dan terdapat eskalasi kekerasan sama-sama dapat disalahkan. Jadi, Bersiap mewakili agenda kolonial tentang konstruksi persepsi ‘kedua belah pihak’.
Menyoroti kekerasan anti-kolonial dalam konteks Belanda juga berkaitan dengan pandangan para orientalis yang rasis bahwa orang Indonesia pada umumnya baik hati dan penurut, namun secara tiba-tiba (paling tidak menurut penjajah) dapat menjadi kejam. Contohnya pada publikasi tahun 1989 oleh sejarawan Belanda Lou de Jong, di mana ia menjelaskan bersiap sebagai “ciri orang jawa” yang digambarkan dapat “meledak-ledak” secara tiba-tiba. Tidak lama, sebuah berita opini di NRC juga merilis artikel berjudul “Saya perlu memahami bagaimana perilaku pejuang Indonesia yang haus darah”. Seolah-olah yang dilakukan para pejuang adalah sebuah kekejaman, bukan perlawanan terhadap agresi militer penjajah Belanda setelah kemerdekaan.
Awalnya Kejaksaan Belanda menolak laporan polisi KUKB, dengan alasan bahwa bersiap juga dapat dijelaskan dengan cara lain dan dianggap secara umum tidak menyinggung warga Indonesia. Mereka menganggapnya sebagai masalah non-hukum yang harus diselesaikan melalui debat terbuka di masyarakat. KUKB akhirnya mengajukan komplain. Melalui prosedur hukum khusus, Pengadilan Banding Amsterdam dipaksa memeriksa kasus tersebut dan melakukan sidang pengadilan untuk jajak dengar dari semua pihak yang terlibat. KUKB menyatakan bahwa Rijksmuseum telah menghina orang Indonesia sebagai sebuah kelompok.
KURANGNYA REPRESENTASI INDONESIA
Dalam persidangan, Pondaag didampingi oleh warga Indonesia lainnya, Dida Pattipilohy, yang saat itu menjabat sebagai sekretaris organisasi. Kemunculan dua orang Indonesia tersebut di depan pengadilan Belanda bisa dibilang cukup luar biasa. Orang Indonesia hampir tidak terwakili di Belanda, di mana jumlahnya sangat kecil sebagai minoritas. Sebaliknya, mereka yang dikenal sebagai Indische Nederlanders (orang Hindia Belanda) lebih banyak terwakili. Orang Hindia Belanda adalah keturunan campuran Indo-Eropa yang nenek moyangnya, selama masa kolonial, secara hukum berasimilasi dengan orang Eropa. Keistimewaan status hukum mereka yang menyamai kewarganegaraan Belanda menjadi alasan mereka meninggalkan Indonesia setelah kemerdekaan di tahun 1945.
Kelompok minoritas besar lainnya yang hadir dalam masyarakat Belanda adalah orang-orang yang mengidentifikasi diri sebagai orang Maluku. Mereka berasal dari provinsi Maluku di Indonesia Timur. Pada masa kolonial, ayah atau kakek mereka bekerja sama dengan Belanda dengan cara bergabung sebagai tentara kolonial. Mereka justru membantu melakukan kejahatan dalam perkara yang diajukan KUKB ke pengadilan.
Akibat dominasi kelompok pro-kolonial, suara-suara kaum yang pernah tertindas, seperti warga-warga Indonesia yang diwakili oleh KUKB, seringkali tidak diperhitungkan dalam debat publik di Belanda. Sikap Rijksmuseum dan proses penanganan dari kasus ini menggambarkan hal tersebut dengan gamblang.
Salah satu poin yang penting dicatat adalah ketika Kurator Stevens, dan juga Direktur Dibbits, diberitahu sebelumnya tentang masalah dari konsep bersiap Belanda. Pada Juni 2021, setelah Pondaag mengkritik pameran Rijksmuseum lainnya, Stevens mengundangnya, Pattipilohy, dan ibunya yang berusia 96 tahun untuk berdialog. Rencana penyelenggaraan pameran ‘Revolusi’ dibahas secara mendalam di pertemuan ini. Berkali-kali mereka menekankan bahwa gagasan Bersiap sebagai periode terpisah tidak diakui oleh orang-orang Indonesia, karena 350 tahun penjajahan Belanda telah terjadi sebelum tahun 1945, yang diikuti oleh pendudukan kembali yang kejam oleh penjajah yang berlangsung hingga tahun 1949.
Nyatanya, KUKB baru melapor ke polisi setelah sebuah artikel opini ditulis oleh seorang kurator tamu Indonesia menimbulkan kehebohan. Pada 11 Januari 2022, sebulan sebelum pembukaan pameran, Bonnie Triyana menulis sebuah opini di harian Belanda NRC yang menyatakan bahwa Rijksmuseum tidak akan menggunakan istilah ‘bersiap’ lagi karena berkonotasi rasis. Bonnie tampaknya tak sekadar mengutarakan pendapat pribadinya. Keesokan harinya, dalam konferensi pers daring, kurator Harm Stevens juga menyatakan hal yang sama ketika ia ditanyai tentang keputusan untuk menghindari istilah bersiap. Dia hanya meyakinkan bahwa mereka tetap memperhatikan topik kekerasan antikolonial.
Para pejabat museum menerima tulisan Bonnie sebelumnya dan tidak menghindarinya, hingga akhirnya situasi menjadi tidak terkendali dan pesan kemarahan terlontar dari orang-orang sayap kanan, menuduh mereka berpaham “woke-agenda”. Berbeda dengan Pondaag, Bonnie ( tinggal di Indonesia) sama sekali tidak terlihat radikal. Dia sepertinya bukan tipe yang dengan sengaja menyebabkan kontroversi ini. Dia mungkin sama terkejutnya dengan tanggapan masyarakat Belanda seperti halnya staf museum itu sendiri. Namun justru Bonnie lah yang telah ‘dibiarkan celaka’ oleh petugas museum hingga seolah-olah telah melakukan kesalahan. Setelah Federatie of Indische Nederlanders (FIN, Federasi Orang Hindia Belanda) melaporkan nya ke kepolisian Belanda, Rijksmuseum secara terbuka menjauhkan diri dari pernyataan Bonnie Triyana. Direktur Dibbits, yang mungkin terancam citranya, mengatakan bahwa itu hanya pendapat pribadi Bonnie. Dia kemudian menyangkal bahwa istilah itu rasis dan berjanji akan terus menggunakannya. Ia juga secara tegas menyatakan bahwa Rijksmuseum “tidak woke”. Semua itu berujung pada keputusan KUKB untuk melaporkan Rijksmuseum ke polisi.
KEPUTUSAN BERPIHAK
Sayangnya, Dibbits langsung mendengarkan orang-orang Hindia Belanda yang secara terbuka mempunyai gagasan pro penjajah, namun menghindar dari orang-orang Indonesia yang berpendapat tentang rasisme. Yang terakhir ini adalah kelanjutan dari hierarki rasisme masa kolonial di mana orang Hindia Belanda lebih dekat dengan penjajah daripada orang Indonesia yang dianggap ‘inlander’, pribumi, atau orang yang tidak perlu diperhitungkan.
Penolakan “kasus bersiap” di minggu lalu menunjukkan bahwa hal ini lebih besar dari sekedar masalah orang-orang Hindia Belanda dan ide-ide kolonial nya yang masih berlaku. Ini juga menunjukkan tentang sistem kekuasaan kulit putih yang tidak mau menerima fakta bahwa Pengadilan Banding Amsterdam, Rijksmuseum, Kejaksaan Belanda, dan juga sekutu-sekutunya tidak terbiasa menghadapi orang Indonesia yang berdaya dan berjuang menggunakan jalur hukum. Teks pendek putusan Pengadilan Banding Amsterdam hanya mengulang argumen sederhana yang digunakan Jaksa Penuntut Umum untuk membela Rijksmuseum. Tidak ada sepatah kata pun petikan di dalamnya yang bersumber dari argumen kuat KUKB selama persidangan. Pondaag menjawab: “Belanda memuji dirinya sendiri sebagai negara konstitusional yang demokratis, tetapi yang saya lihat adalah pribumi kulit putih yang saling bersekongkol untuk mengabaikan perkataan orang Indonesia.”
—