Komentar untuk Michiel Baas
Facebook, 1 December 2021, Teks: Marjolein van Pagee, Terjemahan: Batari Oja
Pada 29 Juni 2021, seorang akademisi Belanda bernama Michiel Baas mempublikasikan artikel terakhirnya pada halaman Facebook-nya. Pada tulisan tersebut dia mengulas 4 publikasi baru tentang kolonialisme Belanda yang mencakup dua peristiwa penting. Peristiwa pertama mengenai genosida di Banda yang dilakukan oleh Jan Pieterszoon Coen pada 1621, yang kedua yakni ‘pembantaian Ambon’ yang terkenal pada tahun 1623.
4 Judul buku yang diulas oleh Michiel adalah:
- ‘Amboina, 1623’ oleh Adam Clulows
- ‘Inventing the English Massacre’ oleh Alison Games
- ‘War, Trade and the State’ oleh Andrew Phillips dan J.C. Sharman
- ‘Outsourcing Empire’ oleh David Omrod dan Gijs Rommelse
Pembantaian tahun 1623 adalah tentang orang Belanda yang membunuh saingan sesama Eropa mereka, yakni orang-orang Inggris, yang dituduh berkonspirasi melawan mereka. Genosida terhadap orang-orang Banda, bagaimanapun, adalah tentang kekerasan brutal yang dilakukan Belanda kepada seluruh masyarakat di sana, sebagai usaha untuk membersihkan dan menghancurkan budaya dan bangsa yang telah mendiami pulau itu terlebih dulu dengan damai.
Michiel tidak menyebutkan perbedaan penting antara dua pembunuhan massal ini, dia mendenskripsikan keduanya sebagai dua persitiwa yang sebanding. Pada unggahannya di Facebook, tanggal 29 Juni, dia menulis:
“sekarang tidak kurang dari lima eksibisi yang berbeda memperhatikan masa lalu yang penuh kekerasan ini, ada baiknya merenungkan betapa terhubungnya seluruh sejarah tersebut dengan bagaimana hubungan Belanda dan Inggris pada periode itu.” Rupanya, dia menemukan bahwa hubungan para penjajah Eropa ini merupakan isu yang paling mendesak untuk didiskusikan. Dia menyajikannya sebagai sesuatu yang baru, seolah-olah tidak ada yang mempelajari bagaimana para penjajah itu juga saling berkelahi.
Selain itu, Michiel mengaku takut akan ‘penyederhadaan berlebihan’ terhadap sejarah kolonial, dia menghadirkan dirinya sebagai seorang advokat penulis sejarah yang ‘bernuansa’. Dia memuji-muji keempat buku ini karena telah memberikan detail yang banyak. Dia berujar bahwa kita tidak bisa membicarakan “sejarah yang sangat amat panjang dan kompleks” ini dalam istilah-istilah yang telah digeneralisir. Pernyataan semacam ini dianggap memiliki arti jika dilontarkan oleh seorang akademisi Belanda. Ini biasanya berarti bahwa orang yang bersangkutan menolak untuk menerapkan etika dalam interpretasinya tentang sejarah. Sebagaimana saya diajari sewaktu sekolah di Leiden, etika standarnya adalah seorang sejarawan harus ‘netral’ dan tidak boleh menghakimi apa yang benar dana pa yang salah. Namun, yang saya pelajari alasan dibalik penolakan lebel moralistic ini, seperti baik dan buruk, adalah ketakutan akan diskusi yang tidak nyaman tentang keterlibatan Belanda.
Saya menyadari mekanisme penghindaran ini karena inilah yang banyak akademisi Belanda tuduhkan kepada saya juga. Terutama setelah saya menulis buku saya ‘Banda, pembantaian oleh Jan Pieterzoon Coen’ (‘Banda, the genocide of Jan Pieterszoon Coen’) (2021), beberapa pembaca mengatakan bahwa pendekatan saya ‘bias’, tidak netral. Dengan demikian, agar dianggap serius sebagai seorang sejarawan, saya sebaiknya berhenti bicara tentang interpretasi moral atas fakta [yang terjadi]. Dengan kata lain: menghakimi apa yang benar dan apa yang salah, bukanlah pekerjaan saya sebagai seorang sejarawan.
Saya masih tidak setuju. Menjadi ‘netral’ adalah hal yang mustahil ketika membicarakan pelanggaran keji atas Hak Asasi Manusia. Ketika orang Belanda tidak secara tegas mengutuk tindak penjajahannya, dan malah menyebutnya ‘bernuansa’, mereka pura-pura tidak bisa mengatakan [penjajahan] itu buruk dan salah. Saya pikir perlu dan sangat jelas bisa diterima bagi akademisi Belanda untuk secara tegas menolak segala bentuk penjajahan.
Pada unggahan Facebooknya tanggal 29 Juni, Michiel menulis bahwa dia berharap “atensi terbaharukan terhadap penjajahan Belanda di masa lalu akan menuntun kepada pengetahuan yang lebih dalam dan ‘bernuansa’, yang akan menggeser perdebatan sekarang ke tingkat yang lebih tinggi.” Tapi bagi saya, yang Michiel inginkan bukan mengangkat debat ini ke tingkat yang lebih tinggi, opininya sangat umum dan konservatif. Dia ingin mempertahankan [perdebat] yang lama, istilah-istilah penjajahan yang meniadakan etika dari penulisan sejarah dan yang gagal mendeskripsikan penjajahan sebagaimana itu sebenar-benarnya: pendudukan asing atas tanah orang. Sesederhana itu.
Pada kesimpulan artikelnya, Michiel bahkan mengkritik karya akademisi perempuan berkulit hitam Belanda, Gloria Wekker. Dia mengatakan bahwa ketika Wekker berkata empat ratus tahun pendudukan imperialis, itu terlalu sederhana. Menurutnya, buku Wekker, White Innocence: “gagal menangkap kompleksitas atas usaha ini sendiri dan memberikan resiko atas kontribusi ide yang tidak akurat tentang ‘keperkasaan’ penjajah Belanda”.
Contoh ilustratif sikap konservatif pro-kolonial Michiel adalah bagaimana dia merespon Pak Jeffry Pondaag, seorang pria Indonesia yang tinggal di Belanda, ketua KUKB. Pak Jeffry mengunggah komentar di bawah pengumuman Facebook Michiel. Pak Jeffry menulis: “Negara Belanda beserta para pengikutnya yang disubsidi, para pengkhianat rasis, orang-orang Hindia dan KNIL Ambon dan NICA buatan Belanda, adalah SALAH, TITIK TIDAK ADA KOMA!” Michiel bahkan tidak merespon, dia langsung menghapus dan memblokir Jeffry begitu saja.
Saya juga mengunggah sebuah komentar yang dihapus oleh Michiel, namun dia belum memblokir saya, jadi saya mengunggah komentar saya lagi, yang berisi: “Sejarah yang kompleks?? Kenapa kita harus memperhatikan pertikaian terprediksi dan egois antar para penjajah Barat Eropa? Saya pikir ini hal yang telah didiskusikan sepanjang waktu. Apalagi, kita membicarakan tentang pendudukan dengan kekerasan atas tanah air bangsa lain, sesederhana itu, tidak ada yang kompleks dari situ, jika Anda mempropagandakan ‘pandangan bernuansa’ berarti Anda terlibat dalam pemutihan dosa [akan penjajahan itu].”
Michiel kemudian membalas: “Sebagaimana buku Anda, saya perhatikan sepertinya saya memang hanya bisa berreaksi negative, dimana ini mencegah saya dalam diskusi yang produktif. Secara khusus, pernyataan terakhir Anda tentang pemutihan dosa juga mengindikasikan bahwa Anda tidak membaca artikel tersebut dengan hati-hati. Mungkin karena Anda pikir tidak penting, karena pada akhirnya: Anda lah satu-satunya yang benar. Dalam buku Anda, Anda tidak segan-segan menghina semua orang yang terlibat dalam pertempuran melawan glorifikasi kolonial, rasisme, dan banyak lagi dalam citra tertentu tentang Coen. Saya bertanya-tanya apakah Anda pernah secara kritis menguji ras putih Anda itu dan hak istimewa yang Anda miliki ketika menulis? Hal yang membuat saya terpesona dengan buku Anda adalah betapa murah dan opotunisnya Anda dalam menggunakan segala jenis sumber. Dalam seleksi itu, jelas Anda lah satu-satunya hakin yang mampu memutuskan perihal ini. seperti itu juga ciri reaksi Anda terhadap artikel saya. Tanpa substansi, tidak berdasarkan fakta, tetapi murni mengungkapkan perasaan marah dan ketidakpuasan yang sama sekali tidak berkontribusi apa pun pada perdebatan ini selain memanaskan api.”
Lalu, ada seorang lagi yang memberikan komentar di bawah pengumuman Facebook Michiel Baas itu. Lisa Alman Yapari menuliskan: “Sebagai seserang yang berasal dari bekas Hindia Belanda atau Indonesia, saya tidak merasa tercerahkan dengan riset ini. Siapa yang peduli Inggris dan Belanda saling perang? Saya tidak. Saya merasa terhina oleh perspektif Eropasentris kulit putih yang norak ini.”
Sementara itu, saya membagikan unggahannya pada dinding Facebook saya dimana saya menulis: “Si Pengecut ini [Michiel Baas] menulis sebuah tulisan tentang 4 buku kolonial dan ketika Jeffry Pondaag memberi komentar, dia langsung memblokirnya. Dia tidak (belum) memblokir saya, tapi dia menghapus komentar saya. Betapa beraninya Anda.”
Cukup lama setelah itu, Michiel pun mulai membalas pada unggahan saya, dia berkata: “Senang membaca semua diskusi yang meledak tentang artikel saya di sini. Seperti biasa bukan tentang isinya tetapi tentang semua jenis perasaan dan dengan dugaan-dugaan seperti biasa. Alasan saya menghapus komentar Pondaag adalah karena menurut saya [komentarnya] tidak jelas dan tidak koheren dan setelah diverifikasi ternyata itu adalah copy-paste yang terus-menerus dia unggah di semua unggahan. Tapi Marjolein, usaha kedua Anda berhasil. Saya menanggapinya. Berani sekali Anda memanggil saya di sini sebagai pengecut, apalagi mengingat kita tidak pernah bertemu, Anda tidak tahu apa-apa tentang saya, dan jelas-jelas belum membaca artikel saya. Tapi kalau melihat buku Anda, saya seharusnya tidak berharap lebih.”
Balasan saya kepada Michiel: “Saya telah membaca artikel Anda dan komentar Pak Jeffry yang memang khusus [untuk Anda], yang Anda hapus itu juga berdasarkan isi artikelnya. Unggahan saya di sini terutama tentang tindakan berani Anda untuk memblokir Pak Jeffry Pondaag. Saya rasa itu sangat pengecut, ya, saya tidak akan menarik kata itu.”
Kemudian Lisa memberikan komentar lain pada unggahan saya: “Artikelnya diunggah di sebuah grup Indonesia tapi saya langsung merasa aneh ketika membacanya. Semuanya cuma tentang Inggris begini dan Belanda begitu, memusatkan perspektif Eropasentris kulit putih. Hari gini dan era ini Anda tidak bisa lagi sebut itu ‘bernuansa’, apalagi ‘mengangkat [diskusi ini] ke tingkat yang lebih tinggi’. Dibaca saja absurd. Bagi bangsa yang terjajah tidak ada bedanya apakah mereka ditekan oleh Inggris atau Belanda. Bahkan, seolah-olah Baas ingin menyerahkan hutang darah Belanda itu ke Inggris. Lelucon yang konyol sekali!”
Saya membalasnya: “terima kasih atas komentarnya Lisa, saya juga merasa seperti itu! Pandangan supra-Eropasentris yang dipresentasikan sebagai suatu hal yang baru. Bagaimanapun juga, agak aneh dia tidak menyebutkan buku saya, ketika ulasannya berfokus pada segala hal yang baru-baru ini terbit tentang Banda dan VOC. 😊”
Michiel: “tidak ada yang aneh dengan tidak mengikutsertakan publikasi buku Anda pada ulasan artikel saya. Artikel itu sudah ditulis ketika buku Anda terbit. Ngomong-ngomong, saya memesan buku itu dan membaca versi elektroniknya hampir sehari setelah diterbitkan.”
Saya: “hmm… sebelumnya Anda bilang, Anda tidak mendiskusikan buku saya karena Anda hanya bisa mengatakan hal negative tentang buku itu… apalagi, artikel Anda diterbitkan sekarang, bulan Juli, sedangkan buku saya sudah diterbitkan bulan April. Anda juga menyebutkan pameran yang dibuka setelah itu. Jadi, jangan tiba-tiba merubah cerita Anda. Anda pikir buku saya jelek dank arena itu Anda tidak menyebutkannya.”
—