Author Country Media Name Year Topic ,

Pengadilan Belanda Cuma Memberi Ganti Rugi Rp 15,25 Juta – Kompas

Saat Pengadilan Belanda Cuma Memberi Ganti Rugi Rp 15,25 Juta

Meskipun pelanggaran HAM di masa kolonial Belanda diakui dengan mengganti rugi sebesar Rp 15,25 juta untuk seorang korban pemenggalan tentara KNIL, penggantian tersebut dinilai tak sebanding dengan nyawa korban.

Kompas, 3 Oktober 2020, oleh: Dian Dewi Purnamasari

Tuntutan anak pejuang kemerdekaan Indonesia Andi Abubakar Lambogo terhadap Pemerintah Belanda atas pembunuhan yang dilakukan oleh Tentara Kerajaan Hindia Belanda atau KNIL pada 1947, dikabulkan oleh pengadilan sipil Den Haag, Rabu (30/9/2020). Upaya pengakuan atas pelanggaran hak asasi manusia pada masa kolonial Belanda itu pun diapresiasi. Namun, ganti rugi sebesar 874,80 euro atau ekuivalen dengan Rp 15,25 juta untuk korban pemenggalan tentara KNIL dinilai tak sebanding.

Ketua Komite Kehormatan Utang Belanda (KUKB) Jeffry Pondaag melalui rilis resmi di laman historibersama.com mengatakan, pengadilan sipil di Den Haag mengumumkan bahwa mereka menghukum Pemerintah Belanda atas pemenggalan pejuang kemerdekaan Indonesia Andi Abubakar Lambogo.

Andi Abubakar Lambogo

Andi Abubakar dibunuh oleh Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) pada 1947. Pengadilan juga meminta kepada Pemerintah Belanda untuk membayar 874,80 euro ganti rugi nonmateriil. Dalam gugatannya, anak Andi Abubakar Lambogo, Malik Abubakar, sebenarnya juga meminta ganti rugi senilai 30.000 euro untuk kerugian nonmateriil. Namun, Pemerintah Belanda menolak hal tersebut.

”Malik hanya menerima 874,80 euro untuk kerusakan materi atas pemenggalan ayahnya pada 1947. Ini diberikan dengan asumsi jika ayahnya tidak dibunuh, dia akan merawat Malik hingga usia 21 tahun,” kata Jeffry.

Pengadilan juga mengaku bahwa nilai ganti rugi yang diberikan itu sangat rendah. Jika dirupiahkan, nilainya hanya Rp 15,25 juta. Namun, pengadilan mengganggap itu adil karena disesuaikan dengan nilai mata pencarian sekitar 70 tahun lalu di Sulawesi Selatan. Para hakim berpendapat bahwa kebanyakan pria Indonesia bekerja sebagai petani pada 1947.

Penghasilan pada masa itu diperkirakan hanya 100 euro setahun. Skema itu juga telah digunakan oleh pengadilan sebelumnya untuk menentukan jumlah pasti kerugian. Jumlah ganti rugi terendah yang diberikan pengadilan sejauh ini adalah 123,48 euro untuk satu kerabat korban.

Skema Pengadilan Den Haag

Malik Abubakar pun sebenarnya juga meminta kepada Pemerintah Belanda untuk menyampaikan permintaan maaf secara umum kepada rakyat Indonesia.

Malik meminta agar Pemerintah Belanda bertanggung jawab atas tindakan yang dilakukan selama masa kolonial yang melanggar Konvensi Geneva. Dia juga meminta kepada Pemerintah Belanda untuk secara khusus meminta maaf atas pemenggalan ayahnya. Namun, putusan pengadilan itu ternyata tidak menyebutkan apa pun tentang permintaan maaf.

Penodaaan mayat

Andi Abubakar Lambogo adalah kapten Tentara Rakyat Indonesia yang memimpin kelompok perlawanan di dekat Enrekang, Sulawesi Selatan, pada 13 Maret 1947. Dia dan anak buahnya disergap oleh tentara kolonial. Setelah itu, Lambogo dipenggal. Saat itu, nama Komandan Daerah Belanda di Enrekang adalah Kapten Gerardus August Blume.

Putusan pengadilan, menurut Jeffry Pondaag, juga tidak menyebutkan pemenggalan tetapi malah penodaan mayat. Sebab, memang tidak ada sumber sejarah ataupun saksi yang melihat pemenggalan tersebut. Dua saksi mata yang bersidang melalui Skype pada 2019 hanya menyebutkan bahwa kepala Lambogo ditusuk pada bayonet dan dipajang di pasar lokal. Para pejuang kemerdekaan Indonesia yang ditangkap kemudian dipaksa mencium satu per satu kepala pemimpinnya yang dipenggal. Seluruh penduduk, pria, wanita, dan anak-anak harus menonton. Dua di antaranya menjadi saksi di persidangan tersebut adalah Nawa dan Bachtiar.

Melihat fakta persidangan itu, Jeffry, yang aktif mengadvokasi para korban pelanggaran HAM oleh Belanda itu, menganggap bahwa pengadilan sipil Belanda masih bersikap kolonial. Menurut dia, baik negara maupun pengadilan masih belum mengakui kemerdekaan dan kedaulatan Indonesia pada 1945. Pengadilan berpendapat bahwa orang Indonesia bukan warga negara Indonesia antara tahun 1945 dan 1949.

Sampai sekarang, ternyata Belanda masih berpendapat bahwa tanggal penyerahan kedaulatan, yaitu 27 Desember 1949 adalah tanggal Indonesia merdeka. Mereka tidak mau mengakui bahwa Indonesia telah memproklamirkan kemerdekaan sejak 17 Agustus 1945. Sejalan dengan negara, pengadilan akhirnya menolak pula ganti rugi kerusakan nonmaterial.

Malik Abubakar, 2016

”Akibatnya, kerabat yang masih hidup, seperti Malik, diperlakukan seolah-olah dia adalah orang Belanda ketika ayahnya dipenggal,” kata Jeffry.

Menurut Jeffry, hal itu sangat ironis jika dihubungkan dengan arus kas yang sangat besar masuk ke Belanda setelah 1949. Dalam artikel yang diterbitkan oleh De Groene Amsterdammer, arus kas yang masuk jumlahnya paling tidak 103 miliar euro. Artinya, kerugian yang ditanggung oleh negara Belanda saat ini adalah bagian dari warisan yang dicuri dengan memeras orang Indonesia setelah perang kemerdekaan.

Pengadilan pun dianggap terlalu meremehkan dan tidak memperhitungkan penghasilan nasib petani di Sulawesi Selatan yang jauh lebih sedikit karena eksploitasi Belanda selama berabad-abad. Pembunuhan orang seperti Lambogo terjadi karena besarnya kepentingan kolonial Belanda terhadap Indonesia.

”Pengadilan tidak memperhitungkan ratusan miliar euro yang diperoleh Belanda melalui pemerasan. Sekarang, mereka justru menyimpulkan bahwa ganti rugi yang kecil untuk pembunuhan ayah korban itu adil. Ini sangat kolonial,” kata Jeffry.

Penggantian sudah beberapa kali

Sejarawan Bonnie Triyana mengatakan, pembayaran ganti rugi terhadap korban kekerasan yang dilakukan oleh Pemerintah Belanda sudah terjadi beberapa kali. Salah satu yang dianggap sukses adalah ganti rugi terhadap korban pembantaian di Rawagede, Karawang, Jawa Barat, pada 2011.

Hal itu juga merupakan perjuangan panjang dari para korban. Sebab, hingga tahun 1980-an, Belanda masih belum mau mengakui kekerasan dan pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia. Saat itu diakui masih banyak veteran perang Belanda, yang berpendapat bahwa tentara Indonesia juga bersikap kejam terhadap orang Belanda. Oleh karena itu, negara ataupun pengadilan hingga tahun 1980, belum mau mengurusi kejahatan HAM dan pemulihan hak korban.

”Ini merupakan buah perjuangan panjang, baik dari korban, pendamping advokasi, seperti KUKB, maupun sejarawan. Sampai akhirnya tersibak bahwa kekerasan dan pelanggaran HAM dilakukan secara sistematis dan disponsori oleh negara Belanda,” kata Bonnie.

Meskipun belum memenuhi harapan korban dan masyarakat Indonesia, Bonnie mengatakan bahwa sudah terlihat upaya dari Pemerintah Belanda untuk bertanggung jawab atas kejahatan HAM yang dilakukan di Indonesia. Terutama pada masa agresi militer saat Indonesia sudah merdeka. Namun, sebenarnya Belanda belum mengakui bahwa Indonesia telah merdeka sejak tahun 1945. Belanda masih berkukuh bahwa kemerdekaan Indonesia adalah saat kedaulatan Indonesia diserahkan pada 1947.

Perjuangan pun masih panjang agar Belanda benar-benar mengakui kemerdekaan Indonesia sesuai proklamasi kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Jika Belanda mengakui hal tersebut implikasinya pun akan banyak secara hukum.

”Ini bukan soal uang ganti ruginya. Tapi, ini soal pengakuan bahwa mereka telah melakukan kejahatan HAM pada masa lalu dan itu harus dipertanggungjawabkan. Secara tidak langsung, ini juga mengubah narasi sejarah,” kata Bonnie.

Bagi Indonesia, tanggung jawab negara atas kejahatan HAM yang terjadi pada masa lalu ini seharusnya dapat menjadi contoh. Di Indonesia, kasus-kasus pelanggaran kebal hukum, sementara korban tidak mendapatkan keadilan. Bahkan, narasi sejarah pun masih kerap mendiskreditkan mereka.

”Indonesia juga harus belajar dari kasus ini. Kasus pelanggaran HAM yang sudah puluhan tahun terjadi, oleh bekas negara penjajah pun masih bisa diproses secara hukum. Jangan sampai kasus kekerasan yang dilakukan oleh negara tidak bisa diselesaikan secara hukum,” pungkas Bonnie.

Editor: SUHARTONO