Trauma Lintas Generasi Diaspora Jawa-Suriname
Karena hak istimewa itu tak pantas, kalian tak layak mendapat kehormatan memberi pencerahan tentang apapun yang penting dalam sejarah kami
Brikolase, 18 september 2019. Oleh: Christa Noella Soeters
Minggu depan saya dan Michael akan berangkat dari Belanda dengan pesawat untuk mengunjungi Jawa dan Sulawesi. Bagi kami, ini merupakan perjalanan pertama untuk kembali. Inilah perjalanan yang selalu terngiang selama ini dan karena itulah ini menjadi perjalanan pertama kami untuk kembali. Masih tak percaya, tetapi jika kesempatan datang, kami tak akan ragu. Sekaranglah waktunya. Harus dilakukan sekarang. Dan saya hanya bisa menangis. Orang-orang diaspora Jawa-Suriname, kami menanggung lebih banyak lapisan trauma dari penjajahan yang kami alami. Menanggung, karena inilah yang dirasakan orang Jawa Suriname, kami menanggungnya terus-menerus.
Sebagai orang (keturunan) Jawa Suriname, saya ‘beruntung’ masih mengenali di mana keluarga kami tinggal di Jawa. Di satu tempat di Jawa Tengah, di sebuah desa kecil. Dan saya merasakan pergolakan kuat dalam diri saya sekarang, melawan trauma yang diwariskan dari generasi ke generasi. Banyak orang (keturunan Jawa Suriname) tak lagi mencari akar silsilahnya, paling tidak sudah tak lagi serius menelusurinya. Mereka bisa berpergian ke seluruh dunia, tetapi tidak ke tanah leluhurnya.
Saya juga melihat banyak dari mereka mengadopsi budaya lain, tapi mereka tetap terpinggirkan oleh masyarakat kulit putih. Dihadapkan dengan asal usul mereka adalah hal yang masih sangat menyakitkan. Atau mereka mengidentifikasikan dirinya secara ekstrem dengan identitas kulit putih, menggosok bahunya dengan fasisme dan neo-Nazisme serta membiarkan diri diperalat oleh para rasis sebagai partisipan orang kulit berwarna untuk agenda rasis mereka. Tak peduli betapa hinanya. Ini juga bentuk tanggapan atas trauma yang dialami. Dan sekarang saya berhati-hati untuk menentangnya. Saya menyadari apa yang sedang terjadi dan itu menyakitkan.
Memikirkan para buyutku, mereka diberangkatkan naik kapal dari Jawa ke Suriname sebagai muslim[1]. Mereka berpamitan kepada keluarganya untuk kembali dalam waktu dekat. Mereka tak pernah benar-benar pamit. Ketika dibawa, mereka tak tahu akan ke mana dan tak tahu bahwa mereka tak akan pernah kembali. Mereka akhirnya dibawa ke Suriname. Di sana mereka bekerja di perkebunan Belanda, tapi tak bisa menghasilkan cukup uang untuk kembali ke Jawa. Serta, ternyata tak ada kapal untuk kembali ke Jawa karena hubungan pelik antara Belanda dan Hindia-Belanda. Keluarga saya di Jawa menunggu buyut saya dan anak-anaknya untuk kembali. Tetapi mereka tak pulang jua.
Dan kemudian ketika perjalanan hidup traumatik di negeri antah berantah (Suriname), ketika kamu tak diterima masyarakat, kamu kehilangan segalanya dan tak ada jalan kembali, kamu harus mengatasi takdirmu. Karena tak bisa pulang, buyutku mengalihkannya kepada anak-cucunya: apa yang mereka lakukan, kerja mereka bukanlah untuk kepentingan mereka lagi. Mereka berusaha yang terbaik untuk anak cucu dan komunitasnya supaya bisa menggantikannya untuk pulang.
Suriname menjadi tempat mereka berusaha yang terbaik untuk anak cucunya. Tetapi setelah tertipu dan kondisi berubah, mereka nyatanya mencurahkan hidupnya bekerja untuk menciptakan hidup yang lebih baik bagi orang lain: tuan-tuan pemilik perkebunan. Masa lalu telah pergi, masa kini jadi berat, dan masa depan tak menentu. Lebih baik fokus untuk bertahan hidup, tak ada ruang dan waktu untuk memikirkan perasaan. Mereka harus bertahan hidup, melihat ke belakang juga percuma karena ia telah pergi. Tetapi rasa sakit itu menyalur ke semua anak-anaknya, meskipun tak ingin dibahas. Kami merasakannya. Tak pernah disebutkan kapan itu terjadi di Hindia-Belanda, itu terlalu menyakitkan tetapi rasa sakit itu diwariskan ke generasi berikutnya.
Sistem segregasi ras berlaku di Suriname, begitu juga di Hindia-Belanda. Kamu tak punya akses ke lembaga jika kamu tak “terintegrasi”. Kepercayaan menjadi hal terindah untuk dipertahankan ketika kamu sudah kehilangan segalanya. Tetapi buyutku juga kehilangan bagian terakhir dari identitasnya ini. Mereka harus pindah agama, berintegrasi, agar anak-anaknya bisa sekolah. Mereka menyebutnya “sekolah asrama” pada waktu itu, sama dengan sekolah asarama yang dulu juga diberlakukan bagi orang Indian Amerika di Amerika dan Aborigin di Australia.
Segala yang menyangkut budaya Jawa diejek dan harus dihapus. Semua hal yang tidak “Barat” dianggap tak beradab dan tak pernah bisa membuat hidupmu sukses. Anak-anak di sekolah asrama mengalami masa sulit, mereka sangat rindu kampung halaman. Beberapa anak sampai bertengkar dengan orang tuanya karena mereka tak tahu kenapa ikut dibawa ke sini. Sekolah asrama ini merupakan tempat mengacaukan identitas.
Mereka berkata banyak yang berakhir dengan baik. Itu benar dari sudut pandang kapitalis. Banyak yang sukses dan punya karir bagus tetapi di sisi lain ada kerusakan emosional. Ada diskriminasi di sekolah asrama itu bagi komunitas Jawa. Karena budaya “Barat” dianggap lebih baik, beberapa terlihat arogan. Di sekolah asrama, para murid diajari seperangkat nilai yang sangat berbeda dengan apa yang mereka pelajari di rumah dan itu bertabrakan. Banyak keturunan Jawa di sekolah tersebut punya masalah sosial. Itulah tanda gegar budaya. Inilah akibat penjajahan.
Saya terus mengatasinya dan bersedih. Penderitaan yang tak pernah hilang ditelan waktu. Saya berusaha memberinya ruang. Kembali ke Jawa adalah hal yang tak mampu dilakukan para buyutku. Saya akan mengamati segalanya. Angin, cuaca dan merasakannya di kulitku, hal yang sangat dirindukan buyutku, tetapi terus disangkal. Semua yang saya amati juga merupakan hal yang telah diambil dariku. Dan saya tak hanya merasa rindu untuk kembali, tetapi juga ikut merasakan perasaan mereka yang ditinggal di Jawa.
Saya juga ikut merasakan perasaan kehilangan anggota keluarga yang ditinggalkan di Jawa. Harapan dan rasa sakit keluargaku untuk pulang tak seharusnya dilupakan. Saya menuliskan bagaimana kami, sebagai keturunannya, membawa trauma ini dalam gen kami, sebagaimana kami membawa kekuatannya juga. Identitas kami merasuk ke tulang, dan buyut beserta keluarga kami terus bersama kami. Dan saya akan membawa mereka kembali ke rumah.
Ini merupakan beban pribadi yang saya tanggung. Orang-orang kulit putih yang masuk ke sejarah Indonesia dan Hindia-Belanda tak menanggung beban ini. Ingatlah bahwa segala yang kamu (orang kulit putih) lakukan berasal dari posisi istimewa. Kalian tidak membawa trauma. Dan karena hak istimewa itu tak pantas, kalian tak layak mendapat kehormatan memberi pencerahan tentang apapun yang penting dalam sejarah kami. Penderitaan kami semestinya tak memberimu kejayaan. Ini adalah tugasmu membereskannya dan menggunakan keuntungan istimewamu dengan benar, yang umumnya kerap digunakan untuk menindas kami. Kami harus menyembuhkan diri kami, komunitas kami dan sejarah kami, di manapun kami berada. Lakukanlah tugas kalian untuk menyembuhkan apa yang tatanan sosialmu lakukan terhadap kami. Dan jika itu tak bisa mengembalikan kehormatan kami, kalianlah orang terakhir yang memilikinya.
—
[1] Selama masa penjajahan Belanda di Hindia-Belanda, dalam kurun 1890 hingga 1939, sekitar 33 ribu orang Jawa diberangkatkan ke Suriname dengan kapal untuk menjadi kuli perkebunan – (peny.)
Penulis: Christa Noella Soeters
Penerjemah: Yongky Gigih Prasisko
Penyunting: Adek Dedees