Author Country Media Name Year Topic , Translator

Letter from Overseas – Winternachten – Angelina Enny

Surat dalam sebuah kaleng susu bekas

Winternachten, 18 januari 2020, Den Haag, © Angelina Enny

Halo,

Jika kamu menemukan surat ini, yang kumasukkan ke dalam sebuah kaleng susu bekas, tolong teruskan ke yang berkepentingan ya, ibuku. Aku tahu kalau kaleng susu bekas tidak seharusnya kularung ke lautan. Mungkin suatu saat nanti, kau akan mendatangi rumahku, kutulis alamatnya di pantat kaleng agar kau bisa mengabarkan bahwa surat ini sudah kausampaikan pada ibuku, dan kaleng ini sudah kaubuang pada tempatnya, sebab menurut Bu Salimah, guruku, sampah kaleng dapat mencemari lautan dan menyakiti ikan-ikan. Maafkan aku. Karena aku ingin sekali bicara dengan ibuku dan aku tak tahu bagaimana cara mengirimkan surat ini. Baiklah, kau boleh membacanya sedikit karena kupikir kau juga yang akan menyampaikan surat ini pada ibuku.

Ibu yang amat kurindukan,

Kemarin adalah hari ulang tahunku. Semenjak Ibu pergi, di setiap hari ulang tahunku, kakek akan mendongeng. Tahun lalu kakek bercerita tentang Sutasoma yang mengembara. Tahun ini kakek bercerita tentang Garuda yang menolong ibunya.

Siang hari, setelah kakek menjemur udang rebon di pekarangan, ia memanggilku. Aku sedang membantu Bu Darmi mencetak terasi. Terasi Bu Darmi sedang laku-lakunya. Minggu lalu beberapa orang dari kota dengan seragam coklat datang menanyai Bu Darmi tentang pembuatan terasinya. Kakek tidak ditanya-tanya. Tapi kata kakek tidak apa, karena nelayan tugasnya cuma menangkap udang rebon, bukan ditanya-tanyai. Orang-orang kota itu  memberi uang pada Bu Darmi, agar terasi-terasi Bu Darmi bisa dijual di negara Barat. Karenanya, Bu Darmi jadi banyak produksi terasi dan aku membantunya mencetak terasi-terasi itu dalam bentuk kotak. Aku melakukannya sepulang sekolah, meski jadinya tanganku bau dan bau itu juga menempel di baju seragamku, sehingga besoknya di sekolah teman-teman menutup hidung dan mengataiku: anak terasi. Menjadi anak terasi tidak terlalu buruk kurasa, karena memang aku kan bau terasi. Yang mereka katakan itu benar. Aku malah senang karena mereka mengganti julukanku menjadi anak terasi. Sebelumnya mereka mengataiku: anak piatu. Aku sedih sekali karena itu tidak benar. Aku punya ibu. Aku ingin buktikan ke mereka aku punya ibu. Jadi kalau Ibu menerima surat ini, aku mohon Ibu balas suratku dan titipkan ke orang yang membawa surat ini ke Ibu (aku sudah mencantumkan alamat kita di pantat kaleng susu).

Oh ya Ibu, tadi aku mau cerita soal dongeng kakek tentang Garuda. Jadi, ibu Garuda, namanya Dewi Winata kalah taruhan dari Dewi Kadru. Mereka main tebak-tebakan tentang warna ekor kuda yang akan keluar dari samudra susu. Dewi Winata bilang warnanya putih (yang sebenarnya tepat), tapi Dewi Kadru dengan curangnya mengubah warna ekor kuda itu menjadi hitam. Dewi Winata kalah taruhan dan menjadi budak Dewi Kadru. Tadinya aku tak terlalu tahu apa itu budak, tapi kata kakek artinya ibu Garuda harus menuruti semua suruhan Dewi Kadru, termasuk menjaga anak-anaknya yang berjumlah seratus. Apa Ibu tahu kalau anak-anak Dewi Kadru itu ular? Jadi bayangkan bagaimana Dewi Winata menjaga ular yang jumlahnya 100. Pasti susah sekali. Garuda kasihan melihat ibunya diperbudak Dewi Kadru dan ingin membebaskannya. Ia harus menemukan tirta amarta karena air keabadian itulah yang diinginkan Dewi Kadru sebagai imbalan. Garuda bertualang mencarinya di dunia para dewa. Ia berjanji pada Dewa Wisnu untuk menjadi kendaraannya jika ia bisa mendapatkan tirta amarta. Akhirnya, Garuda berhasil membebaskan ibunya dari perbudakan Dewi Kadru. Meskipun aku agak bingung apakah itu akhir yang bahagia karena Garuda kan harus bekerja menjadi tunggangan Dewa Wisnu sebagai ganti penebusan ibunya? Bukannya sama saja? Tetapi mungkin itu bukan persoalan penting buat Garuda, dan buatku juga. Yang penting mereka bisa bersama-sama lagi.

Sejak Kakek menceritakan itu, aku jadi berpikir-pikir apakah aku bisa seperti Garuda untuk membebaskan Ibu? Kata Kakek, ibu bekerja di negeri yang jauh. Apakah ibu bekerja terus-menerus seperti Dewi Winata sehingga tidak sempat pulang? Aku rindu pada Ibu. Aku rindu buaian Ibu. Aku ingat suara Ibu yang setiap malam menembang untukku:

Tak lelo lelo lelo ledung/Cup menenga aja pijer nangis/Anakku sing ayu rupane/Yen nangis ndak ilang ayune/Tak gadang bisa urip mulyo/Dadiyo wanita utomo/Ngluhurke asmane wong tuwa/Dadiyo pandekaring bangsa.

Ibu, aku akan seperti Garuda yang  gigih mencari tirta amarta untuk menebus Ibu, meski aku belum tahu di mana aku bisa memperolehnya. Aku akan menanyai orang-orang. Aku pasti akan menemukannya, dan aku harap Ibu sabar menungguku, sampai kita bertemu lagi, sampai kita bersama-sama lagi.  

Salam rindu,

Anakmu

© Angelina Enny