Country Media Name Year Topic , Translator , , ,

Liesbeth Zegveld Menarik Diri Dari Kasus-kasus Indonesia – K.U.K.B.

Press Release: Pengacara Belanda Liesbeth Zegveld Menarik Diri Dari Kasus-kasus Indonesia, Sebagaimana Ia Mempertahankan Prinsip Kolonial “Kekerasan Ekstrim”

Heemskerk, 15 Agustus 2021

Liesbeth Zegveld

Hari ini, beberapahari menjelang 17 Agustus, hari dimana Indonesia merayakan 76 tahun kemerdekaan, Yayasan K.U.K.B mengungkapkan bahwa Liesbeth Zegveld tidak lagi berkeinginan untuk membela para korban di pihak Indonesia di pengadilan. Dalam sepucuk surat resmi tertanggal 3 Mei 2021 yang turut pula ditandatangani oleh rekannya bernama Brechtje Vossenberg, ia menulis kepada Ketua K.U.K.B Jeffry Pondaag: “kantor kami tidak akan/ tidak bisa lagi menerima kasus-kasus baru dari orang-orang Indonesia yang berniat mengajukan tuntutan kepada pemerintah Belanda terkait kesepakatan atas hak anak ataupun kesepakatan atas hak janda.

Hukum Kolonial

Ketua K.U.K.B. Jeffry Pondaag sangat kecewa dengan keputusan Zegveld maupun Vossenberg yang bekerja di firma layanan hukum Amsterdam, Prakken d’Oliveira : “Mereka masih saja berpegang dan mengikuti Undang undang kolonial yang digunakan negara Belanda dan Pengadilan Sipil di Den Haag”.

Alasan pertama yang digunakan Zegveld disebut akibat dari kesibukan pekerjaannya, dia mengatakan bahwa tidak lagi memiliki waktu. Namun sangat jelas terbaca dari suratnya bahwa sesungguhnya Zegveld terbentur kesulitan menghadapi sikap kritis dari Pondaag yang dalam beberapa tahun terakhir ini terus mendesak dia untuk mempermasalahkan aspek kolonial dari proses hukum Belanda. Dalam surat itu terbaca dengan jelas bahwa kehadiran Belanda di Indonesia adalah sebagai penjajah, termasuk undang undang kolonial yang diberlakukan yang diterima begitu saja oleh Zegveld. (dalam artian Zegveld menerimanya begitu saja sebagai fakta, tanpa mempertanyakan atau mempermasalahkan, karena bagi Zegveld “ya begitulah adanya”)

Jeffry Pondaag

Jeffry Pondaag: “Ini bukan tentang perilaku buruk dari satu individu, tapi seluruh negeri yang bertindak sebagai pelaku kejahatan. Belanda adalah penjajah atas tanah air milik bangsa lain. Mereka bukan hanya membunuhi orang-orang Indonesia, tetapi juga menjarah dan memperkaya diri dari kekayaan alam Indonesia selama berabad-abad. Belanda adalah kumpulan pembunuh dan pencuri. Mereka bukan hanya memecah belah dan menguasai, tetapi juga menegakkan sistem apartheid dalam tiga lapis golongan. Penduduk Indonesia yang pada masa penjajahan berjumlah sekitar 70-100 juta jiwa, tidaklah dianggap sebagai manusia.” (Dalam lampiran, anda dapat membaca jawaban Pondaag atas surat dari Liesbeth Zegveld.)

Kekerasan Yang Dilegalkan

Kedua pengacara ini menganut hukum Pemerintah Belanda dan Pengadilan yang menyebutkan bahwa pasukan pendudukan Belanda, selain menggunakan “kekerasan ekstrim” juga menggunakan “kekerasan yang dilegalkan”. Hukum kolonial Belanda hanya mengutuk aksi kekerasan yang menyalahi hukum perang. Ini berarti tindakan mengeksekusi orang orang Indonesia dan memperlakukan tawanan dengan buruk dianggap sebagai kejahatan perang, tetapi hadirnya seluruh pasukan pendudukan Belanda di Indonesia dipandang sebagai tindakan yang sah.

Jadi menurut cara pandang ini, adalah hal yang sah bagi rezim Belanda untuk menghancurkan segala bentuk perlawanan, asalkan mereka tidak membunuh atau menyakiti penduduk sipil yang tak bersenjata atau tawanan perang. Oleh karenanya, menurut kacamata Belanda, ketika pasukan mereka membunuh orang Indonesia yang mengangkat senjata pada akhir tahun 40 an maka hal ini dikategorikan sebagai kekerasan yang sah.

Jeffry Pondaag: “Konsep pemikiran dari “kekerasan ekstrim” ini sangatlah kolonial! Itulah sebabnya kenapa saya selalu mempertanyakan darimana asalnya Belanda merasa punya hak atas kawasan yang jauhnya 18.000 km? Mereka tak punya hak apapun atasnya.”

Hukum Belanda Memandang Orang Indonesia Sebagai “Subjek”

Ketetapan ini juga menunjukkan bahwa hingga tahun 1949, orang-orang Indonesia dipandang sebagai “subjek milik Belanda”. Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 tidaklah diakui secara hukum oleh Belanda. Konsep subyek yang tidak pernah mencapai kemerdekaan ditahun 1945 melainkan pada tahun 1949, ini masih belum dikaitkan dengan tiga kasta sistem apartheid yang dipaksakan Belanda untuk diterapkan di Indonesia. Orang-orang Indonesia yang menuntut pemerintah Belanda disebut sebagai “inlander” (sebutan lain bagi pribumi saat masa penjajahan), mereka ini adalah kelompok yang tidak memiliki hak sama dengan kelompok Eropa. Di tempat umum maupun kolam renang seringkali terbaca peringatan: “Anjing dan Pribumi Dilarang Masuk”. Tak ada satupun dari hal yang disebut diatas disinggung dalam ruang sidang, justru sebaliknya, dalam persidangan Belanda, hukum Eropa diterapkan kepada orang-orang yang tidak terikat dalam hukum tersebut

Selama bertahun tahun Pondaag mendorong Zegveld untuk mempertanyakan dasar hukum atas penjajahan kolonial dan juga dasar hukum penegakan kebijakan apartheid. Namun dalam surat mereka, Zegveld dan Vossenberg menyatakan bahwa legalitas penjajahan/ kolonialisme tidak bisa dijadikan sebagai dasar tuntutan hukum.

Christa Soeters

Sebagai tambahan, nampaknya mereka tersinggung karena Pondaag menyebut mereka masih mempertahankan pemikiran kolonial. Inilah alasan mereka untuk tidak lagi mau mendampingi korban di pihak Indonesia.

Kesepakatan Internasional dari United Nations (UN) menyebutkan bahwa segala bentuk penjajahan/ kolonialisme adalah ilegal, namun Pengadilan Belanda dan para pengacaranya masih memandang kolonialisme sebagai suatu hal yang bisa diterima. “Arogansi seperti ini sangatlah memuakkan” sebut sekretaris dari K.U.K.B. Christa Soeters, yang baru-baru ini saja bergabung sebagai dewan pengurus yayasan.

Yayasan ini juga mencari kerjasama dengan biro hukum yang memandang bahwa pendudukan Belanda di Indonesia adalah hal salah di mata hukum dan juga bersedia meneriakkan tentang adanya sistem rasisme apartheid kolonial di ruang pengadilan.

K.U.K.B. Sekretaris Christa Soeters
Phone: +31 638613795

Download surat Jeffry disini:

Dari kiri ke kanan: Brechtje Vossenberg, Ibu I Talle, Pak Monji, Liesbeth Zegveld, 27 Juni 2019 pengadilan di Den Haag. Foto: Marjolein van Pagee