Hari: Kamis, 27 Juni 2019
Waktu: 09.30
Tempat: Pengadilan tinggi Den Haag, Prins Clauslaan 60
Bahasa: Belanda, bhs Indonesia
Kamis 27 Juni, sidang khusus diadakan di pengadilan tinggi Den Haag yang terbuka untuk publik. Beberapa kasus dijadwalkan untuk sidang tersebut. Pertama, 2 anak korban Indonesia dari Pare-Pare, Sulawesi Selatan, akan bersaksi di hadapan pengadilan Belanda tentang apa yang mereka saksikan di tahun 1947. Dalam kesempatan ini, 2 orang Indonesia tersebut akan terbang ke Belanda. (Sebelumnya mereka telah bersaksi lewat Skype). Ayah kedua orang Indonesia tersebut dieksekusi oleh Pasukan Khusus Belanda (Korps Speciale Troepen). Dengan bantuan yayasan K.U.K.B. (Komite Utang Kehormatan Belanda) dan secara hukum didampingi oleh pengacara HAM, Liesbeth Zegveld dan Brechtje Vossenberg, mereka berusaha untuk mendapatkan kompensasi dari penderitaan kerugian mereka. Pemerintah Belanda tetap saja menolak keadilan untuk anak-anak yang orang tuanya dieksekusi. Sebelumnya hanya para janda yang diberi kompensasi. Dalam kasus anak, pemerintah Belanda melandasi penolakannya pada hukum “pembatasan waktu” dan yang dikenal dengan “waktu yang layak”. Dengan begitu, pemerintah Belanda sebenarnya mengatakan: anda sudah terlambat. Dua korban Indonesia tersebut memutuskan untuk banding.
Selama bertahun-tahun sampai sekarang, yayasan K.U.K.B (Komite Utang Kehormatan Belanda) dan pengacara Zegveld serta Vossenberg telah berhasil mengajukan kasus gugatan terhadap pemerintah Belanda perihal kejahatan yang dilakukan tentara Belanda terhadap warga sipil Indonesia dan pejuang pasif selama perang kemerdekaan di bekas wilayah Hindia-Belanda (1946-1949). Meskipun kasus-kasus ini menyangkut soal ketidakadilan masa lalu, pengadilan negeri The Hague tetap berpendirian bahwa penerapan ketat pada undang-undang pembatasan dalam kasus seperti ini tak masuk akal, tidak adil dan atau bermaksud buruk. Maka dari itu, pengadilan mengesampingkan pembelaan pemerintah Belanda bahwa tuntutan semacam ini sudah kadaluarsa. Proses pengadilan ini telah menghasilkan permohonan maaf secara publik oleh pemerintah Belanda kepada para janda yang suaminya dieksekusi dengan cepat oleh tentara Belanda dan ganti rugi kepada para janda tersebut serta pembukaan skema penyelesaian di luar pengadilan kepada para janda lain dan penyintas pembunuhan massal. Undang-undang pembatasan juga dikesampingkan dalam kasus-kasus antara lain yang diajukan oleh seorang wanita yang diperkosa secara massal oleh tentara Belanda selama pembersihan bengis di desanya di Jawa pada tahun 1949 dan mereka yang disiksa seperti Yaseman, pria Indonesia yang dianiaya dengan kejam oleh tentara Belanda selama ditawan di Jawa tahun 1947. Setelah pengadilan menyatakan bahwa pemerintah Belanda bertanggungjawab terhadap kerusakan yang diderita oleh para korban, pemerintah Belanda memberikan keduanya ganti rugi.
Meskipun pemerintah Belanda telah menerima derajat tanggung jawab terhadap para janda yang suaminya dieksekusi dengan cepat, pemerintah Belanda menolak keadilan terhadap korban lain atas kejahatan tentara Belanda. Pemerintah Belanda berpegang pada pendirian umum bahwa tuntutan semacam ini tidak otomatis mengesampingkan undang-undang pembatasan dalam hukum Belanda. Secara khusus, hal ini tetap menegaskan bahwa tuntutan yang diajukan oleh anak-anak yang bapaknya dieksekusi dengan cepat sudah kadaluarsa dan dengan kata lain, penggugat gagal membawa kasus mereka dalam waktu yang tepat setelah nyatanya mereka mampu melakukannya. Intinya, pemerintah Belanda sebenarnya mengatakan pada orang-orang ini: “anda sudah terlambat”
Tahun 2018, pemerintah Belanda mengajukan banding sela terhadap vonis tahun 2015 oleh pengadilan negeri yang dalam proses sidang telah menyatakan bahwa undang-undang pembatasan bisa dikesampingkan dalam kasus yang diajukan oleh kelima anak yang bapaknya dieksekusi dengan cepat. Pemerintah Belanda juga mengajukan banding terhadap vonis tahun 2018 yang menyatakan pemerintah Belanda bertanggung jawab terhadap kerusakan Yaseman. Audiensi bersama terhadap dua kasus tersebut akan dilaksanakan pada 27 Juni 2019. Dua korban anak tersebut akan diterbangkan dari Indonesia untuk menghadiri audiensi ini. Para pengacara yang mewakili para korban ini akan berargumen antara lain bahwa vonis yang mengesampingkan undang-undang waktu pembatasan, dalam kasus seperti ini, secara hukum benar dan adil.
Di hari sebelum sidang tersebut, komisi luar negeri pemerintah Belanda secara resmi menerima dua tamu dari Sulawesi tersebut dalam pertemuan publik.
—