Masalah-Masalah Dekolonisasi
Brikolase, 6 mei 2020, oleh: Yongky Gigih Prasisko
Istilah ‘dekolonisasi’ tak asing bagi saya. Selain itu, saya turut mengenal kajian pascakolonial yang merupakan aliran kritis atau tradisi intelektual yang mempersoalkan masa penjajahan. Di tahun 80an, kajian pascakolonial muncul di Universitas Amerika dan Inggris yang terutama dikembangkan oleh para akademisi non-kulit putih yang berasal dari negara-negara (bekas) terjajah. Suara-suara mereka berangkat dari bangsa yang terjajah dan bermaksud untuk mengembangkan pengetahuan perihal dampak dari imperialisme Eropa secara global dengan mempelajari sudut pandang orang-orang (bekas) terjajah. Karya tenar Edward Said, contohnya, (seorang sarjana yang dibesarkan di Kairo dan berasal dari Palestina) yang menyorot perihal dekolonisasi pengetahuan tentang Timur Tengah. Sarjana lain seperti Gayatri Spivak yang berelasi dengan Universitas Columbia di Amerika Serikat, berusaha menyoroti tanah airnya India. Di Amerika Latin dan Amerika Serikat, gerakan dekolonial berjuang untuk mengembalikan tanah, kehidupan dan hak-hak masyarakat pribumi yang telah direbut. Suara-suara orang-orang (bekas) terjajah menjadi pusat gerakan deolonial dan kajian poskolonial yang sebenarnya.
Tapi kemudian saya melihat istilah ‘dekolonisasi’ digunakan menjadi nama proyek penelitian di Belanda, yang didanai pemerintah Belanda. Yang mengejutkan adalah proyek itu diprakarsai utamanya oleh akademisi Belanda yang melibatkan institusi warisan penjajah seperti Lembaga Kerajaan Belanda untuk Linguistik, Geografi dan Etnologi (KITLV) dan Lembaga Penelitian Belanda untuk Sejarah Militer (NIMH). NIMH juga menjadi bagian dari Kementrian Pertahanan Belanda. Karena inilah, makna istilah ‘dekolonisasi’ berubah total. Ia kehilangan semangat dan makna progresifnya. Dalam proyek penelitian bertajuk Kemerdekaan, Dekolonisasi, Kekerasan, dan Perang di Indonesia, 1945-1950, pertanyaan utamanya perihal “dinamika peristiwa kekerasan yang terjadi sejak proklamasi Republik Indonesia 17 Agustus 1945 (periode sengkarut dari Agustus 1945 sampai awal 1946) sampai akhir perang kemerdekaan di tahun 1949”. Istilah dekolonisasi kemudian dikerdilkan hanya pada dinamika perang militeristik yang terjadi di akhir tahun 1940an. Istilah ini juga disempitkan hanya pada periode sejarah ketika penjajah Barat, dalam hal ini Belanda, mengumandangkan perang yang berakhir pada kemerdekaan negara Indonesia yang dijajah selama ratusan tahun.
Dengan pemahaman yang sempit tentang ‘dekolonisasi’ ini, para peneliti Belanda berusaha membandingkan perang dan kekerasan Belanda dengan para penjajah Barat lain seperti Prancis, Inggris dan Portugal. Saya kemudian bertanya kenapa pendudukan Belanda atas Indonesia tidak dibandingkan dengan pendudukan Jerman atas Belanda? Meskipun orang Belanda menganggap kasusnya berbeda, tapi faktanya situasi pendudukan itu serupa. Bagi saya perbandingan itu sangat tepat dan masuk akal. Saya pikir perbandingan antara pendudukan Belanda terhadap Indonesia dengan pendudukan Jerman terhadap Belanda adalah kunci dalam memahami bagaimana rasanya dijajah dan bagaimana rasanya berjuang unuk kebebasan dan kemerdekaan. Proyek penelitian dekolonisasi tersebut menghindari perbandingan ini yang menunjukkan adanya pola pikir penjajah dari para peneliti yang terlibat. Nampaknya Belanda bersikukuh memisahkan dua sejaarah ini karena mereka tak ingin melihat penjajahan atas Indonesia setara dengan penjajahan atas tahah air Belanda di Eropa.
Lebih lanjut, proyek penelitian ini hanya fokus pada kekerasan selama perang kemerdekaan Indonesia. Sayangnya, Belanda tak meneliti berabad-abad kekejaman penjajahan Belanda yang dilakukan jauh sebelum Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Pemahaman mereka yang sempit tentang dekolonisasi ini adalah masalah pikiran mereka sendiri. Belakangan ini, suara-suara kritis yang mempersoalkan masa lalu penjajahan semakin keras di Eropa. Di Belanda, isu tentang kejahatan perang Belanda mengancam usaha negara untuk membangun citra Belanda sebagai pusat perdamaian dan keadilan. Mereka kemudian mulai mengakuinya setelah sejumlah kasus kejahatan perang Belanda masuk jadi agenda hukum dan politik.
Proyek penelitian dekolonisasi itu kemudian didanai setelah usaha terus menerus dari Jeffry Pondaag (ketua Komite Utang Kehormatan Belanda- K.U.K.B.) yang memenangkan gugatan hukum terhadap pemerintah Belanda atas kasus kejahatan perang Belanda. Kasus-kasus gugatan tersebut masih terus berlanjut dan pemerintah Belanda masih terus menyangkalnya. Penelitian dekolonisasi ini nampaknya merupakan tanggapan, jika bukan pembelaan, dari mantan negara induk terhadap konfrontasi yang tak diinginkan yang mengungkap sejarah kelam masa penjajahan. Selain itu, pemerintah Belanda juga berusaha mengesampingkan isu tentang tuntutan pertanggungjawaban atas penjajahan dan warisan-warisannya.
Pemahaman Eurosentris tentang dekolonisasi tak bermaksud untuk mendekolonisasi pola pikir mereka. Dekolonisasi, bagi mereka, bukan tentang memeriksa kembali secara kritis cara bangsa Barat-Eropa melegalkan dominasi dan penjajahannya selama berabad-abad. Mereka hanya menulis ulang sejarah dengan sudut pandang Barat, jika bukan perspektf penjajah, yang seringkali hanya berdasarkan arsip dan literatur Barat. Istilah dekolonsasi kemudian dirampas, dijajah dan dimaknai untuk mendukung agenda dominasi Barat.
‘Penjajahan’ atas istilah dekolonisasi menempatkan Barat di pusat kekuasaan dalam memproduksi pengetahuan yang kemudian dikonsumsi oleh negara-negara (bekas) terjajah. Dalam misi ini, akademisi Barat disebar ke luar negeri untuk menyebarkan makna dekolonisasi menurut mereka, sembari mereka tak pernah mendekolonisasi pola pikirnya dengan masih menggunakan perspektif kolonial/penjajah.
Nampaknya sudah umum, saya melihat diskusi, seminar maupun pelatihan dengan akademisi Belanda menjadi pembicara atau pendidik dan orang Indonesia sebagai audiens. Praktik ini nampaknya berjalan satu arah, hanya dari Belanda untuk Indonesia. Saya tak pernah melihat akademisi atau peneliti Indonesia melatih professor atau akademisi Belanda perihal bagaimana melakukan penelitian, terutama tentang dekolonisasi dan bagaimana mendekolonisasi pola pikir mereka.
Nusantara, sekarang Indonesia, telah dijajah selama ratusan tahun. Sejak awal penjajah Eropa datang ke Nusantara, penduduk lokal sudah mulai menentang tipuan penjajah dan pendudukannya. Penduduk Nusantara kala itu telah mempraktikkan dekolonisasi sejak lama hingga hari ini. Dalam hal ini, kamilah yang merupakkan ahli dekolonisasi. Lalu kenapa para akademisi barat ini merasa layak untuk mengajari kita tentang dekolonisasi? Kenapa mereka seperti merasa lebih tahu banyak tentang Indonesia daripada orang Indonesia?
Dekolonisasi bukan hanya soal mencari fakta atau kebenaran saja. Dekolonsasi juga merupakan usaha menyingkirkan mental dan pikiran penjajah yang melihat masyarakat (bekas) terjajah tidak kompeten dan selalu butuh panduan Barat.
Proyek penelitian Belanda ini menunjukkan bagaimana istilah dekolonisasi dijajah oleh agenda Barat untuk memantapkan dominasinya. Proyek riset itu diklaim dilaksanakan secara objektif dan independen sembari ia didanai secara politik oleh pemerintah Belanda. Terlebih lagi, NIMH adalah bagian dari Kementrian Pertahanan dan mendampingi pemeritah Belanda yang terus menyangkal tuntutan hukum kasus kejahatan perang Belanda. Para penelti itu mengatakan mereka bekerjasama erat dengan para sejarawan dan lembaga Indonesia. Nyatanya, para peneliti Indonesia hanya diberi peran kecil yang tidak penting.
Intinya, ketika dekolonisasi menjadi proyek yang disokong pemerintah Barat, termasuk dukungan dana besar untuk membayar gaji para penelitinya, ini merupakan elitisisme, eksklusivisme dan penyelewengan arti dekolonisasi. Bagi Indonesia, dekolonisasi sudah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari. Kami mempraktikkannya setiap hari di segala aspek kehidupan; ekonomi, pendidikan, teknologi dan sosial-budaya. Dominasi barat ada di mana-mana dan kita melawannya setiap hari. Arti dekolonisasi yang sebenarnya menjadikan pengalaman orang-orang (bekas) terjajah dan tertindas sebagai titik pusat. Bagi Indonesia, dekolonisasi bukan hanya agenda untuk menemukan kebenaran saja, tetapi jauh lebih besar dari itu. Bagi kami, dekolonisasi merupakan agenda menjadi bangsa yang berdikari dengan berusaha berpaling dari dikte Barat, serta mengambil kembali apa yang diambil penjajah dari kami. Kami harus memiliki kembali istilah dekolonisasi dan mulai memandu bagaimana Barat-Belanda mendekolonisasi pola pikirnya.
—