Teks: Anne-Lot Hoek / Diterjemahkan oleh: Noriko Ishida, Museum Bronbeek di Arnhem, Belanda
Terbit: 12 September, 2016
Suara trompet dan gendang mulai terdengar dari jauh ketika saya berjalan menuju ke tempat upacara peringatan di pusat Rengat, sebuah kota kecil di provinsi Sumatra Tengah. Berbagai jenis anggota masyarakat – pejabat dalam pakaian dinas atau militer, pejabat kepolisian, anak sekolah, guru dan veteran – berbaris di depan tugu yang dibangun di sebelah Sungai Indragini yang lebar dan cokelat. Upacara Peringatan Peristiwa Rengat dimulai dengan sambutan-sambutan yang menbicarakan Agresi Militer Belanda. Bupati meletakkan karangan bunga di pelataran tugu. Setelah upacara, semua yang hadir berjalan ke tepi sungai dan menaburkan bunga pada sungai. Saya, seorang Belanda, juga diizinkan ikut menaburkan bunga.
Begitu Perang Dunia II berakhir 71 tahun yang lalu, Sukarno memproklamasikan kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945. Segera setelahnya pecahlah perang gerilya yang mengerikan terhadap penjajah lama, Belanda. Antara tahun 1945 dan 1949, datang 140,000 orang militer Belanda untuk menjaga ‘hukum dan ketenteraman’. Jumlah orang yang hampir sama meninggal. Setelah itu, Indonesia terseret ke dalam keadaan perang sipil. Peristiwa Rengat adalah salah satu serangan terhadap orang-orang sipil di Sumatra oleh pasukan khusus Belanda yang dinamakan Korps Speciale Troepen. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 5 Januari 1949, pada akhir periode Agresi Militer Belanda II. Menurut sumber Indonesia, hampir 2000 orang meninggal, sedangkan dokumen Belanda menyebutkan perkiraan 80. Anehnya, peristiwa berdarah ini belum mendapat tempat di dalam sejarah nasional baik bagi Indonesia maupun Belanda. …
Lanjut membaca: