Ini adalah bagian pertama dari proyek wawancara oleh Histori Bersama. Dengan adanya seri-seri ini nantinya, kami bertujuan agar orang-orang Indonesia di Belanda bisa menyuarakan isi pikirannya. Masalahnya disini adalah, sebagian besar masyarakat Belanda tidak bisa membedakan antara mereka yang berstatus ‘Indisch’ dan mana mereka yang orang Indonesia.
Identitas ‘Indisch’ adalah identitas warisan kolonial, mengacu dari nama wilayah yang mereka jajah: Nederlands-Indië (Hindia Belanda.) Penyebutan nama ini juga terkait dengan sistem apartheid tiga lapis kasta yang mereka ciptakan, dimana kelompok Indo-Eropa (secara hukum dianggap legal berdasar status ayah) dapat memiliki status Eropa. Pasca kemerdekaan di tahun 1945, banyak diantara ras campuran ini harus memilih antara status kasta mereka dan pindah ke Belanda atau mendukung berdirinya Republik dan menjadi warga Indonesia.
Dampaknya, hal ini melahirkan begitu banyak perpecahan keluarga. Disekitar tahun 1950 dan 1960 saja terjadi migrasi sebesar 350.000 jiwa menuju ke Belanda. Hal ini membuat sebagian besar orang yang berdarah Indonesia di Belanda tidaklah dipandang sebagai orang Indonesia tetapi disebut sebagai ‘Indisch’. Orang tua atau kakek nenek mereka yang telah memilih tidak menjadi bagian dari Indonesia, seringkali berbagi cerita yang bertentangan dengan sudut pandang Indonesia. Karena komunitas Indisch adalah komunitas terbesar dari masyarakat yang memiliki darah Indonesia di Belanda, maka suara pro republik Indonesia yang minoritas seringkali dipandang sebelah mata, tidak dianggap. Pandangan/ pemikiran mereka seringkali dinilai ekstrim atau sekedar dianggap pengecualian. Inilah alasan Histori Bersama untuk membuat ruang membangun kesadaran, tentang bagaimana hukum rasis kolonial masih mempengaruhi masyarakat kita saat ini.
Bersama Ketua K.U.K.B, Jeffry Pondaag kita akan diskusikan bagaimana hukum apartheid ini menciptakan perpecahan di dalam keluarganya. Sebagai seorang Indonesia, dia bahkan dirundung oleh keluarganya sendiri ketika tiba di Belanda tahun 1969, saat itu ia seorang pelajar berusia 16 tahun. Kita juga akan membahas bagaimana masa kecilnya di Indonesia, termasuk kenangan indah masa kecil, seperti kisah bagaimana ia merakit radio ilegal bersama sepupunya.
—
Copyrights: Histori Bersama
Kamera: Lyndon Gaul
Producer/Music: Daniël Samar
Studio: Torsten Eichten ‘Granny House’
Wawancara & Video editing: Marjolein van Pagee
Terjemahan Bahasa Inggris: Marjolein van Pagee
Terjemahan Bahasa Indonesia: Dida Pattipilohy, Fitria Jelyta, Ady Setyawan
Spelling check: Saut Situmorang