“The Interpreter from Java” (Sang Penerjemah dari Jawa) Sebuah Novel Sejarah Pasca Kolonial
The Dorset Book Detective, 12 september, 2020, Oleh: Hannah Stevenson
Kalimat pembuka dari novel The Interpreter From Java panjangnya lebih dari satu halaman, dan menguraikan daftar kejahatan mengerikan dalam beberapa dekade yang lalu, yang dilakukan oleh ayah sang narator sendiri, penerjemah tituler.
Hanya dipotong oleh tanda koma, kalimat tersebut terus berlanjut, memberikan klaustrofobia dan kemuakan yang luar biasa kepada para pembaca, yang dengan cepat menangkap bahwa inilah tema dari keseluruhan novel ini.
Ditulis oleh Alfred Birney dalam Bahasa Belanda, kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris oleh David Doherty, The Interpreter From Java merupakan novel menarik yang terbagi dalam dua bagian. Bagian pertama adalah tinjauan mendalam tentang perang Indonesia untuk meraih kemerdekaan dari Sekutu pada 1940-an. Novel ini diceritakan dari perspektif “Sang Penerjemah” (narator dalam novel tersebut) yang bekerja untuk marinir, bagian ini membuat pembaca penasaran dan tersentuh.
Bagian lain dari novel ini diceritakan dari sudut pandang, Alan, anak laki-laki “Sang Penerjemah” tersebut, yang menulis ceritanya sendiri serta menyisipkan ke dalam memoar ayahnya untuk mengingatkannya akan kekejaman dan penganiayaan yang telah dilakukannya. Alan menghabiskan separuh hidupnya dengan perasaan takut kepada ayahnya, dan separuh hidupnya lagi di rumah penampungan anak-anak dengan menyaksikan rasisme institusional, eksploitasi seksual, dan banyak lagi. Novel ini menggali setiap cerita, terkadang menelusuri potongan besar memoar dan terkadang kehidupan Alan, kadang kala berganti antara keduanya, sehingga para pembaca terjebak dalam dua cerita sekaligus, dan batas antara masa lalu dan masa kini serasa terbaur menjadi satu.
Melalui kisah pengkhianatan dan pengabaian keluarga ini, Birney menyoroti pertempuran tanpa belas kasihan yang terjadi pada masa penjajahan Indonesia. Cerita ini juga menekankan isu identitas yang dihadapi anak-anak dan penduduk lokal pada masa imperialis kolonial. Arto Nolan, ayah Alan, adalah anak haram dari seorang pengusaha kolonial Eropa dan gundik Tionghoa-nya yang tinggal di Indonesia. Dia tidak diakui oleh ayahnya, namun dia tetap menjadi pendukung fanatik Penjajah Belanda, dan akhirnya menjadi “Sang Penerjemah” untuk pasukan Sekutu. Perannya adalah perpaduan antara pemandu lokal dan tentara berdarah dingin.
Bagian dari novel yang dikhususkan oleh Birney dalam memoar Arto menitik beratkan pada sebuah ironi yang sangat vulgar tentang seorang pria yang mengecam tentara pribumi Indonesia karena membunuh orang tak bersalah atas nama kebebasan dan kemerdekaan, namun pada saat yang sama dia juga melakukan kejahatan yang sama kejinya atas nama imperialisme yang serakah.
Penulis menekankan bahwa ada kondisi dasar dari beberapa penduduk Indonesia yang cukup rumit berkenaan dengan identitas mereka dan bagaimana hal itu berdampak pada pemerintahan kolonial. Dia menjelaskan bagaimana Arto memulai perang salibnya melawan Penjajah Jepang, kemudian menjadi prajurit Sekutu karena keyakinannya yang salah bahwa “Barat”, entah bagaimana, lebih beradab, dan bahwa kekerasan mereka memiliki tujuan yang lebih mulia. Dalam hal ini, penulis menunjukkan politik kolonialisme yang rumit, dan bagaimana kolonialisme dibuat sedemikian rupa agar mereka yang terjajah percaya bahwa mereka sebenarnya sedang diselamatkan.
Separuh dari novel ini didedikasikan untuk menggambarkan kehidupan Alan pasca perang, di mana Arto telah menggantung senjatanya dan mengganti peperangan dengan kekerasan dalam rumah tangga, dan mengetik di mesin ketik Remington tuanya sepanjang malam. Birney membuktikan bahwa politik identitas ini melampaui kolonialisme. Alan dan saudara-saudaranya adalah orang campuran Belanda-Tionghoa, tetapi lebih banyak yang berkulit gelap dan mereka semuanya tidak memiliki pemahaman yang lengkap tentang silsilah mereka. Kadang-kadang Alan mendeskripsikan mereka sebagai ‘Indo’, dan kadang-kadang sebagai Orang Belanda. Dia tidak memahami silsilahnya, meskipun telah melakukan perjalanan untuk bertemu keluarga besarnya di belahan dunia yang lain dan membaca memoar ayahnya untuk mencari jawabannya.
Setiap kalimat dalam novel yang luar biasa ini dirancang untuk memikat hati pembaca, membuat para pembaca tersadar, dan akan selalu sadar. Kalimat pembukanya adalah daftar panjang, dan seluruh novel adalah eksplorasi kejahatan kolonial dan luka abadi yang dilakukan oleh berbagai kerajaan Eropa secara bergenerasi. Bukan hanya Arto dan orang-orang yang bekerja sebagai marinir yang terluka; anak-anaknya, dan cucu-cucunya juga menderita oleh ketidakjelasan identitas dan beban mental yang ditimbulkan akibat pelecehan serius semasa anak-anak.
Secara keseluruhan, The Interpreter From Java adalah bacaan yang panjang dan berat, tetapi juga informatif, membuka wawasan, dan membuka mata. Jika Anda ingin memperluas pikiran dan mempelajari lebih banyak tentang pengaruh kolonialisme pada generasi setelah hancurnya masa kerajaan, buku ini adalah buku yang tepat untuk Anda. Buku ini layak dibaca untuk pembaca dengan rasa ingin tahu yang besar.
—
Pada tanggal 3 September 2020, sebuah penerbitan yang berbasis di London bernama ‘Head of Zeus‘ merilis ‘The Interpreter from Java’, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh David Doherty: