Author Country Media Name Year Topic , , , Translator

“Bersiap” Mengekspos Jurang Perbedaan Sejarah Belanda-Indonesia – The Jakarta Post

“Bersiap” Mengekspos Jurang Perbedaan Sejarah Belanda-Indonesia

The Jakarta Post, 4 Februari 2022, Teks: Nur Janti, terjemahan: Saut Situmorang

Seorang sejarawan Indonesia dan dua pegawai museum Belanda dilaporkan ke polisi Belanda karena pertentangan perspektif atas sejarah, yang memaksa kedua bangsa tersebut untuk mengkonfrontasi kekerasan yang terjadi dari berakhirnya kolonialisme Belanda di Indonesia.

Dendam sejarah merupakan faktor penting dalam hubungan Belanda-Indonesia, sebagian karena penolakan terus-menerus Belanda untuk mengakui proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945 yang mendasari upaya-upaya hukum dalam menuntut pertanggungjawaban Belanda terhadap keturunan korban kejahatan perang terutama pada periode awal setelah kemerdekaan.

Pada 21 Januari, Komite Utang Kehormatan Belanda (KUKB), sebuah kelompok yang mengadvokasi kompensasi untuk kejahatan perang Belanda, melaporkan Rijksmuseum di Amsterdam, direkturnya Taco Dibbits dan kurator Harms Stevens ke polisi karena bersikeras untuk tetap menggunakan istilah rasis “bersiap” dalam sebuah pameran yang akan menyoroti sejarah pascakolonial Indonesia.

Ketua KUKB Jeffry Pondaag menyatakan bahwa istilah tersebut “tidak hanya rasis, tapi juga merupakan sebuah bentuk pemalsuan sejarah”, dan bahwa mereka telah melaporkan panitia acara ke polisi karena menolak keputusan untuk menghapus kata tersebut dari pameran dimaksud, sesuatu yang juga dikemukakan oleh kurator tamu Indonesia Bonnie Triyana dalam sebuah opini awal bulan itu.

Reaksi  Emosional

Artikel Bonnie, yang diterbitkan di media Belanda NRC pada 10 Januari, sebenarnya bermaksud mempromosikan pameran Rijksmuseum yang berjudul “Revolusi! Indonesia Merdeka”, yang menawarkan “perspektif internasional” atas sejarah gerakan pasca kemerdekaan Indonesia pada 1945-1950. Pameran ini direncanakan berlangsung dari 11 Februari hingga 5 Juni.

Artikel tersebut ternyata menimbulkan reaksi emosional keras publik Belanda, di mana para pengkritik bersikeras agar museum terus menggunakan istilah bersiap untuk generasi yang akan datang.

Bonnie sendiri dilaporkan ke polisi atas tuduhan pencemaran nama baik dan hasutan oleh Federasi Rakyat Hindia Belanda (FIN), sebuah kelompok sipil Belanda yang mewakili keturunan orang-orang dari bekas Hindia Belanda, yang juga mengklaim trauma sejarah dari periode tersebut.

“Saya pikir Bonnie harus mundur karena dia dipermalukan oleh direktur dan kurator Belanda. Apa yang saya pahami dari artikelnya itu adalah bahwa mereka setuju kata itu tidak akan digunakan,” kata Jeffrey kepada The Jakarta Post, Minggu.

Bonnie menolak memberikan komentar lebih lanjut, tapi menunjuk ke sebuah artikel yang dia tulis pada 12 Januari untuk media sejarah populer Historia.id, di mana dia adalah pemimpin redaksinya. Dalam tulisan itu, ia menyatakan bahwa bersiap terlalu menyederhanakan fakta sejarah dan bertujuan memperkuat sentimen rasial.

Direktur museum Dibbits, dalam jawaban emailnya ke Jakarta Post pada hari Rabu, bersikeras bahwa “dalam proyek pameran, kami tidak pernah menghindari kata itu”.

“Bagi banyak orang di Belanda, kata itu adalah kata yang penting, mengacu kepada pengalaman traumatis yang mendalam. Bagi Rijksmuseum, penting untuk menjelaskan fakta sejarah yang dimaksud oleh istilah tersebut dan menempatkannya dalam konteks yang lebih luas,” katanya sambil menambahkan bahwa panitia pameran tidak menghindari fakta sejarah yang dimaksud istilah tersebut.

Mengenai laporan ke polisi atas Bonnie dan dirinya, Dibbits mengatakan panitia sedang “menunggu apa yang akan dilakukan [Jaksa Penuntut Umum Belanda]” terhadap mereka.

Menurut historiografi Indonesia, periode 1945-1950 dikenal sebagai tahun-tahun Perang Revolusi, sedangkan dalam ingatan kolektif Belanda dikenal sebagai periode Bersiap.

Istilah ini tercatat dalam sejarah sebagai seruan perang – secara harfiah berarti “bersiap-siap” – yang digunakan oleh kaum muda revolusioner Indonesia yang mengangkat senjata untuk mempertahankan diri dari agresi Belanda setelah kemerdekaan.

“Dalam sejarah Indonesia, mereka hanya dikenal sebagai pejuang. Tapi kalau dirinci lebih dalam lagi, kelompok-kelompok itu terdiri dari berbagai kalangan dengan latar belakang berbeda-beda, termasuk bandit dan perampok,” kata sejarawan Agus Suwignyo dari Universitas Gadjah Mada di Yogyakarta.

Agus mengatakan kepada Jakarta Post pada hari Rabu bahwa bersiap digunakan dalam historiografi Belanda untuk merujuk pada periode kritis penuh pergolakan dan kekerasan, dengan kerugian di kedua belah pihak.

Istilah ini hampir tidak dikenal di Indonesia, tetapi sangat penting dalam versi sejarah Belanda atas periode tersebut.

Berkat perdebatan sengit yang terjadi, istilah tersebut kembali menjadi wacana publik.

Sejarawan lain, Anhar Gonggong, mendesak pemerintah Indonesia untuk menarik diri dari pameran Rijksmuseum sebagai sikap “tegas” dalam memprotes “egoisme Belanda”, katanya dalam sebuah pernyataan kepada sebuah media lokal pada 27 Januari.

Tujuh lukisan dari koleksi  Istana Kepresidenan akan dipamerkan selama pameran.

Secara terpisah, sejarawan Universitas Amsterdam Remco Raben mengatakan bahwa sementara para korban bersiap berhak untuk mengutamakan pengalaman mereka, reaksi emosional publik telah “mengaburkan kompleksitas sejarah” periode ini.

Raben, seorang penasihat independen untuk pameran tersebut, mengatakan akan “tidak adil” menggambarkan periode tersebut tanpa membahas konteks militer dan kolonial yang melingkupinya.

“Ini adalah reaksi yang memalukan, yang hanya menunjukkan fakta bahwa banyak orang Belanda masih belum mampu mengevaluasi secara kritis pandangan kolonial mereka sendiri atas periode tersebut,” katanya kepada Jakarta Post pada 28 Januari.

Upaya Belanda yang gagal untuk menguasai kembali Indonesia mengakibatkan kematian ribuan warga sipil Indonesia.

Dalam kunjungannya ke Indonesia pada tahun 2020, Raja Belanda Willem-Alexander menyampaikan permintaan maaf resmi atas “kekerasan berlebihan” selama perang kemerdekaan, tetapi tidak untuk penjajahan. Dia juga tidak mengakui proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945.

Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Saut Situmorang

Lihat juga: