Sejarah, Aib dan Kenangan: Proses Menulis ‘Sang Penafsir dari Jawa‘
Head of Zeus, september 2020, Teks: Alfred Birney, Diterjemahkan oleh Madito Mahardika
Sebelum saya memulai cerita perihal bagaimana, mengapa dan kapan novel ‘Sang Penafsir dari Jawa’ (judul dalam bahasa Inggris ‘the Interpreter from Java’, dalam bahasa Belanda ‘De tolk van Java’) dan bagaimana penerimaan pembaca atas novel tersebut di tanah air saya Belanda, izinkan saya mengatakan bahwa saya merasa sangat puas dengan hasil terjemahan bahasa Inggris ini karena orang Inggris, India, Australia, dan Amerika turut serta andil dalam cerita yang mengambil tema di Hindia Belanda ini. Hasil terjemahan ini sangat sesuai dengan novel aslinya sehingga sensasinya seperti melihat tulisan tangan saya sendiri. Penulis mana yang tidak senang dengan itu?
Setelah menulis banyak buku – novel, cerita pendek, dan esai, saya mencoba melihat kembali 25 tahun perjalanan kehidupan saya sebagai seorang penulis yang akhirnya memantik sebuah tema muncul ke permukaan yaitu sejarah kolonial Belanda, trauma zaman perang yang ayah saya alami, dan bagaimana – dalam seluruh kegilaannya – dia membagikan kenangan tentang perang itu dengan saya sehingga trauma itu juga ikut menghantui kehidupan saya. Apa yang perang hasilkan bagi manusia? Apakah perang benar-benar berakhir ketika perjanjian perdamaian ditandatangani? Tidak. Perang membuat akal manusia membusuk, perang memelintir tingkah laku ayah saya sehingga mustahil baginya untuk kembali ke tengah-tengah masyarakat sebagai warga negara teladan yang pergi bekerja setiap pagi dan pulang ke rumahnya pada malam hari untuk mencium istrinya dan mengacak-acak rambut anak-anaknya. Di satu sisi, dia dapat berdiri tegap di garis depan medang perang. Namun di sisi lain, kenangan peperangan yang bersemayam dalam dirinya telah mengoyak kebahagiaan keluarganya sendiri.
Seperti itulah kehidupan saya dalam naungan keluarga, di rumah yang seperti bukan rumah sendiri. Namun, tidakkah saya menulis sesuatu yang sebenarnya merebah di dasar ingatan saya? Bukankah ingatan semacam itu sebaiknya dibuang saja dan tidak perlu untuk dikenang-kenang kembali seperti sebagaimana harusnya? Tapi, bukankah sebaiknya ada karya novel yang berperan sebagai penyeimbang dari sekian ratus novel dan juga kajian ilmiah sejarah yang meromantisasi era kolonial Hindia Belanda sebagai sebuah surga yang hilang? Selama bertahun-tahun saya sudah melahap buku demi buku – mulai dari karya sastra adiluhung sampai ke sastra picisan, juga halnya karya esai hingga ke biografi. Namun dari semua itu, saya tidak pernah membaca satupun karya yang sekiranya mendekati apa yang sebenarnya ingin saya tulis dan baca. Maka persetan dengan apa yang mereka para sejarawan, penulis biografi, novelis, kritikus sastra, dan penerbit pikirkan! Saya memutuskan untuk mengesampingkan semua kesepakatan ranah sastra itu dan memulai mengerjakan apa yang selalu ingin saya tulis sejak lama, yaitu menulis sebuah buku yang sangat saya dambakan sejak berusia 21 tahun.
Sebenarnya butuh beberapa waktu untuk memulai mengerjakan novel ini, mengingat karena saya awalnya berkarir sebagai penyanyi dan pencipta lagu. Suatu saat ketika saya berusia 30 tahun, saya menderita cedera pada tangan kiri yang membuat karir saya di skena permusikan berakhir dan kenyataan itu membuat saya beralih untuk menekuni kesastraan. Debut saya di belantika sastra terjadi pada tahun 1987 melalui sebuah novel di mana dalam novel tersebut, saya mencoba menggunakan gaya penulisan yang bermain-main dengan waktu. Namun kala itu, gaya penulisan saya masih sangat terikat dengan pakem-pakem konvensional karena saya dipengaruhi oleh karya para begawan-begawan sastra sebelum saya seperti Kafka, Beckett, Duras, dan koleganya yang saya kagumi. Selang dua puluh lima tahun kemudian, saya sudah memiliki pengalaman sebagai seorang penulis yang pada akhirnya membuat saya, tanpa ragu sedikitpun, berani untuk mengkonfrontasi aib para elit-elit Belanda yang tidak tahu malu itu karena mereka sudah terlalu lama mengesampingkan isu perang era kolonial yang dilancarkan Belanda ke Indonesia. Saat ‘Sang Penafsir dari Jawa’ berhasil memenangkan penghargaan bergengsi kesastraan Belanda bernama Libris Literatuur Prijs pada tahun 2017, momentum yang saya tunggu-tunggu akhirnya terkumpul. Novel saya menjadi buku terlaris di Belanda dan membuka jalan bagi para sejarawan dan penulis lainnya yang sedang mencari gaya dan perspektif penulisan baru. Sampai hari ini, itulah kekuatan nyata suatu karya fiksi, yaitu kekuatan otonom seorang novelis untuk mengemban tugas yang diabaikan oleh para kaum terdidik.
Saya menulis ‘Sang Penafsir dari Jawa’ sesuai dengan prinsip otofiksi yang diperkenalkan oleh sastrawan Prancis Serge Doubrovsky pada tahun 1977. Otofiksi adalah suatu bentuk penulisan yang menghilangkan pertentangan antara kisah nyata dan fiksi, antara otobiografi dan novel. Keinginan saya adalah agar para pembaca dapat merasakan sebuah pengalaman membaca cerita fiksi yang berbeda, yang realitanya adalah buku itu sendiri. Pada tahun 2012, saya mengumpulkan materi-materi yang cukup banyak yang antara lain berasal dari arsip pribadi seperti kumpulan wawancara dengan ibu saya yang direkam ke dalam kaset pada Mei 1986, ada juga setumpuk lembaran – lengkap dengan foto-foto kenangan ayah saya saat dia masih remaja di Surabaya, kumpulan cerita dan kolom artikel yang relevan, dan juga catatan perjalanan saya sendiri ketika berada di Indonesia. Awalnya saya mencoba bereksperimen menulis dengan gagasan kronologis, yaitu cerita yang dimulai dari kelahiran ayah saya pada tahun 1925 hingga ajal menjemputnya pada tahun 2005. Namun dalam proses penulisan itu, saya membutuhkan seseorang untuk menghadirkan perspektif kedua ke dalam cerita tersebut, yaitu putra tertuanya Alan yang menjadi alter ego saya. Sementara itu, saya juga memerlukan karakter saksi yang memiliki sosok keibuan. Karena itulah saya membutuhkan suatu komposisi di mana saya akhirnya memilih pendekatan polifonik dan akronologis yang disusun berdasarkan bagian-bagian di mana sang figur ayah tetap dibahas tapi tidak muncul di dalam cerita. Di antara bagian pertama dan terakhir akan muncul dua bagian di mana sang ayah berbicara, dia akan merinci kengerian peperangan dengan intonasi yang seolah-olah menggambarkan dia seperti robot, tidak merasakan apapun. Kemudian ada sebuah bab di bagian tengah yang maknanya sangat dekat dengan sanubari saya dan ditulis menggunakan sudut pandang seorang anak laki-laki yang hidupnya telah dipelintir oleh jiwa ayahnya yang telah bumihangus semesta karena peperangan. Seorang anak laki-laki yang keluarganya berantakan dan menjalani masa remajanya di sebuah panti.
Proses menulis novel ini bukan suatu pekerjaan yang mudah, baik dari segi saya sendiri sebagai penulis maupun sebagai manusia. Saya tidak keberatan mengakui bahwa selama tiga tahun menulis buku ini, saya banyak menghabiskan waktu duduk-duduk minum cola di depan laptop yang akibatnya membuat kehidupan saya benar-benar terputus dari dunia luar karena keinginan saya yang besar untuk menyelesaikan buku yang telah tiga puluh tahun lamanya itu ingin saya tulis, ada juga masa di mana saya memerlukan obat penenang. Sementara itu, dari aspek penerimaan para pembaca di Belanda terhadap novel ini, saya mengerti bahwa ini adalah sebuah buku yang sebenarnya kadang kala, ingin anda kesampingkan. Namun di satu sisi, buku ini terus menggoda anda untuk tetap membacanya. Harapan saya agar buku ini dapat anda nikmati. Oh dan sebelum saya kelupaan, ada juga komedi dan tawa yang saya sisipkan di sana loh…
—
Pada tanggal 3 September 2020, sebuah penerbitan yang berbasis di London bernama ‘Head of Zeus‘ merilis edisi hardcover ‘The Interpreter from Java’, yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh David Doherty: