Author Country Media Name Year Topic , , Translator ,

Laporan Diskusi Meja Bundar

Laporan dan pertanyaan serta pernyataan diskusi Meja Bundar NIOD 31 januari 2019

Publikasi laporan: 25 maret 2019 Oleh: Histori Bersama
Laporan in dikirim kepada pemerintah Belanda, pemerintah Indonesia, serta media masa

Download Pdf: 

DAFTAR ISI
Pendahuluan
1: Fokus Penelitian
2: Kedaulatan dan Restitusi
3: Aparteid
4. Alternatif tim penulis sintesis
Kesimpulan

Pendahuluan

Pada hari Kamis, 31 Januari 2019, telah dilakukan diskusi meja bundar antara para peneliti dan direktur peneliti terkait dengan penelitian “Kemerdekaan, Dekolonisasi, Kekerasan dan Perang di Indonesia, 1945 – 1950” bersama para inisiator dan beberapa penandatangan Surat Terbuka yang mengkritik penelitian tersebut. Para pengkritik diterima di kantor Institut Pengkajian Perang, Holokos, dan Genosida Belanda (NIOD), yang berlokasi di sebuah gedung yang dibangun dengan hasil perbudakan masa kolonial di Indonesia. Pemilik gedung tersebut adalah Perusahaan Deli yang membangunnya pada tahun 1880 di Herengracht. Bangunan ini dibangun delapan tahun setelah Pemerintah Kolonial Belanda menetapkan “peraturan kuli” (kuli adalah istilah yang digunakan sebagai penghinaan rasial; di Afrika Selatan misalnya, penggunaan istilah ini dikategorikan sebagai ujaran penghinaan).

Peserta yang hadir dari para pengkritik adalah:
2 Orang inisiator surat terbuka: Francisca Pattipilohy, Jeffry Pondaag (Stichting K.U.K.B.)
10 Penandatangan Surat Terbuka: Armando Ello, Patty Gomes, Arthur Graaff, Perez Jong Loy, Sasha Mahe, Ethan Mark, Rogier Meijerink, Lara Nuberg, Marjolein van Pagee, Michael van Zeijl
2 Pelajar Indonesia di Belanda: Hadi Purnama, Yance Arizona

Peserta dari proyek penelitian:
3 Direktur: Gert Oostindie (KITLV), Ben Schoenmaker (NIMH), Frank van Vree, (NIOD)
7 Peneliti: Esther Captain (KITLV), Ireen Hoogenboom (KITLV) Rémy Limpach, (NIMH), Peter Romijn (NIOD), Fridus Steijlen (KITLV) Marjon van der Veen (NIOD), Mariëtte Wolf (NIOD)

1. Fokus Penelitian

350 tahun penjajahan kolonial

Francisca Pattipilohy menyampaikan pertanyaannya, kenapa 350 tahun eksploitasi penjajahan kolonial Belanda di Indonesia tidak menjadi titik tolak dalam penelitian ini. Esther Captain menjawab: kami memberi perhatian terhadap masa sebelum 1945 dengan menggunakan literatur. Artinya: Fokus penelitian tetap pada periode 1945 – 1950, tetapi dalam melakukan penelitian kami membawa masa penjajahan dalam pemikiran kami. Hal ini tidak cukup, yang kami permasalahkan adalah hal sepenting 350 tahun penindasan kolonial tidak disebut secara khusus pada desain penelitian ini. Oleh karena itu salah satu keberatan utama dalam surat terbuka kami tidak dijawab: yaitu bahwa kolonialisme tidak dipermasalahkan sebagai titik tolak dari penelitian ini. Oleh karena berbagai bagian studi tidak membahas permasalahan utama ini (atau hanya menyebutkannya dalam catatan pinggir), tidaklah meyakinkan mengetahui bahwa akan digunakan referensi terhadap literatur dan dokumen yang sudah ada. Yang kami khawatirkan adalah seleksi dari monografi/sub-kajian dan pokok-pokok penelitian yang tidak menjadikan kolonialisme sebagai arus utama yang dikaji. Kita mengharapkan setidaknya ada jawaban atas kekhawatiran tersebut.

Direktur NIOD, Van Vree, berpendapat: “fokus kita pada periode 1945 – 1950 karena kita telah menyangkal periode tersebut selama 60 tahun,” tetapi jawaban ini pun tidak cukup meyakinkan, karena penyangkalan dan pengabaian telah dilakukan terhadap seluruh periode penjajahan kolonial secara kolektif.

Kolonialisme selama 350 tahun harus menjadi titik utama analisis bagi mereka yang ingin memahami kekerasan fisik pada periode 1945-1950. Seperti yang diungkapkan oleh Francisca Pattipilohy dalam pesan videonya pada 13 September 2018: “Penelitian ini menganggap kolonialisme sebagai pengetahuan umum. Ilegalitas dari penjajahan Belanda (yang merupakan masalah utama) malah tidak diselidiki.”

Penting untuk ditekankan bahwa tujuan utama dari penjajahan adalah keuntungan ekonomi. Kekerasan, yang terjadi, adalah cara untuk memastikan akses atas sumber daya yang bernilai tinggi. Seperti yang dikutip oleh Michael van Zeijl dalam kredo Belanda: “Hilangnya Hindia Belanda, timbullah bencana.” Hal yang diungkapkan oleh Van Zeijl tidak bisa hanya menjadi catatan pinggir bahwa Indonesia telah membayar sekitar 4,5 miliar (Gulden) antara tahun 1950-1956 dan bahkan membayar sebagian ongkos operasi perang kolonial yang dilakukan terhadap mereka sendiri. Pembayaran oleh orang-orang yang tertindas kepada para penindasnya merupakan ilustrasi dari masalah utama: Ketergantungan ekonomi Belanda pada koloninya adalah tujuan utama untuk mengirim pasukan dan menggunakan kekerasan. Dalam kerangka awal penelitian tidak disebutkan aspek ekonomi (de-) kolonisasi sebagai bagian penting dari penelitian ini. Hanya setelah Van Zeijl mengangkat masalah ini pada saat pertemuan, tim peneliti mengakui bahwa isu pembayaran oleh Indonesia ke Belanda adalah hal penting, maka hanya setelah itu mereka berjanji untuk memasukkan isu ini sebagai bagian penting dari topik penelitian.

Dengan semua hal yang telah diungkap, kami menganggap kompetensi para peneliti Belanda sangat meragukan. Ketika mereka tidak dapat menjawab pertanyaan sederhana pada pertemuan meja bundar, ‘Apakah Indonesia telah membayar atau tidak?’. Pembayaran yang dilakukan oleh Indonesia kepada Belanda bukanlah masalah rumit. Tampaknya masalah ini sengaja dibuat tidak jelas, oleh para sejarawan yang membantu membela kepentingan negara Belanda.

Michael van Zeijl, yang bukan sejarawan profesional, menemukan bukti yang sangat penting. Dia menemukan bukti yang jauh lebih buruk daripada yang diperkirakan hingga kini: yaitu, bahwa Indonesia (tanpa mereka sadari) telah membayar sebagian dari  ‘aksi polisional’ (perang penjajahan 1947 dan 1948). Hanya setelah pemerintah Indonesia mengetahui hal ini pada tahun 1956, mereka menghentikan pembayarannya. Sumber Belanda yang ditemukan Van Zeijl  mengaitkan hubungan antara keputusan Indonesia untuk menasionalisasi semua perusahaan Belanda dengan pembayaran hutang yang nilainya melebihi jumlah hutang. Sangat tipikal bahwa selama bertahun-tahun para sejarawan Belanda belum berhasil mengungkap kebenaran tentang pembayaran ini. Hal ini bukan sesuatu pendapat yang bertentangan. Masalahnya sederhana, apakah Indonesia telah membayar atau tidak, tidak bisa dua-duanya. Lagi pula pemerintah Belanda sangat berkepentingan bahwa pembayaran Indonesia dari tahun 1950-an tidak pernah jelas dan tidak pernah diperjelas.

Pertanyaan yang tetap mengganjal adalah: Mengapa kolonialisme tidak menjadi tema utama dan penting di dalam keselurahan sub-kajian dan juga pokok penelitian. Mengapa tidak ada bagian yang khusus membahas sejarah latar belakang kolonialisme? Meindert van der Kaaij membahas dampak sosial dari kolonialisme terhadap masyarakat Belanda dalam penelitiannya. Jadi mengapa hal yang serupa tidak dilakukan terhadap sejarah sebelumnya?

Pada pertemuan meja bundar tidak menjadi jelas pula apa yang dimaksud dengan istilah kolonialisme (penjajahan) dan definisi apa yang digunakan oleh tim peneliti.

Pada saat diskusi Direktur KITLV, Gert Oostindie menyatakan bahwa tidak ada di antara mereka yang berfikir Belanda mempunyai hak untuk menjajah, tetapi gagasan bahwa istilah Hindia Belanda adalah sesuatu yang ilegal tidak ditemukan baik di website penelitian ini ataupun di dalam desain penelitian. Menurut Oostindie tidak perlu istilah ilegal dari penjajahan disebutkan, karena hal tersebut sudah sangat nyata. Apakah itu benar? Kita berpendapat bahwa masyarakat Belanda secara umum hampir tidak mempunyai gambaran terhadap keadaan yang terjadi di Asia ataupun di bagian dunia yang lain, selama berabad-abad, apalagi memahami bahwa kekayaan Belanda yang di dapatkan adalah hasil dari perampokan, perbudakan dan penjajahan. Banyak orang (termasuk sejarawan) masih berpendapat bahwa VOC adalah hanya perusahaan dagang saja. Pokok-pokok penelitian dan fokus kajian seolah-olah melihat keberadaan penjajahan sebagai suatu hal yang wajar. Para peneliti ini berbicara seolah-olah hanya satu hal yang bisa dituduh Belanda sebagai kesalahan, yaitu kekerasan yang digunakan saat Belanda berusaha  menjajah kembali Indonesia, setelah Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya. Mereka mengatakan bahwa sebetulnya tidak ada permasalahan sama sekali, bila Belanda lebih awal telah mengakui bahwa masa penjajahan dan berkolonisasi telah berakhir. Cara berpikir seperti ini memberikan kesan bahwa penjajahan sebelum tahun 1945 adalah suatu hal yang benar dan lumrah. Maka karena itulah, setelah kami mengkritik, dengan membuat pernyataan di website bahwa penjajahan adalah tidak benar, bukan merupakan solusi. Yang penting adalah bahwa penjajahan Belanda adalah hal yang ilegal tidak menjadi titik tolak penelitian sebagai titik awal, permasalahan inti dari penelitian. Desain penelitian memberikan kesan bahwa para peneliti hanya menganggap bahwa tentara Belanda melakukan kejahatan perang antara 1945 – 1950 sebagai masalah.

Singkatnya: keberatan utama kami adalah bahwa penelitian ini tidak menyebut bahwa masa penjajahan secara keseluruhan merupakan bagian inti dari kerangka teori penelitian ini. Faktanya, kerangka teori yang digunakan dalam penelitian ini sangat tidak jelas. Ketidakjelasan kerangka teori tidak dapat diterima dalam standar akademik. Kami mengharapkan program penelitian dapat memformulasikan secara jelas dan transparan pokok permasalahan: Penelitian studi bagian (sub-kajian) menggunakan struktur konsep apa yang menjadi titik tolak pembahasan materi-materi?

Bersiap sebagai titik tolak

Bahwa kami mempermasalahkan tahun 1945 sebagai titik tolak adalah karena cara  penggunaan tindakan kekerasan anti-kolonial oleh Indonesia untuk mengesampingkan (‘derailen’)  permasalahan, dengan maksud mengatakan bahwa “ketika ada dua kelompok yang berperang, maka keduanya bersalah.” Partai liberal Belanda VVD hanya ingin mendanai penelitian ini dengan syarat bahwa kekerasan yang dilakukan oleh Indonesia diinvestigasi juga, jelas dengan niat untuk mengurangi perasaan bersalah pihak Belanda. Dalam konteks ini Direktur KITLV Gert Oostindie berkali-kali menyatakan mengenai “mitos dasar” (founding myth) dari Republik Indonesia: ‘Bersiap sebagai isu sensitif yang menurut beliau tidak ingin diketahui karena akan merusak narasi nasionalisme Indonesia’. Terlepas bagaimana Oostindie mengetahui ini (karena dia juga tidak dapat berbahasa Indonesia), dia berfikir bahwa hubungan antara penindas dan ditindas sangat semu, atau tidak ada sama sekali, pada saat kekerasan anti-kolonial menjadi subyek penelitian. Pada 9 Februari 2017, Van Vree menulis surat ke parlemen Belanda bahwa penelitian mengenai Bersiap bertujuan untuk: Memetakan dampak psikologis bagi tentara dan warga negara Belanda, dan mempertanyakan pengertian dari Bersiap sebagai faktor penting dalam peperangan yang terjadi berikutnya.”

Pernyataan ini  merupakan ilustrasi dari permasalahan tidak dikaitkannya eksploitasi sistim kolonial selama 350 tahun. Van Vree memutar balik keadaan dengan menempatkan kekerasan anti-kolonial oleh Indonesia terlebih dahulu untuk menjustifikasi kekerasan tentara Belanda selanjutnya, sebagai dampak psikologis dari kekerasan anti kolonial. Jawaban yang diberikan terhadap pertanyaan Ibu Pattipilohy terkait dengan periode sebelum Bersiap adalah: “karena Bersiap adalah peride yang penting untuk dipahami.” Jawaban yang sangat tidak jelas lagi. Karena bagaimana Van Vree dapat memahami periode Bersiap jika beliau menempatkan kekerasan anti-kolonial sebagai pemicu dari kejahatan perang  tentara Belanda? Lebih lanjut, Ibu Pattipilohy tidak mendapatkan jawaban yang jelas terkait dengan uraiannya bahwa Bersiap baru mulai sejak tentara Inggris mendarat di Indonesia.

Selain itu, siapa yang dimaksud oleh Van Vree dengan warga negara/warga sipil? Apakah dia hanya merujuk pada mereka yang mempunyai status sebagai orang Eropa? Atau maksud beliau dampak terhadap masyarakat Indonesia? Dan siapakah mereka itu? Masyarakat Belanda atau masyarakat Indonesia?

Terkait dengan dampak psikologis terhadap manusia, sangat penting untuk menyelidiki dan memetakan dampak penindasan, eksploitasi, rasisme, seksisme dan politik adu-domba untuk memecah belah dari rezim kolonial Belanda yang dilakukan selama berabad-abad  terhadap masyarakat Indonesia. Justru dalam konteks penelitian Bersiap dampak psikologis penindasan kolonial selama 350 tahun ini  tidak hanya mungkin hanya dijadikan catatan pinggir semata. Ketika Presiden Sukarno memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, solidaritas adalah tujuan penting yang didengungkan oleh Republik baru sebagai cara untuk menandingi dampak akibat sistim adu-domba pemerintahan kolonial. Selama berabad-abad rezim kolonial Belanda mengadu domba berbagai kelompok adat satu sama lain. Mayoritas penduduk lokal terpaksa hidup dalam sistem apartheid yang menempatkan mereka di bagian terbawah sistem hukum  yang rasis berdasarkan ras dan kelas. Jika aspek ini tidak diteliti dan dianalisis secara eksplisit, tim peneliti Belanda tidak akan pernah dapat memahami Bersiap. Apalagi selama pemimpin proyek dan direktur NIOD Van Vree memutar balik isu ini, dengan menyatakan secara tertulis bahwa fungsi utama penelitian tentang Bersiap adalah untuk menyelidiki efek psikologis militer Belanda dan warga negara (hanya orang-orang Eropa/Belanda?).

Apakah tim peneliti memahami pernyataan resmi pemerintah Republik Indonesia pada tahun 1945 yang oleh pemerintah Indonesia diserukan kepada masyarakat untuk tidak memendam permusuhan terhadap orang Indo-Eropa, Maluku atau Menado, karena mereka juga termasuk penduduk Indonesia? Hal ini sangat bertentangan dengan kebijakan anjuran adu-domba yang tetap diterapkan oleh Belanda setelah 17 Agustus 1945. Selama Perang Indonesia Merdeka, Gubernur Jenderal Belanda Van Mook menerapkan kebijakan federasi aktif di mana daerah-daerah di luar Jawa dijanjikan kemerdekaannya, tentu saja di bawah Kerajaan Belanda. Sangat jelas bahwa Belanda melakukan itu semua untuk menghancurkan persatuan Republik Indonesia.

Menurut  Esther Captain, Periode Bersiap adalah fokus penting bagi orang-orang keturunan Indo-Eropa di Belanda. Apakah ini berarti bahwa sub-studi Bersiap dirancang khusus untuk memfasilitasi kelompok minoritas ini? Dilihat dari komposisi Kelompok Masyarakat Pengamat (Social Resonance Group), tampaknya benar, karena saat ini hanya terdiri dari organisasi ‘Indo-Eropa’ dan veteran Belanda. Juga tidak jelas mengapa Ester Captain membandingkan kekerasan selama pendudukan Jepang dengan kekerasan pada periode Bersiap di Indonesia yang menurutnya jauh lebih buruk. Apakah  tujuan dari perbandingan ini? Bahwa sudah jelas terjadinya kekerasan merupakan hal yang mengerikan dan tidak diinginkan, yang penting adalah melacak apa penyebabnya.

Dari sudut pandang kami, Belanda sebagai penjajah kolonial untuk 100% bertanggung jawab atas terjadinya konflik, termasuk Bersiap. Para korban Bersiap merupakan korban kolonialisme Belanda juga. (Terlepas dari pertanyaan tentang siapa orang-orang yang bertanggung jawab atas kekerasan anti-kolonial: apakah mereka ‘orang Indonesia’ atau ‘warga’ Belanda, karena pemerintah Belanda sampai hari ini tidak mengakui secara hukum 17 Agustus 1945.) Kami menyatakan bahwa bila kekerasan antikolonial diteliti, dalam penjelasannya dicantumkan paling sedikit tiga faktor-faktor sebagai berikut:

  1. Pengaruh serta dampak dari periode sebelum 1945: 350 tahun eksploitasi kolonial dan rasisme;
  2. Pengaruh serta dampak terhadap perkembangan tahun 1945 terkait dengan: penolakan Belanda untuk mengakui proklamasi dengan serius, fakta bahwa kekerasan Bersiap terjadi setelah pasukan kolonial Inggris mendarat. Juga memperhitungkan bahwa rantai kekerasan tidak terjadi di satu pihak: pada pemboman oleh Inggris di Surabaya 10 November 1945 misalnya sepuluh ribuan masyarakat Indonesia tewas.
  3. Terakhir, Bersiap bukan hanya tentang perasaan balas dendam; tetapi tentang ketakutan yang nyata bahwa Belanda akan kembali sebagai penjajah. Dan ketakutan ini ternyata benar. Sebuah studi yang bertujuan untuk menjelaskan kekerasan anti-kolonial juga harus mengikutsertakan faktor ‘ancaman nyata’ sebagai penyebab terjadinya tindakan kekerasan. Belanda secara terus menerus melanggar kedaulatan Indonesia sampai dengan tahun 1949.

2. Kedaulatan dan Restitusi

Pengakuan Hukum 1945

Selama diskusi meja bundar, Rémy Limpach dan Peter Romijn mengatakan bahwa mereka melihat 1945 sebagai ‘fakta sejarah’ yang penting. Namun, diskusi bukan tentang hal tersebut. Bahkan negara Belanda pun mengakui bahwa 1945 adalah fakta sejarah. Tentu saja, memang fakta sejarahlah bahwa Sukarno mendeklarasikan kemerdekaan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1945. Tidak ada yang bisa menyangkal hal itu. Namun masalah yang kami angkat berkaitan dengan penolakan pemerintah Belanda untuk secara hukum mengakui kemerdekaan pada tahun 1945. Menurut pandangan kami, sejarawan Belanda memiliki tanggung jawab untuk menjelaskan bahwa hukum yang mengakui kemerdekaan di tahun 1949 tidak pernah berubah. Setelah tahun 2005 ketika Menteri Luar Negeri Belanda Ben Bot menghadiri Hari Kemerdekaan Indonesia dan berbicara tentang ‘penyesalan’, tidak ada yang berubah sedikit pun. Dalam tuntutan hukum, yang diluncurkan oleh yayasan K.U.K.B. diluncurkan atas nama korban kejahatan perang Belanda oleh orang Indonesia, pengadilan Den Haag juga berbicara tentang “subyek Belanda.” Singkatnya: pengakuan secara verbal tentang kemerdekaan 1945 sebagai fakta sejarah hanya sekedar dan mengabaikan fakta sejarah, seperti yang dinyatakan oleh Rogier Meijrink pada diskusi. Selama para sejarawan Belanda tidak menjelaskan bahwa pemerintahan mereka masih mengacu pada 1949, mereka tidak dapat menggunakan istilah ‘Indonesia’ untuk periode 1945-1949, hanya karena benar secara politik. Dalam pandangan kami jika mereka berbicara tentang ‘Indonesia’ tanpa menjelaskannya, itu adalah kepalsuan sejarah, kamuflase kenyataan. Namun, jika para peneliti secara hukum mengakui 17 Agustus 1945 dan menjelaskannya, mereka menggunakan istilah ‘Indonesia’ secara tepat. Akan tetapi dampaknya adalah saat kedatangan Inggris dan kemudian Tentara Belanda di Indonesia harus dianggap sebagai serangan negara asing terhadap negara yang berdaulat, ini merupakan kejahatan perang. Konsekuensi hukum tentang masalah ini perlu diteliti dalam penelitian ini.

Yang menarik perhatian adalah bahwa para peneliti Belanda mengambil jarak dari segala konsekuensi hukum dan / atau politik dari penelitian mereka sebagai sejarawan. Ini adalah posisi yang tidak dapat dipertahankan. Subjek dan hasil dari penelitian ini bersifat politis dan akan dipergunakan sesuai dengan kepentingannya. Pada saat ini pun pemerintah Belanda menggunakan program penelitian ini  dalam komunikasinya dengan K.U.K.B. untuk menghindari pertanyaan. Pemerintah Belanda ingin memberi kesan bahwa dengan mendanai penelitian ini mereka telah cukup bertanggung jawab dan bahwa setelah empat tahun maka akan jelas bagaimana seharusnya menghadapi sejarah ini. Sementara itu, secara terus-menerus menolak secara hukum klaim yang diajukan oleh orang-orang tua warga Indonesia yang menjadi korban kejahatan perang Belanda.

Para peneliti Belanda mengakui pengaruh kepentingan politik Belanda terkait dengan ‘Daftar tindakan Berlebihan’ (list of excesses) yang disusun pada tahun 1969. Namun, saat mereka sendiri melakukan penelitian yang didanai oleh pemerintah, mereka memberi alasan  hanya ‘melakukan pekerjaan mereka’ dan mengklaim bahwa mereka tidak berurusan dengan politik. Menanggapi pertanyaan-pertanyaan dari Arthur Graaff, Oostindie secara harfiah menyatakan: “Kami tidak berurusan dengan hukum Belanda.” Tapi apakah benar begitu? Jika sejarawan Belanda mengakui tanggal 17 Agustus 1945, maka itu berarti mereka percaya bahwa Belanda telah menyerang negara  yang berdaulat, itu merupakan kejahatan perang. Selanjutnya mereka perlu menjelaskan bahwa mereka, sebagai sejarawan, mempunyai pendapat yang berbeda dengan pemerintah Belanda dan pengadilan Belanda di Den Haag, yang juga berangkat dari gagasan bahwa orang Indonesia adalah ‘subyek’ di bawah hukum negara Belanda sampai dengan tahun 1949. Dengan tetap mengaburkan masalah ini, serta mengabaikan diskusi tentang pengakuan secara hukum, para peneliti memfasilitasi pemerintah Belanda yang sangat berkepentingan untuk mengakhiri diskusi tentang permasalahan ini, dengan kehadiran mantan Menteri Luar Negeri Belanda Ben Bot pada Hari Kemerdekaan Indonesia pada tahun 2005. Walaupun Limpach dan Romijn melihat proklamasi 1945 sebagai fakta sejarah yang penting, masih belum jelas dari perspektif mana mereka akan menguraikan perang kolonial: apakah sebagai serangan oleh negara asing terhadap negara yang berdaulat, atau serangan itu adalah serangan oleh rezim kolonial terhadap mereka yang masih dianggap sebagai ‘subyek’’ negara Belanda? Dari sudut pandang Indonesia, pendudukan Jepang mengakhiri dominasi penjajahan Belanda: ketika rezim kolonial Belanda menyerah pada bulan Maret 1942. Bagaimanapun juga kita masih mengharapkan jawaban yang jelas atas pertanyaan-pertanyaan yang diuraikan di atas mengenai pengakuan secara hukum tahun 1945.

Restitutsi

Selama diskusi meja bundar, Jeffry Pondaag menunjukkan dokumen dari kasus-kasus pengadilan dimana keterlibatan NIMH disebut sebanyak dua belas kali. Terkait dengan hal tersebut, Direktur NIMH, Ben Schoenmaker tidak menyangkal bahwa lembaganya memang terlibat dan mendukung pemerintah Belanda dalam kasus-kasus pengadilan. Namun, ia membantah bahwa ini berarti bahwa lembaganya mewakili para pelaku dan bukan korban, meskipun NIMH berada langsung di bawah Kementerian Pertahanan. Namun Schoenmaker menyatakan posisi independen NIMH. Seperti diketahui tuntutan hukum yang diajukan oleh keluarga Indonesia dari korban kekerasan Belanda yang pada saat ini sedang diteliti dalam penelitian ini yang didanai sebesar 4,1 juta Euro. Dengan demikian NIMH memainkan peran ganda: NIMH berpartisipasi dalam penelitian pada 1945-1950 ini, tetapi juga membantu negara dalam verifikasi sejarah atas gugatan hukum. Sayangnya NIMH dalam tugasnya hanya mencari bukti di arsip Belanda, berkaitan dengan kasus-kasus di pengadilan. NIMH tidak melakukan penelitian di Indonesia. Sebagai contoh, misalnya kasus pemenggalan kepala pemimpin perlawanan Indonesia Andi Abubakar Lambogo, yang saat ini sedang disidang di pengadilan di Den Haag.

Masalah peran ganda yang dimainkan oleh NIMH sejalan dengan pertanyaan yang diajukan oleh Hadi Purnama, yang salah dipahami oleh Peter Romijn. Mengikuti apa yang dikatakan Pondaag, terkait dengan konsekuensi tidak diakuinya kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945, Hadi Purnama menambahkan bahwa hukum internasional, pada awalnya, didasarkan pada kolonialisme. Dia menyatakan bahwa bagaimanapun juga hasil penelitian akan membawa dampak hukum berkaitan dengan kompensasi. Sekalipun para peneliti berpegang teguh pada tahun 1949, seperti halnya pemerintah Belanda, maka orang-orang Indonesia dapat mengklaim hak mereka melalui pengadilan Belanda. Peter Romijn, di sisi lain, berpendapat bahwa Purnama berbicara tentang perubahan tatanan dunia yang diabaikan oleh Belanda pada saat itu. Romijn mengatakan dia ingin duduk bersama Hadi Purnama untuk membicarakan lebih banyak tentang ini. Pertanyaan kami adalah apakah para peneliti, yang terlibat diskusi ini, dapat menanggapi isu yang diajukan oleh Purnama: kemungkinan mendapatkan restitusi dan posisi para peneliti untuk memfasilitasi isu ini. Karena direktur NIMH, Schoenmaker mengklaim bahwa ketiga institusi dalam penelitian ini tidak selalu mewakili pemerintah Belanda dan mereka (peneliti) independen sebagai akademisi.

Pertanyaan terakhir, yang diajukan oleh Annemarie Toebosch dalam pesan videonya. Dia menyarankan agar para peneliti duduk bersama dengan Jeffry Pondaag dan pengacara Liesbeth Zegveld untuk mendiskusikan semua dokumen penting yang digunakan di pengadilan dalam penelitian ini. Setelah itu kami menerima tanggapan tertulis sebagai berikut:

Peneliti kami mempelajari semua arsip yang relevan, termasuk tuntutan hukum ini dan – yang lebih penting – dokumentasi yang digunakan. Karena itu kami senang bahwa K.U.K.B. telah berjanji bahwa kami dapat melihat dokumen-dokumen ini.

Bahwa K.U.K.B. akan memberi izin kepada peneliti untuk menggunakan arsipnya merupakan kesalahpahaman. Toebosch secara eksplisit menganjurkan agar NIOD duduk bersama Pondaag dan Zegveld terlebih dahulu. Itu berarti berkomunikasi, berdialog secara serius. Hal ini membutuhkan kepercayaan dari para pihak. Merujuk pada surat terbuka yang  menjelaskan betapa sedikitnya kepercayaan Pondaag terhadap desain penelitian ini, jelaslah bahwa selama tidak ada perubahan pada penelitian ini sesuai dengan keberatan yang dia ajukan, pembicaraan tentang arsipnya tidak memungkinkan.

Sayangnya ini bukan pertama kalinya terjadi kesalahpahaman tentang penggunaan arsip yang dimiliki oleh Jeffry Pondaag. Sebelumnya pada Mei 2017 (bahkan sebelum proyek resmi dimulai) Fridus Steijlen mengunjungi Jeffry Pondaag di rumahnya, dimana dia menyatakan tertarik dengan arsip yang dia miliki. Steijlen kemudian menulis di blog situs proyek penelitian ini: “saya bisa menjelaskan bahwa kami, para koordinator dari proyek kesaksian sudah sejak Mei 2017 menghubungi ketua K.U.K.B. untuk bekerja sama.” Rupanya pengertian Steijlen tentang’kerja sama’ dengan Pondaag adalah membagi dokumennya dengan para peneliti yang berpartisipasi dalam penelitian, yang sejak awal tidak dipercayainya.

Apartheid

‘Penyangkalan warna’ rasisme

Kami berasumsi bahwa pusat-pusat studi yang berspesialisasi dibidan  penjajahan kolonial dan studi genosida melakukan penelitian ilmiah mengenai ras dan rasisme. Kami juga berpikir bahwa para akademisi yang bekerja pada pusat studi tersebut memahami secara mapan berbagai bentuk rasisme, di masa lampau dan hingga kini. Oleh karena itu kami tidak bisa menerima kenyataan bahwa rasisme (yang merupakan dasar dari kolonialisme) tidak menempati posisi utama sebagai sub-studi atau titik tolak penelitian. Kami telah mengajukan pendapat kami mengenai tema ini pada nomor 9 dalam lampiran surat terbuka, akan tetapi sampai saat ini belum mendapatkan reaksi.

Sehubungan dengan kekerasan Belanda antara 1945-1949 Van Vree menyatakan tertarik pada epistemologi penyangkalan (epistemology of denial) (penolakan Belanda membahas 1945-1949). Kami melihat bentuk penyangkalan lain berkaitan dengan rasisme. Selama diskusi berlangsung sangat jelas bahwa para peneliti sama sekali tidak menyadari posisi rasial-sosial mereka sendiri. Van Vree dan para peneliti lainnya tidak menunjukkan kesadaran terhadap situasi rasial. Kami akan menyebut fenomena rasisme ini sebagai ‘penyangkalan warna’ (umumnya disebut dengan istilah ‘buta warna’). Kami telah mengamati hal ini baik dalam pokok-pokok studi itu sendiri, maupun dari tim peneliti dalam pertemuan tanggal 31 Januari. Kami akan memberikan beberapa contoh penyangkalan warna rasisme yang kami alami dan saksikan.

Pertama kami melihat ke tidaksadaran, atau setidaknya sifat bungkam, tentang gedung yang eksplisit kolonial  yang dihuni NIOD. Dengan pengetahuan penuh tentang latar belakang ruang tersebut, tidak nampak adanya pertimbangan bahwa hal ini mungkin merupakan suatu hal yang peka untuk para penandatangan surat terbuka. Baru setelah seseorang kulit berwarna mempersoalkannya, komentar salah seorang adalah bahwa hal itu merupakan ‘diskusi yang menarik’. Akan tetapi sejarah gedung NIOD sama sekali bukan hal yang menarik bagi orang-orang kulit berwarna di sana: hal itu menyakitkan. Contoh ini adalah penyangkalan warna rasisme.

Kedua, komentar mengenai akibat psikologis dari rasisme kolonial yang dialami secara pribadi, seperti yang diungkapkan oleh Fia Hamid-Walker seorang wanita kulit berwarna cokelat, sama sekali tidak ditanggapi oleh tim peneliti. Kemudian tanggapannya tentang kemungkinan adanya perbedaan kewibawaan antara tim Indonesia dan Belanda, oleh tim peneliti secara menghakimi diabaikan. Baik pengabaian masukan dari Fia, maupun  menghakiminya merupakan contoh dari rasisme-penyangkalan-warna. Mereka yang terlatih dengan permasalahan rasisme memahami secara gamblang adanya rasisme dibalik pernyataan-pernyataan seperti “kita tidak melihat ras”, atau “ras bukanlah masalah”, atau “dinamika ras dan ketidaksetaraan bukanlah masalah”.

Ketiga, Mariette Wolff berkomentar bahwa pengucilan Jeffry Pondaag pada kelompok pengamat masyarakat adalah karena kelompok itu hanya untuk organisasi payung “Belanda”. Pernyataan ini sangat bermasalah, karena penelitian ini mengklaim menggunakan modus yang bersifat inklusif serta kesetaraan dengan tim peneliti Indonesia. Pengucilan seseorang yang berpengaruh seperti Jeffry Pondaag pun bertolak belakang dengan pernyataan bahwa penelitian ini mengikutsertakan perspektif Indonesia dalam prosesnya. Kenyataannya yang tidak mungkin disangkal adalah satu-satunya organisasi berbasis di Belanda yang mewakili korban kejahatan perang Indonesia, tidak diajak untuk terlibat dalam Kelompok pengamat masyarakat. Pondaag sebagai ketua K.U.K.B. tidak diundang untuk berbicara di dalam acara peluncuran penelitian. Kesalahan ini tidak mungkin dibenarkan atau diubah lagi.

Walaupun berbagai peneliti mungkin (dalam beberapa artikel opini) menyerukan untuk mendengarkan suara ‘orang Indonesia’, atau para pemimpin program penelitian dapat mengatakan bahwa mereka melihat sejarawan Indonesia sebagai mitra yang setara, namun semua itu hanya perkataan hampa belaka, selama pengabaian dan pengucilan Jeffry Pondaag dari awal peluncuran penelitian tidak diakui sebagai tindakan rasisme. Perlakuan terhadap Pondaag tersebut juga merupakan contoh dari rasisme-penyangkalan-warna.

Mereka tidak melihat masalah pengucilan Pondaag adalah contoh lain dari rasisme-penyangkalan-warna. Melibatkan sejumlah peneliti Indonesia dalam sub-studi (yang namanya masih belum diketahui publik dan yang tidak secara terbuka bersikap kritis) tidak dapat menjadi alasan untuk mengabaikan suara Indonesia yang kritis seperti Pondaag. Terlepas dari kenyataan itu juga Nyonya Pattipilohy terus diabaikan sejauh ini, dan dalam korespondensi tidak disebut sebagai salah satu inisiator dari surat terbuka. Bahwa Pondaag pada pertemuan publik kedua, setelah pertukaran email yang panjang dan rumit, diberikan waktu sepuluh menit untuk berbicara, tidak dapat dijadikan alasan bahwa faktanya ia semula dikucilkan.

Akhirnya, sangat tipikal bahwa tampaknya para peneliti tidak menyadari bahwa sebagian besar pengkritik penelitian yang hadir pada pertemuan meja bundar adalah orang non-kulit putih, berbeda dengan komposisi tim mereka. Nyonya Pattipilohy bahkan hadir sebagai satu-satunya saksi mata orang Indonesia dari periode yang diselidiki. Mengingat perbandingan yang tidak seimbang dalam hal representasi, bukankah seharusnya mustahil bahwa jawaban tertulis yang sangat luas dan terperinci dari pihak tim peneliti berfokus pada video 7 menit dari seorang akademisi berkulit putih. Perilaku ini juga merupakan contoh dari tidak adanya pengertian atau tidak sanggupnya memahami rasisme-penyangkalan-warna. Penjelasan panjang dan serius terhadap kritik dari orang kulit putih sangat bertentangan dengan tanggapan tertulis yang sangat singkat terhadap tuntutan konkret dan terperinci oleh Michael van Zeijl (De Grauwe Eeuw). Sebagai respons para peneliti hanya menyatakan bahwa Michael van Zeijl memang mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang penting “yang sebagian besar akan ditangani dalam program penelitian.” Dengan demikian, semua tuntutannya direndahkan hanya sebagai saran, dan hal itu pun tidak tepat. Topik yang dia bahas nyatanya sama sekali tidak muncul dalam desain program serta pokok permasalahan penelitian ini. Bagaimanapun, mengabaikan masukannya sebagai orang yang tidak berkulit putih (yang bertentangan dengan jawaban luas dari pertanyaan yang diajukan oleh orang kulit putih) adalah contoh rasisme-penyangkalan-warna. Perilaku pengabaian juga diterapkan terhadap pesan video Fia Hamid-Walker, serta menyalalah tafsirkan pertanyaan Hadi Purnama. Kami berharap bahwa semua pertanyaan yang diajukan oleh orang non-kulit putih akan menerima perlakuan yang sama seperti yang diberikan kepada yang berkulit putih.

Seksisme

Kami merasa heran bahwa gender tidak disebutkan dalam desain penelitian. Walaupun (KNIL) para tentara terdiri dari laki-laki, itu tidak berarti bahwa peran perempuan tidak berarti dalam perang dan kekerasan. Rasisme dan seksisme terkait erat. Perkosaan adalah bentuk kekerasan terhadap perempuan yang sering terjadi dalam aksi militer. Selebihnya, konsep ‘wanita penghibur’ dan ‘nyai’ merupakan pelanggaran hak asasi perempuan dan adalah bagian dari sistim rezim kolonial. Namun perempuan Indonesia juga memainkan peran penting dalam perjuangan kemerdekaan. Jika penelitian ini benar-benar ‘inklusif’ dan membawa perspektif Indonesia, penting untuk secara eksplisit menyebutkan nasib dan peran perempuan.

Sayangnya, berdasarkan contoh-contoh itu, kami harus menyimpulkan bahwa kami tidak yakin pada pengetahuan dan keterampilan tim peneliti ini ketika dihadapkan pada persoalan ras, rasisme dan hal yang berkaitan dengan seksisme.

Tim Peneliti Indonesia

Dalam pesan videonya Fia Hamid-Walker meminta perhatian terhadap keberlanjutan sikap kolonial dan menjelaskan bahwa banyak orang Indonesia masih cenderung memandang ke atas terhadap orang kulit putih dan cenderung mengikuti cara pandang mereka, sebagai akibat dari pengaruh zaman kolonialisme, dimana orang berkulit putih dijadikan contoh untuk masyarakat Indonesia. Dia menyebut para peneliti Indonesia sebagai orang yang “berwajah cokelat dengan topeng putih,” mengacu pada Frantz Fanon. Sangat menyedihkan melihat bahwa Van Vree, seorang pria kulit putih, tidak sanggup untuk menangkap apa yang dimaksud Frantz Fanon dengan kata-kata tersebut dan tidak dapat menunjukkan bentuk refleksi diri, dia bahkan sebaliknya menilai ucapan Fia sebagai penghinaan bagi para peneliti Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa Van Vree tidak memahami masalah yang dibicarakannya atau bahwa dia tidak menganggap serius masalah yang diajukan oleh Fia. Faktanya, reaksi Van Vree menggambarkan bagaimana politik ‘adu domba’ terus berlangsung, apakah dia menyadarinya atau tidak. Sebagai orang kulit putih, ia menampilkan dirinya sebagai pusat netralitas, yang lebih menghargai pendapat para peneliti non-kulit putih dalam program penelitiannya daripada pendapat orang kulit berwarna yang berani melawan visi dominan orang kulit putih. Van Vree tampaknya lupa bahwa dengan 4,1 juta Euro uang penelitian, posisinya dominan. Dengan reaksinya ia menggunakan taktik adu domba di antara orang Indonesia untuk menjustifikasi proyek penelitian ini.

Lagi pula, tidak ada orang Indonesia yang hadir pada saat penelitian ini diluncurkan. Bahkan sebagian dari peserta dalam ruangan itu menganggap aneh bahwa seseorang seperti Jeffry Pondaag (dalam posisinya sebagai seorang perintis) bukanlah salah satu pembicara. Orang Indonesia yang hadir tidak dapat berpartisipasi dalam diskusi karena kendala bahasa, acara tersebut sepenuhnya dalam bahasa Belanda. Mengapa kenyataan ini disangkal pada diskusi meja bundar pada 31 Januari 2019? Oostindie memutarbalikkan persoalannya dengan mengatakan bahwa dia membutuhkan waktu satu setengah tahun untuk mengundang kami ke meja pertemuan. Yang benar adalah bahwa ia sengaja mengabaikan Pondaag pada awalnya. Tidak dapat dipungkiri dan tidak dapat disangkal bahwa kerangka penelitian ini diwujudkan tanpa masukan dari orang Indonesia, para peneliti Indonesia baru diundang pada tahap selanjutnya. Para peneliti Indonesia saat ini hanya terlibat dalam sub-studi. Ketika kami mempresentasikan surat terbuka itu sebulan kemudian Oostindie mengatakan bahwa keberatan kami “terlalu aneh untuk ditanggapi”. Setelah itu dia tidak pernah berusaha menghubungi kami. Satu-satunya alasan kami duduk di meja pada tanggal 31 Januari adalah karena komunikasi lewat email yang panjang dan sulit antara Jeffry Pondaag dan Fridus Steijlen. (Perhatikan bahwa hanya setelah komentar dari Pondaag bahwa Fridus Steijlen bukan pemimpin proyek, Van Vree menghubunginya dan setelah itu koordinator proyek Mariëtte Wolf mengambil alih komunikasi.)

Sampai hari ini bentuk kerja sama yang tepat antara peneliti Belanda dan Indonesia masih belum jelas. Selama acara peluncuran proyek penelitian, tim Belanda mengutarakan bahwa kerja sama dengan para sejarawan Indonesia sangat erat. Delegasi peneliti Belanda, termasuk Oostindie, melakukan perjalanan beberapa kali ke Yogyakarta untuk bertemu dengan tim Indonesia. Namun, profesor Bambang Purwanto ternyata menuntut tim peneliti Indonesia yang terpisah dan independen. Ini sangat membingungkan, karena, apakah penelitian ini suatu kerja sama yang erat atau dua proyek yang sepenuhnya terpisah? Bagaimanapun juga, ada suatu yang bertentangan pada cara kerja sama ini dipresentasikan, disatu sisi dinyatakan bahwa tim peneliti Indonesia sepenuhnya independen, tetapi disisi lain dikatakan bahwa ada kerja sama dan rencana untuk bersama menerbitkan kumpulan makalah. Pada diskusi meja bundar Ireen Hoogenboom menyampaikan bahwa para peneliti Indonesia saat ini sedang mengerjakan situs web mereka sendiri, yang akan segera online, akan tetapi jawaban tertulis dari pertanyaan dari Lara Nuberg berbunyi:

“Sub-penelitian ‘Studi Regional’ dan sub-penelitian ‘Kekerasan, Bersiap, Berdaulat’ bekerja sama dengan para peneliti dari Indonesia terutama dengan menyelenggarakan lokakarya gabungan. Melalui lokakarya tersebut, para peneliti bisa saling berbagi sumber, bertukar pendapat dan sudut pandang, berbincang tentang rujukan penelitian, historiografi, serta istilah-istilah yang lazim digunakan. Sub-penelitian ‘Studi Regional’ beserta tim peneliti Indonesia berencana menerbitkan sebuah buku edited volume (jilid suntingan) bersama-sama. Buku tersebut akan diterbitkan dalam bahasa Indonesia, Inggris, dan Belanda. Tim peneliti Indonesia juga berencana menerbitkan sebuah buku tersendiri yang akan dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggris dan Belanda.”

Apakah itu kerja sama atau tidak? Kami ingin mengetahui bagaimana hasil dari sejarawan Indonesia akan dibandingkan dengan hasil Belanda, karena perspektifnya mungkin berbeda.

Apakah para peneliti Belanda mengetahui mengapa Bambang Purwanto menuntut adanya tim yang terpisah dan independen? Mungkinkah karena dia tidak sepenuhnya setuju dengan topik penelitian Belanda? Dan jika demikian, pada poin mana dia berbeda? Apa yang menurutnya relevan atau tidak untuk diselidiki? Dan yang bisa dikatakan tentang titik tolak penelitian yang Eurosentris ini? Sangat mengherankan mengapa kedua pemimpin proyek Indonesia tidak hadir pada saat acara peluncuran penelitian. Penting untuk mempertanyakan sikap keraguan peneliti Indonesia dan dari mana asalnya, apa yang ada di baliknya?

Selama diskusi meja bundar, Jeffry Pondaag bertanya berapa jumlah uang yang diterima tim peneliti Indonesia dari Belanda. Tanggapan tertulis hanya menyatakan bahwa empat peneliti doktor akan dibayar sesuai standar orang Indonesia selama tiga tahun. Berapa jumlah itu tepatnya? Karena anggaran 4,1 juta euro berkaitan dengan uang pembayar pajak, penting untuk mendapat kejelasan tentang hal ini. Sekali lagi, permintaan kami untuk diungkapkan nama-nama sejarawan Indonesia dan universitas mereka, serta anggaran yang diberikan kepada mereka, dipenuhi.

Memasukan Perspektif Indonesia

Van Vree mengatakan bahwa dia sepenuhnya setuju dengan Michael Van Zeijl ketika dia mengatakan bahwa perspektif Indonesia patut mendapat perhatian dan bahwa perspektif ini telah diabaikan di Belanda sejauh ini. Sebagai bukti bahwa para peneliti menganggap perspektif Indonesia sangat penting, Van Vree merujuk pada sub-studi ‘Studi Regional.’ Yang kami perhatikan adalah, pendapat tentang pentingnya ‘mendengarkan orang Indonesia’ sering muncul dalam artikel opini oleh para peneliti yang terlibat seperti Anne-Lot Hoek, Martijn Eijckhoff dan Remco Raben. Masalahnya, biar bagaimanapun, dari desain penelitian ternyata para peneliti Belanda tidak mendengarkan orang Indonesia. Pokok pembahasan dan pertanyaan penelitian menunjukkan bahwa perspektif kaum tertindas tidak mengemuka. Jika istilah korban digunakan, istilah itu selalu merujuk pada korban (Hindia) Belanda dari periode Bersiap, sedangkan untuk korban orang Indonesia hanya digunakan istilah ‘saksi’.

Selebihnya, penyangkalan akan suara orang Indonesia yang kritis (seperti suara Pondaag dan Pattipilohy) menunjukkan bahwa tim peneliti tidak terbuka terhadap pandangan orang Indonesia pada saat pandangan tersebut bertentangan dengan pandangan Belanda.

Untuk kami belum jelas apa yang ingin dilakukan dengan ‘perspektif Indonesia’ oleh ketiga lembaga peneliti. Kami berpendapat bahwa perspektif korban tidak bisa berdampingan dengan perspektif pelaku seolah-olah keduanya setara. Atau, seperti yang disarankan oleh Esther Captain, bahwa peran keduanya membaur dan saling bertukar, kadang-kadang korban, kadang-kadang pelaku. Perspektif kolonial Belanda perlu dihilangkan. Perspektif Indonesia sebagai tambahan ‘ekstra’ adalah sesuatu yang tidak mungkin. Dalam tanggapan tertulis atas pertanyaan Annemarie Toebosch, para peneliti menyangkal bahwa mereka ‘menyejajarkan’ kekerasan yang dilakukan oleh orang Belanda dengan Indonesia. Jadi para peneliti merasa bawa dengan menggunakan istilah ‘multi-vokal’ dan ‘multi-perspektif’  mereka memberi kesan bahwa bagi para peneliti Belanda semua perspektif adalah setara dan bahwa pandangan yang berbeda mungkin dapat berdampingan. Dalam analisis kami tentang Bersiap, kami telah menjelaskan dengan cara apa tim peneliti melakukan penyejajaran (leveling) ketika membandingkan kekerasan kolonial dan anti-kolonial. Menyangkal hal ini untuk kami bukan jawaban yang meyakinkan pada pertanyaan seberapa nilai yang diberikan oleh tim peneliti terhadap perspektif kaum yang ditindas. Esther Captain menyampaikan bahwa sejarah bukanlah persoalan hitam dan putih. Ini klise. Mengajukan perbedaan yang kabur adalah bentuk dari refleks kolonial yang khas dan merupakan suatu contoh ‘menyejajarkan’. Selalu ada narasi utama di mana peran pelaku / korban dapat didefinisikan dengan jelas.

Penulis alternatif untuk tim sintesis

Kami menghendaki agar Gert Oostindie diganti. Dia tidak memenuhi syarat untuk menulis sintesis. Pada poin 3 lampiran surat terbuka, kami mencantumkan secara lengkap alasannya. Di bawah ini, diringkas secara singkat, sekali lagi alasan paling penting antara lain:

– Dia tidak mengakui kerangka penelitian yang bermasalah, dia hanya menolak kritik kami sebagai ‘terlalu aneh untuk kata-kata’

– Dia tidak bisa berbicara bahasa Indonesia;

– Dia bukan ahli Indonesia;

– Dia tidak melihat tradisi kekerasan kolonial sebagai sesuatu yang merupakan bagian dari sejarah nasional Belanda. Dalam bukunya ‘Serdadu Belanda di Indonesia’ ia menulis bahwa Belanda tidak memiliki budaya militer yang kuat dan berpendapat bahwa sejak awal abad ke-20 Belanda adalah kekuatan netral;

– Dia membuat pernyataan (publik) yang tidak bertanggung jawab seperti: ‘Saya secara tidak sengaja terlibat dalam masalah ini,’ ‘ada sisi buruk tapi juga sisi baik dari penjajahan kolonialisme’, ‘Kejahatan perang Belanda harus dipahami dalam konteks waktu itu: melindungi penduduk, memulihkan ketertiban dan perdamaian’, ‘sejarawan tidak seharusnya terikat moral’, ‘Syukurnya Belanda belum mengembangkan tradisi studi postcolonial.’

– Dia memiliki pandangan positivistik yang ketinggalan zaman tentang sejarah dan menyangkal subjektivitasnya sendiri;

Singkatnya, kami berpendapat bahwa seseorang yang tidak mengerti bagaimana rasisme bekerja, menyejajarkan kolonialisme dengan perbudakan dan yang tidak tahu tanggung jawab seperti apa yang diemban hak istimewanya, tidak memenuhi syarat untuk menulis ringkasan studi tentang kekerasan kolonial. Kami mengusulkan suatu tim peneliti independen yang menulis sintesis, yang terdiri dari peneliti Belanda tetapi terutama peneliti Indonesia yang berangkat dari perspektif dekolonial. Kami mengusulkan para peneliti seperti Rushdy Hoesein, Fia Hamid-Walker, Ady Setyawan, Yongky Gigih Prasisko, Jan Breman, Ewald van Vugt dan Sandew Hira. Komposisi yang pasti dari tim penulis belum pasti, namun harus jelas bahwa mereka yang berpartisipasi dalam penelitian tidak dapat menulis sintesis.

Kesimpulan

Sebagai penutup, kami ingin bertanya apa yang akan dilakukan tim peneliti Belanda dengan keberatan yang kami ajukan. Surat terbuka sudah dikirim pada November 2017, tetapi satu setengah tahun kemudian kolonialisme masih belum merupakan titik awal dari kerangka penelitian. Selain itu, kami ingin mengingatkan Anda bahwa beberapa pertanyaan dari surat terbuka masih belum terjawab; pertanyaan-pertanyaan itu juga tidak dibahas selama diskusi meja bundar. Misalnya poin 10 dari lampiran mengenai saran kami untuk adanya penelitian komparatif, poin 12 yang berkaitan dengan hukum Belanda tahun 1971, poin 13 yang mengangkat masalah lebih dari tiga ribu wajib militer Belanda yang menolak perintah militer dan dipenjara. Jangankan keberatan serius kami terhadap mantan Letnan Jendral M. de Kruif yang menjadi bagian dari Dewan Penasihat Ilmiah. Kami hanya akan merasa yakin ketika struktur penelitian ini berubah. Itulah sebabnya kami mengharapkan jawaban yang jelas untuk pertanyaan ini: apakah kritik kami ditanggapi dengan serius dan akankah 350 tahun eksploitasi kolonial mendapatkan tempat yang utama dalam penelitian ini mulai dari sekarang?