
Menavigasi Politik Kolonial
Sekolah Dewi Sartika untuk Gadis Pribumi di Bandung
Pada tahun 1904, Raden Dewi Sartika membuka sekolah pertama untuk anak perempuan pribumi di Bandung, yang mengajarkan “ilmu-ilmu domestik”, termasuk kerajinan seperti membatik, menjahit, dan membuat renda. Esai ini mengeksplorasi bagaimana upaya Sartika, secara sadar maupun tidak, selaras dengan agenda etis untuk “mengangkat derajat” perempuan pribumi. Penulis Raistiwar Pratama dan Marjolein van Pagee terlebih dahulu menganalisis laporan dari ‘Mindere Welvaart Commissie‘ (Komite Kesejahteraan Rendah, MWC) tahun 1914, yang di dalamnya Sartika berkontribusi, dan setelah itu visi pendidikannya dieksplorasi. Bagaimana Sartika menegosiasikan agenda etis tersebut? Bagaimana sekolahnya menjadi alat ‘feminisme imperialis’?
Recall/Recalibrate, Oleh: Raistiwar Pratama & Marjolein van Pagee, download as PDF
Di bawah pemerintahan kolonial di Indonesia yang diduduki Belanda, pria dan prempuan pribumi diperlakukan berbeda satu sama lain. Pria sering digambarkan sebagai biadab, tidak menarik, tidak cukup jantan, dan tidak bertanggung jawab, namun juga konservatif dan membatasi. Perempuan, di sisi lain, direduksi menjadi makhluk seksual yang tunduk yang seharusnya melayani tuan kulit putih, baik di rumah tangga maupun di ranjang. Seorang prempuan bernama Mevrouw (Nyonya) Djarisah, yang bekerja sebagai bidan di kota Bandung, Jawa Barat, menulis pada tahun 1914:
“Saya sering mendengar keluhan di desa-desa dari para prempuan pribumi yang patah hati karena pria Eropa, yang, melalui kekuatan finansial mereka, berhasil merayu mereka dan setelah beberapa saat membuang mereka begitu saja, tanpa sarana penghidupan apa pun, terinfeksi penyakit kelamin. Oh, betapa banyak anak-anak dari pria dan prempuan pribumi Eropa berkeliaran di desa-desa tanpa manfaat pendidikan apa pun. Makhluk-makhluk malang ini tidak akan pernah tahu nama ayah kandung mereka. Lagipula, para ibu sendiri tidak tahu. Contoh seperti itu banyak sekali.” [1]

Namun, laki-laki liberal kulit putih Belanda yang peduli dengan emansipasi perempuan pribumi pada awal tahun 1900 jarang mempersoalkan perilaku (salah) kolonial mereka yang seksis terhadap perempuan-perempuan ini. Sebaliknya, mereka memandang perempuan Indonesia hanya sebagai korban dari rekan laki-laki mereka.
Tentu saja, patriarki bukanlah isu eksklusif Barat, namun, dalam konteks kolonial, perlawanan terhadap struktur patriarki pribumi memiliki tujuan tertentu. Asumsi bahwa orang-orang liberal dan “tercerahkan” dari Eropa harus menyelamatkan perempuan pribumi juga memperkuat stereotip rasial terhadap laki-laki pribumi. Dan karena sebagian besar penjajah Barat menganggap Islam sebagai agama terbelakang, feminisme Eropa juga seringkali berakar pada Islamofobia. Dalam esainya tentang Raden Ajeng Kartini[2], penyair Indonesia Saut Situmorang menunjukkan bagaimana tokoh feminis ini diterima oleh elit kolonial Belanda karena kekagumannya terhadap budaya Eropa dan penolakannya terhadap tradisi Islam Jawa. Kritiknya terhadap budaya dan agamanya sendiri dimanfaatkan oleh Belanda sebagai bentuk “feminisme imperialis” yang digunakan untuk membenarkan pendudukan Belanda atas tanah Indonesia. Pesannya jelas: perluasan kekuasaan kolonial dapat diterima karena dapat menyelamatkan perempuan pribumi dari patriarki Islam.
Meskipun Kartini adalah feminis Indonesia yang paling terkenal, ia bukanlah satu-satunya. Sekolah pertama untuk anak perempuan pribumi didirikan pada tahun 1904 oleh seorang perempuan bangsawan Sunda bernama Dewi Sartika (1884-1947). [3] Ini terjadi tiga tahun sebelum sekolah Kartini pertama di Jakarta (saat itu bernama “Batavia”) dibuka. Berbeda dengan Kartini, Sartika hanya dikenang di tanah kelahirannya, di mana ia dianugerahi status pahlawan nasional pada tahun 1966.
Esai ini bertujuan untuk lebih memahami interaksi kolonial Belanda dengan para pendidik perempuan pribumi dan keterlibatan mereka dalam mendirikan sekolah (kerajinan) khusus untuk perempuan. Secara umum, pendidikan merupakan salah satu pilar utama Politik Etis, yang secara resmi diterapkan pemerintah Belanda pada tahun 1901. Selain membaca dan menulis, para siswi di sekolah Sartika dilatih memasak, menggambar, membatik, dan kerajinan tangan lainnya. Fokus terakhir pada kerajinan (rumah) menimbulkan pertanyaan: peran sosial apa yang dibayangkan Sartika bagi perempuan pribumi? Apakah mereka dilatih untuk menjadi ibu rumah tangga yang lebih baik, atau apakah pendidikan tersebut ditujukan untuk memungkinkan perempuan menjadi lebih mandiri secara finansial? Selain itu, dalam hal apa gagasan Sartika sesuai dengan feminisme imperialis versi Belanda? Bagaimana dia menavigasi agenda politik rezim kolonial?
Studi Dua Belas Tahun: Peningkatan Perempuan Pribumi

Untuk memahami interaksi Sartika dengan rezim kolonial Belanda, pertama-tama kita akan menganalisis citra yang dimiliki Belanda terhadap perempuan pribumi Indonesia secara umum. Sebagai bagian dari Politik Etis, Mindere Welvaart Commissie (Komite Kesejahteraan Rendah, MWC) dibentuk pada 15 Oktober 1902.[4] Untuk menyusun pedoman baru bagi kebijakan kolonial yang lebih baik, Komite yang diketuai oleh pegawai negeri sipil kolonial Herman Eduard Steinmetz ditugaskan untuk menyelidiki kondisi ekonomi penduduk pribumi di Jawa dan Madura. Proyek penelitian ini memakan waktu dua belas tahun, dan ketika hasilnya dipresentasikan pada tahun 1914, sebagian besar data sudah usang, dan rekomendasinya sebagian besar diabaikan.[5]
Namun, secara ideologis, Kebijakan Etis memang memiliki dampak jangka panjang, yaitu kontribusinya terhadap aliran pemikiran yang bertujuan membenarkan kolonialisme dengan mengatasnamakan pembangunan dan peradaban. Salah satu publikasi penelitian MWC berjudul De Verheffing van de Inlandsche Vrouw (Pengangkatan Perempuan Pribumi).[6]
Sepanjang laporan, pesan yang berulang adalah bahwa penduduk pribumi berada dalam kondisi yang sangat buruk bukan karena eksploitasi kolonial, tetapi karena budaya mereka tidak memiliki standar moral yang sebanding dengan Eropa. Dalam hal membesarkan anak, penduduk pribumi Indonesia melakukan segala kesalahan: “pernikahan dini, poligami, penolakan yang mudah terhadap perempuan, tidak baik bagi keutuhan keluarga.” [7] Perempuan Indonesia membutuhkan pendidikan, bukan karena dapat menguntungkan mereka secara pribadi, melainkan karena cara mereka membesarkan anak secara tradisional dianggap buruk, yang menyebabkan masalah bagi seluruh masyarakat pribumi. Solusi Belanda adalah dengan memperkenalkan perempuan pribumi pada pendidikan ala Eropa, yang akan menunjukkan arah yang “benar” dan mengajarkan mereka seperti apa seharusnya keluarga yang layak.[8]
Prostitusi diidentifikasi sebagai masalah akut, yang, sebagaimana telah disebutkan, jarang dikaitkan dengan praktik laki-laki Eropa. Pada tahun 1914, rezim kolonial Belanda menetapkan Regeeringsbureau tot bestrijding van den handel in vrouwen (Biro Pemerintah untuk Memerangi Perdagangan Perempuan). [9] Direkturnya, F. M. G. van Walsem, menyatakan bahwa:
“Perempuan pribumi tidak boleh lagi menjadi anak-anak; mereka harus dikembangkan secara moral dan intelektual, sehingga mereka juga dapat mengharapkan kerja sama dalam upaya ini, baik dari “Biro Pemerintah” maupun dari asosiasi. Karena kesalahan mereka sendiri, banyak perempuan pribumi diserahkan kepada perekrut atau pelacuran, sementara otoritas [kolonial Belanda], meskipun berniat baik, tidak dapat melindungi mereka.”[10]
Kesimpulan Van Walsem adalah, untuk mencapai tujuan yang diinginkan, laki-laki Belanda yang berniat baik seperti dirinya harus mengajarkan masyarakat Indonesia tentang kesalahan praktik-praktik amoral ini.
Komite MWC menyadari bahwa masyarakat pribumi juga mulai mempertanyakan etika perkawinan anak, poligami, dan prostitusi tradisional. Untuk mendorong perubahan lebih lanjut dalam hal ini, perempuan pribumi harus dididik agar “lebih mampu melakukan tugas-tugas yang dilakukan perempuan Barat: mengelola ekonomi rumah tangga, membesarkan anak-anak, dan memperkuat keluarga.”[11]
Laporan yang ditulis oleh Steinmetz ini mencerminkan pandangan orientalis tentang Islam sebagai agama terbelakang di mana laki-laki memiliki banyak perempuan, yang mengakibatkan keluarga besar dan kompleks. Dalam penalaran mereka, masyarakat terjajah di Jawa dan Madura berada dalam kondisi yang memprihatinkan bukan karena Sistem Tanam Paksa yang eksploitatif yang memaksa petani untuk menanam tanaman ekspor kolonial, melainkan karena seorang ayah yang berpoligami tidak mampu mengurus anak-anaknya yang tak terhitung jumlahnya, baik secara finansial maupun sosial. Meskipun para peneliti mengakui bahwa poligami sebenarnya bukan lagi praktik yang umum, terutama di kalangan petani, mereka terus menyorotinya sebagai isu kunci.[12] Dari laporan tersebut, jelas bahwa kemandirian finansial perempuan pribumi bukanlah prioritas mereka, karena “peningkatan” dipahami sebagai pelatihan mereka untuk menjadi pengelola rumah tangga yang lebih baik.
Laporan MWC mengklaim bahwa Eropa pernah menghadapi masalah sosial serupa di masa lalu, namun, menurut mereka, selalu dalam skala yang jauh lebih kecil. Sebagaimana ditulis Edward Said dalam bukunya yang terkenal, Orientalism:
“Kaum Oriental dikaitkan dengan elemen-elemen dalam masyarakat Barat (nakal, orang gila, perempuan, orang miskin) yang memiliki kesamaan identitas yang paling tepat digambarkan sebagai asing yang menyedihkan. Kaum Oriental jarang terlihat atau dipandang; mereka dilihat secara menyeluruh, dianalisis bukan sebagai warga negara, atau bahkan manusia, melainkan sebagai masalah yang harus dipecahkan atau dikurung atau – sebagaimana kekuatan kolonial secara terbuka menginginkan wilayah mereka – diambil alih.” [13]
Steinmetz berpendapat bahwa, di negara asalnya di Eropa, perilaku seksual yang tidak pantas dan prostitusi selalu menjadi masalah yang hanya dihadapi oleh segelintir orang, terutama kelas bawah, sedangkan di Indonesia yang diduduki Belanda, hal ini merupakan masalah yang dihadapi oleh kebanyakan orang: “segala sesuatu yang dianggap meragukan di Eropa merupakan masalah yang jauh lebih besar di sini.” [14]
Pemikiran Perempuan Pribumi tentang “Elevasi”
Menariknya, laporan MWC memuat serangkaian artikel yang ditulis oleh sembilan perempuan pribumi, sebagian besar berlatar belakang bangsawan, salah satunya Dewi Sartika. Sebagai pembaca kontemporer, kita mungkin berharap terlalu banyak dari kontribusi ini terkait ‘melawan arus’. Lagipula, tampaknya para perempuan yang dimaksud dipilih dengan cermat oleh anggota komite Belanda. Setidaknya mereka pasti menyadari bahwa mereka menulis untuk pembaca kolonial, para penguasa asing di tanah mereka.
Bahkan, komentar Mevrouw Djarisah yang dikutip sebelumnya, di mana ia menyoroti perilaku (yang salah) pria kulit putih Eropa, ternyata sangat kritis. Di sisa artikelnya, ia berpendapat bahwa perempuan Jawa perlu diperkenalkan dengan “peradaban modern” karena mereka buruk dalam urusan rumah tangga. Terutama di kalangan orang kaya, ia mengamati bagaimana kebersihan dan higiene diabaikan sama sekali: “banyak yang terbukti lebih mementingkan perhiasan daripada tugas-tugas rumah tangga.” [15]
Sebagian besar kontribusi dalam laporan ini mengonfirmasi stereotip budaya pribumi sebagai budaya inferior. Seorang perempuan bangsawan bernama Raden Ajeng Martini, misalnya, menyebut laki-laki pribumi sebagai sosok yang egois, yang “bisa berbuat sesuka hati terhadap perempuan mereka, karena perempuan sama sekali tidak berdaya secara ekonomi”.[16] Menurutnya, anak-anak perempuan muda harus dilatih untuk menjadi ibu dan istri yang lebih baik, agar generasi baru anak-anak pribumi dapat dibesarkan dengan standar etika yang “lebih baik”. Oleh karena itu, anak-anak perempuan harus dididik dalam keterampilan perempuan, “seperti memasak, membatik, dan menjahit”, serta pelatihan medis, termasuk kebidanan.
Kontribusi Dewi Sartika untuk laporan MWC adalah salah satu dari sedikit tulisannya yang tersisa. Apa pendapatnya tentang “pertanyaan perempuan”?[17] Sejalan dengan laporan dan kontribusi lainnya, ia berpendapat bahwa “pendidikan yang layak” diperlukan, karena “perluasan pengetahuan akan memengaruhi moral perempuan pribumi”.[18] Sartika sangat yakin bahwa pengetahuan ini hanya dapat diperoleh melalui pendidikan. Gagasan ini juga dianut oleh gerakan Sarekat Islam (SI), yang didirikan pada tahun 1912 dan kemudian menjadi salah satu organisasi massa pertama di Indonesia, dengan jumlah anggota 2,5 juta jiwa pada tahun 1916.[19] Laporan MWC menyoroti bagaimana Sartika diundang oleh SI di Surabaya untuk berbicara tentang pendidikan bagi anak perempuan pribumi. [20]
Sejak tahun 1918, SI ditindas oleh rezim kolonial Belanda, tetapi pada tahun-tahun awalnya, SI tidak mengancam status quo. Sarjana Jepang Takashi Shiraishi, dalam bukunya An Age in Motion (Zaman yang Sedang Bergerak, 1990), menjelaskan bahwa alasan SI awalnya mengadopsi bahasa Kebijakan Etis adalah karena bahasa itu satu-satunya yang tersedia bagi mereka. Gagasan tentang “kemajuan” dan “pembangunan” sejalan dengan upaya emansipasi mereka, tetapi, seperti yang ditambahkan Shiraishi, tanpa para pemimpin SI yang benar-benar mengidentifikasi diri dengan para penjajah etis.[21] Namun, serupa dengan Sartika, SI juga tidak menentang tatanan kolonial. Pemimpin SI Tjokroaminoto bahkan menyatakan kesetiaannya kepada kekuasaan kolonial Belanda, yang tentangnya Shiraishi menulis:
“Oleh karena itu, dalam bahasa Tjokroaminoto, sama sekali tidak ada kontradiksi antara kemajuan pribumi dan kesetiaan kepada pemerintah. Kemajuan adalah apa yang diperjuangkan pemerintah Hindia Belanda, dan pengabdian yang tulus kepada kemajuan pribumi akan membuktikan kesetiaan SI kepada pemerintah. Dalam semangat ini, Tjokroaminoto dan para pemimpin SI pusat lainnya menyerukan kemajuan pribumi dan menyerang apa pun yang bertentangan dengan kemajuan.” [22]
SI mengkritik adat dan tradisi lokal karena dianggap bertentangan dengan era kemajuan modern. Layaknya rezim kolonial—yang juga mengecam praktik hormat yang berlebihan—SI terutama menyerang pejabat pribumi berpangkat rendah karena menghalangi emansipasi rakyat. Faktanya, penindasan SI di kemudian hari mengungkap kemunafikan dan keegoisan Politik Etis Belanda, yang menjadikan orang Indonesia berpendidikan Barat seperti Tjokroaminoto sebagai “perantara” yang berguna. Namun, ketika massa yang tidak berpendidikan benar-benar mulai memilih jalan mereka sendiri, para penjajah etis Belanda terkejut dan memerintahkan penangkapan massal.
Menariknya, dan di sinilah ia berbeda dari alur pemikiran umum laporan tersebut, Sartika menekankan bagaimana pendidikan tradisional Sunda sebenarnya berkaitan dengan moralitas. Meskipun penjajah Belanda umumnya memandang rendah masyarakat pribumi, ia percaya bahwa pendidikan tradisional Sunda, terlepas dari keterbatasannya, juga didasarkan pada standar moral. Dalam membela budayanya, ia berpendapat bahwa orang tua Sunda tradisional juga memperhatikan kesejahteraan fisik dan mental anak. Apa yang diinginkan orang tua tradisional bagi anak-anak mereka pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan cita-cita “bangsa tercerahkan” (orang Eropa?). Ia menjelaskan bahwa seorang gadis Sunda muda tidak hanya diajari tugas-tugas rumah tangga biasa seperti “menyapu dan menggosok”, tetapi juga adat istiadat setempat dan cara merawat orang sakit. Konsep-konsep keagamaan juga diajarkan, termasuk membaca Al-Qur’an. Sartika membantah anggapan bahwa gadis-gadis pribumi diabaikan oleh keluarga mereka: “seperti yang terlalu sering diklaim oleh banyak orang sebangsa saya yang tercerahkan”. [23]
Menurut Sartika, salah satu tantangannya adalah meyakinkan generasi yang lebih tua tentang pentingnya sekolah. Sementara kaum liberal kulit putih Belanda menganggap masyarakat pribumi kurang bermoral, orang tua pribumi tradisional, di sisi lain, juga khawatir bahwa pendidikan gaya Eropa akan merusak nilai-nilai luhur anak perempuan mereka:
“Sekolah membangkitkan rasa percaya diri tertentu pada anak. Rasa percaya diri inilah yang mereka takuti, karena mereka takut hal itu akan mendorong anak mereka untuk berbuat jahat.” [24]
Di sinilah visi Sartika sangat sesuai dengan pesan utama laporan MWC, yang menganggap adat istiadat tradisional terlalu membatasi dan konservatif. Dengan nada sinis, ia mengomentari kebiasaan setempat mengurung anak perempuan sebelum menikah:
“Cukup jelas, bahwa [orang tua Sunda tradisional] percaya bahwa moral anak perempuan memburuk justru karena sekolah, sementara mereka lebih suka mengikuti kebiasaan orang Arab dengan mengurung anak di rumah (pingit).” [25]
Sartika menganggap pola asuh tradisional terlalu terbatas karena hanya berfokus pada pernikahan dan tugas-tugas rumah tangga.
Laporan MWC mengutip dan mendukung daftar enam argumen dari inspektur pendidikan Cornelis Lekkerkerker tentang pendidikan anak perempuan pribumi, yang poin terakhirnya berbunyi: “[pendidikan] membuka jalan untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial dengan memungkinkan beragam pekerjaan.”[26] Lekkerkerker menyatakan bahwa terdapat perbedaan karakteristik dalam makna pendidikan bagi anak laki-laki dan perempuan: “Pendidikan bagi laki-laki lebih ditujukan untuk tujuan yang langsung, tampak, dan ekonomis; sedangkan pendidikan bagi perempuan lebih ditujukan untuk mencerdaskan masyarakat.”[27]
Padahal laporan itu tidak memprioritaskan kemandirian finansial – karena tujuannya adalah menciptakan ibu rumah tangga yang “lebih baik” secara moral – Sartika memimpikan perempuan pribumi menjadi bidan, juru tulis, juru ketik, akuntan, penanam bunga, yang melakukan “pekerjaan yang tidak cocok untuk perempuan, menurut kepercayaan pribumi, pekerjaan yang hingga kini hanya diperuntukkan bagi laki-laki.” [28] Namun, alasan di balik keinginannya ini, dan kelas sosial mana yang ia harapkan, masih belum jelas.
Perempuan pribumi dari kelas bawah sudah melakukan tugas-tugas yang serupa dengan laki-laki, bukan karena emansipasi, melainkan karena kebutuhan: mereka terpaksa bekerja atau bekerja di ladang untuk memenuhi kebutuhan hidup. Sartika hanya samar-samar menunjukkan kesadarannya mengenai perbedaan kelas ketika ia menunjukkan bahwa perempuan pribumi dari kelas bawah sangat rentan terjerumus dalam prostitusi karena upah yang tidak setara dan kondisi kerja yang keras yang merupakan norma bagi kelas bawah. Ia menjelaskan bahwa para perempuan ini berpenghasilan lebih rendah daripada laki-laki, meskipun melakukan pekerjaan pabrik yang sama:
“Sebagai seorang perempuan, saya sangat terpukul bahwa para perempuan ini, meskipun melakukan tugas yang sama dengan laki-laki, yang sama-sama kurang memiliki pelatihan profesional, menerima upah yang lebih rendah daripada mereka.” [29]
Ia mengingatkan para pendengarnya di Belanda bahwa masyarakat Eropa juga mendapat manfaat dari perempuan sebagai pekerja terampil: “Saya tidak mengerti mengapa kita tidak bisa melakukan hal yang sama untuk saudara perempuan saya.” Ketika perempuan pribumi menerima pelatihan kejuruan, ia berpendapat, hal itu akan menjadi awal dari perubahan dalam masyarakat pribumi: “laki-laki akan lebih menghargai perempuan mereka.” [30] Sayangnya, Sartika tidak menguraikan lebih lanjut makna perbedaan kelas. Kelas manakah yang ia maksud ketika berbicara secara umum tentang perlunya meningkatkan martabat dan rasa hormat perempuan pribumi, yang sebelumnya hanya sekadar “perabot rumah”? Benarkah martabat merupakan tantangan terbesar bagi mayoritas perempuan pribumi dalam perjuangan mereka sehari-hari untuk bertahan hidup? Diskusi yang membingungkan tentang moralitas, yang membingkai masyarakat pribumi sebagai hambatan utama menuju masa depan yang lebih baik, justru menutupi isu material yang sebenarnya: eksploitasi kolonial. Meskipun MWC mempelajari “masalah perempuan” sebagai bagian dari studi yang lebih luas tentang kesejahteraan ekonomi, mereka tidak mengidentifikasi pemerintahan Belanda sebagai hambatan terbesar bagi perbaikan.

Mengingat konteksnya, tidak mengherankan jika Sartika dan delapan perempuan lainnya dalam laporan tersebut juga tidak membahas sifat eksploitatif pemerintahan kolonial Belanda. Tentu saja, bisa jadi mereka tahu bahwa pemerintahan kolonial adalah alasan sebenarnya mengapa rakyat hidup dalam kemiskinan, tetapi mereka tidak merasa cukup nyaman atau percaya diri untuk menunjukkannya. Penjelasan lain bisa jadi karena mereka sungguh-sungguh percaya bahwa moralitas dan martabat perempuan pribumi harus ditingkatkan. Namun, pertanyaan yang tidak ditanyakan siapa pun adalah bagaimana tepatnya “peningkatan moral” perempuan pribumi akan meningkatkan kondisi ekonomi rakyat terjajah. Apakah Sartika memikirkan hal ini? Cendekiawan Malaysia Grace V. S. Chin, dalam babnya dalam kumpulan esai Appropriating Kartini (2020), menjelaskan bahwa:
“[…] perempuan elit telah – baik secara langsung maupun tidak langsung – berkontribusi pada perpecahan di antara perempuan dari berbagai tingkat sosial di Indonesia. Singkatnya, perempuan kelas bawah yang memperjuangkan cita-cita Kartini juga telah dirusak oleh sikap elitis laki-laki dan perempuan di tingkat atas.” [31]
Bagi perempuan bangsawan, impian untuk berpartisipasi dalam masyarakat adalah membuat hidup mereka lebih bermakna dan lebih bermakna, sementara perempuan dari kelas bawah sudah dipenuhi dengan kerja keras. Jika seorang gadis dari keluarga petani miskin belajar membatik, tembikar, atau kerajinan rumah tangga lainnya, ia mungkin dipuji, tetapi tetap saja sulit untuk mencari nafkah darinya. Oleh karena itu, mungkinkah pendidikan dalam struktur kolonial menghasilkan kehidupan yang lebih baik secara finansial jika sistemnya dirancang untuk memiskinkan rakyat Indonesia?
Pesan Sartika secara keseluruhan sejalan dengan kesimpulan laporan MWC, bahwa perempuan Indonesia harus diajari etika agar menjadi ibu, ibu rumah tangga, dan pengasuh yang lebih baik, yang juga akan menghasilkan rasa hormat yang lebih besar dari suami mereka. “Pernikahan Anak! Sungguh, kanker dalam masyarakat pribumi, yang harus diberantas,” tulisnya. Dan mengenai mentalitas laki-laki pribumi:
“Istrinya, yang sebenarnya hanyalah seorang juru masak baginya, yang menurut ajaran Muhammad, harus membersihkan telapak kakinya tujuh kali sehari dengan rambutnya sendiri! Perempuan itu harus patuh padanya, bahkan jika ia berpikir untuk mencari budak kedua, ketiga, bahkan keempat. Ya, perempuan itu, budak dari orang Muhammad, akan patuh.” [32]
Tak diragukan lagi, inilah pesan yang ingin didengar oleh para ahli etika Belanda. Meskipun Sartika mengungkapkan pendapat yang sedikit berbeda mengenai nilai dan etika pendidikan tradisional Sunda, ia tidak menyadari bagaimana penjajah Belanda dapat menyalahgunakan kata-katanya untuk agenda kolonial dan Islamofobia mereka sendiri. Layaknya Kartini, Sartika menerima pendudukan Belanda atas tanahnya sebagai sesuatu yang lumrah.
Sekolah Pertama untuk Anak Perempuan Pribumi
Pada bagian selanjutnya, kita akan menyelami lebih dalam kisah hidup Sartika sendiri, untuk lebih memahami konteks di mana ia mendirikan sekolah pertama untuk anak perempuan pribumi. Dewi Sartika lahir di Bandung pada tanggal 4 Desember 1884, dari keluarga bangsawan. Ia hanya mengenyam pendidikan dasar Belanda yang terbatas. Pada tahun 1893, ketika ia baru berusia sembilan tahun, ayah dan kakeknya terlibat dalam upaya pembunuhan terhadap Bupati yang baru diangkat, penguasa lokal Bandung. Sebagai hukuman, mereka diasingkan ke Ternate, dan rezim kolonial menyita semua aset dan harta benda keluarga.[33] Akibatnya, karena sekolah-sekolah di Eropa mahal, Sartika tidak dapat menyelesaikan Europese Lagere School (sekolah dasar Eropa, ELS).[34]
Setelah kejadian itu, ia pindah ke rumah pamannya di Cicalengka (kota lain di Jawa Barat) dan diperlakukan seperti ‘anak asuh’. Dengan hati pedih, ia menyaksikan sepupu dan keponakannya menikmati pendidikan, termasuk les bahasa Belanda, sementara ia tidak diizinkan mengikuti les apa pun.
Selama sepuluh tahun tinggal di Cicalengka, ia mengembangkan pandangan kritis terhadap perlakuan terhadap perempuan di masyarakatnya. Saat itu, hanya segelintir perempuan bangsawan Sunda yang bisa membaca dan menulis, kebanyakan dalam bahasa Melayu atau Arab. Penguasaan bahasa penjajah bahkan lebih luar biasa. Meskipun Sartika sendiri tidak mengenyam pendidikan menengah, ia mampu menyerap ilmu yang diajarkan sepupu dan keponakannya, termasuk bahasa Belanda. Selanjutnya, ia mendirikan les untuk berbagi ilmunya dengan perempuan Sunda lainnya. Melalui surat-suratnya, Sartika menyemangati dan memotivasi para siswi: “Dengarlah, gadis-gadis, untuk menjadi perempuan, kalian harus tahu bagaimana melakukan segalanya, agar kalian siap menghadapi hidup”, tulisnya suatu ketika.[35] Ketika ayah Sartika meninggal pada tahun 1903, ibunya kembali ke Bandung, di mana ia bergabung dengan putrinya.[36] Sesampainya di kampung halamannya, Sartika langsung menghadap Bupati Raden Adipati Aria Martanegara untuk meminta izin pendirian sekolah.[37] Awalnya, ia menanggapi dengan nada negatif, dengan mengatakan:
“Tidak, anak perempuan tidak bersekolah. Yang penting bisa memasak nasi, bisa menjahit, dan melayani suami, itu sudah lebih dari cukup. Jika mereka mampu, surga adalah balasannya. Sekalipun [sekolah] itu digunakan untuk belajar bahasa Belanda.” [38]
Namun Sartika tidak menyerah begitu saja, setelah beberapa kali ditolak, Bupati akhirnya mengalah dan menyetujui rencananya.[39] Pada 16 Januari 1904, di aula utama kediaman Bupati di Bandung, sekolah Sartika didirikan. Awalnya, ia memiliki dua puluh siswa, kebanyakan dari latar belakang yang sama, dengan hanya tiga guru: Uwit, Purma, dan Sartika sendiri.[40] Rupanya, Sartika juga mengenal orang-orang Belanda di kalangan atas. Sebuah artikel surat kabar dari November 1904 menyebut C. den Hamer, inspektur pendidikan pribumi Belanda, sebagai pendiri sekolah tersebut. Uwit dan Purma adalah murid-muridnya.[41] Artikel tersebut menjelaskan bahwa pelajaran diajarkan dalam bahasa Sunda dan Melayu, dan mencakup beberapa mata pelajaran lain:
“Anak-anak belajar membaca dan menulis, berhitung, dan sedikit geografi; latihan berbicara diadakan, di mana hal-hal yang dibahas selalu ada. Anak-anak diajarkan adat istiadat pribumi yang benar, mereka belajar menggambar, membuat ornamen batik, dan kerajinan tangan lainnya.” [42]
Penulis menyebutkan keberadaan celengan besar yang digunakan untuk mengajarkan anak-anak tentang menabung. Lebih banyak kelas direncanakan untuk tahun berikutnya:
“Pada kursus berikutnya, akan ditambahkan satu kelas di mana mereka akan belajar membatik, sedikit ilmu pembukuan, dll. Selanjutnya, pelajaran membuat renda, yang secara bertahap hampir punah di sini, juga akan dilanjutkan, mengikuti contoh dari Palembang.” [43]

Di Palembang, industri pembuatan renda telah “dihidupkan kembali” di bawah pengawasan Eropa, dan perempuan Belanda di sana membeli “renda dalam jumlah banyak untuk Kebaya mereka.” [44] Kaum imperialis etis percaya bahwa mereka berperan penting dalam menyelamatkan praktik kerajinan dari kepunahan. Namun, pembuatan renda bukanlah budaya pribumi Indonesia, melainkan berasal dari Flanders dan Italia pada tahun 1600-an. Kemungkinan besar, renda diperkenalkan di Indonesia oleh istri-istri misionaris atau biarawati, seperti yang terjadi di banyak koloni,[45] Namun, praktik pembuatan renda menyatu dengan teknik kawat kerawang yang sudah ada, dan begitu meluas sehingga pegawai kolonial J. E. Jasper bahkan mempertanyakan apakah itu industri Eropa atau industri pribumi. Namun, menurutnya, praktik pembuatan renda jelas telah ditingkatkan sesuai standar Eropa.[46] Idenya adalah bahwa pembuatan renda dapat menanamkan nilai-nilai keibuan, mengajarkan kebersihan, dan cocok sebagai industri rumahan yang akan memberikan penghasilan bagi perempuan.
Inisiatif Sartika mendapat cukup banyak perhatian media. Pembuat film Belanda (dan veteran Aceh) J. C. Lamster, misalnya, memfilmkan sekolah di Bandung (1912–1913) untuk seri propagandanya tentang Jawa dan Bali.[47] Film ini menunjukkan bagaimana para siswa dilatih dalam kerajinan tangan. Menurut sejarawan Australia Jean Gelman Taylor, film-film Lamster khususnya berfokus pada:
“[…] sebuah Hindia yang dihuni para pekerja pribumi yang rajin, bukan karena fanatisme mereka terhadap Islam dan hasrat membunuh, melainkan penduduk pribumi yang menggantungkan nasib pada Belanda, yang secara harfiah menjaga roda koloni tetap berjalan lancar. […] Dan ada anak-anak perempuan yang mempelajari ilmu rumah tangga agar mereka dapat mengelola rumah tangga yang higienis dan mengawasi para pelayan dengan cara yang benar dalam mencuci dan menyetrika.” [48]
Dalam satu adegan, beberapa siswa ditampilkan menggunakan mesin jahit, sementara yang lain menjahit dengan tangan. Dalam adegan lain, seorang perempuan ditampilkan sedang membuat renda bobbin di atas bantal, yang menegaskan bahwa pembuatan renda memang menjadi bagian dari kurikulum.
Sebuah artikel yang terbit tahun 1911 menyebut Sartika hanya sebagai ‘kepala sekolah’, sedangkan Den Hamer kembali disebut sebagai penggagas sekolah tersebut.[49] Pada tahun 1906, Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata, seorang kepala sekolah, yang sangat mendukungnya. Bersama-sama, mereka membangun sembilan sekolah di seluruh Jawa Barat. Mereka menerima dukungan dari teman dan kolega, baik dari Indonesia maupun Belanda. Pada tahun 1910, nama sekolah diubah menjadi Sakola Kautamaan Isteri dan lembaga tersebut menjadi “Sekolah Kelas Dua”.[50] Pada bulan November tahun yang sama, sebuah yayasan didirikan dengan nama yang sama, untuk “meningkatkan derajat gadis-gadis pribumi.” Selain perempuan bangsawan pribumi, berbagai perempuan Belanda juga dilibatkan sebagai pengurus yayasan.[51]
Pada tahun 1913, feminis Belanda ternama Aletta Jacobs mengunjungi proyek Sartika. Ia mengungkapkan antusiasmenya, tetapi juga menggambarkan fasilitas yang sangat sederhana. Dinding sekolah terbuat dari bambu. Ketika ia melihat para siswi membungkuk saat melewati seorang kepala sekolah, ia mengecamnya sebagai praktik yang “terbelakang”:
“Bahkan di bagian memasak, anak-anak membungkuk di belakang kami. Ini adalah adat, kebiasaan setempat, kata saya sambil meyakinkan, namun ini adalah kebiasaan buruk, yang hanya akan berdampak negatif dan harus dihilangkan sesegera mungkin.” [52]
Secara umum, upaya Sartika diapresiasi oleh penjajah Belanda; karyanya tidak dianggap sebagai ancaman. Sekolah Bandung “miliknya” seolah berfungsi sebagai semacam uji coba, yang segera diikuti oleh inisiatif-inisiatif lain seperti sekolah Van Deventer dan Kartini. Pada tahun 1922, di tahun yang sama ketika suami Sartika meninggal dunia, rezim kolonial menganugerahinya bintang perak.[53] Pada tahun 1929, rezim kolonial memberikan dukungan finansial untuk pembangunan gedung sekolah baru. Pada peresmiannya, Sartika dianugerahi gelar “Kartini Sunda”.[54] Pada tahun 1939, ketika sekolah tersebut merayakan ulang tahunnya yang ke-35, ia bahkan dianugerahi penghargaan bergengsi Ordo Kerajaan Belanda Oranje-Nassau.[55]
Peningkatan Secepat Siput
Meskipun meraih keberhasilan seperti sekolah-sekolah yang didirikan Sartika, Politik Etis tidak pernah menghasilkan pendidikan massal, apalagi perbaikan kondisi ekonomi. Hal ini tidak serta merta menjadi “kegagalan” kebijakan tersebut: rancangan sistemnya sedemikian rupa sehingga rakyat terjajah tidak pernah ditakdirkan untuk maju secara signifikan. Meskipun laporan MWC mungkin sama sekali tidak berarti bagi rakyat terjajah, bagi penjajah Belanda laporan tersebut memiliki tujuan yang jelas. Di seluruh dunia terjajah, studi profesional tentang Timur (sebagai kumpulan gagasan, keyakinan, klise, atau pembelajaran lain tentang Timur), seperti yang diperkuat melalui laporan MWC, menjadi instrumen kebijakan dengan fungsi yang mencerminkan.[56] Gagasan tentang “Barat” yang tercerahkan tak mungkin ada tanpa gagasan tentang keterbelakangan “Timur”. Dalam bukunya Orientalism, Edward Said menjelaskan bahwa orang Eropa menafsirkan diri mereka sendiri dan Timur melalui studi-studi ini. Dalam arti tertentu, orang Belanda membutuhkan masyarakat pribumi yang tidak bermoral dan jahat, agar dapat menampilkan diri mereka sebagai juru selamat. Dalam kata-kata Said:
“Faktanya, yang terjadi justru kebalikan dari liberal: pengerasan doktrin dan makna, yang ditanamkan oleh “sains”, menjadi “kebenaran”. Karena jika kebenaran semacam itu hanya menyisakan hak untuk menilai Timur sebagai sesuatu yang tak tergoyahkan secara Oriental seperti yang telah saya tunjukkan, maka liberalisme tak lebih dari sekadar bentuk penindasan dan prasangka mentalistik.” [57]
Jelas, dukungan Belanda terhadap Sartika dan murid-muridnya tidak dimaksudkan untuk “meningkatkan” derajat penduduk pribumi. Di satu sisi, para ahli etika Belanda percaya bahwa moralitas perempuan pribumi dapat ditingkatkan dengan memberikan mereka pendidikan bergaya Eropa, tetapi di sisi lain, mereka ingin membatasi hal ini agar penghalang antara penjajah dan terjajah tetap utuh. Inilah sebabnya mengapa siswa pribumi tidak diizinkan untuk menjadi “terlalu Eropa”, dan didorong untuk mempelajari dan merangkul adat istiadat serta tradisi mereka sendiri, termasuk mengenakan pakaian pribumi. Kurikulum di sekolah-sekolah Sartika, yang melatih anak perempuan dalam kerajinan rumah tangga lokal, didorong dengan antusias. Selama Kongres Pendidikan Kolonial pada tahun 1916, para pejabat Belanda merekomendasikan “pelajaran menjahit” bagi perempuan bangsawan, tetapi bagi anak perempuan non-elit dianggap “diragukan manfaatnya.”[58] Di sini kita melihat bahwa, juga dalam bidang kerajinan, Belanda terus berupaya mempertahankan batasan yang jelas melalui ras dan kelas.
Sejarawan Belanda, Frances Gouda, menjelaskan bahwa para penjajah Belanda memprioritaskan pendidikan perempuan bangsawan pribumi khususnya, bukan hanya karena mereka menganut gagasan “trickle down” yang klasis, tetapi juga karena mereka memandang perempuan sebagai representasi terbaik dari budaya mereka. Rezim Belanda mendukung sekolah-sekolah perempuan seperti yang dibuka oleh Sartika dan Kartini, berdasarkan logika bahwa “seni budaya mereka yang murni dan “eksotis” untuk generasi mendatang” harus dilindungi.[59] Sementara itu, praktik-praktik yang lebih umum dalam masyarakat pribumi ditolak, seperti:
“[…] pernikahan anak, mengikir gigi, mengadakan pesta besar, memakai perhiasan yang seringkali dibeli dengan uang pinjaman, memakan dengan tangan segala macam makanan yang disiapkan dan dijual di jalanan, belum lagi kejahatan lainnya seperti opium, alkohol, dan perjudian.”[60]
Gouda menyimpulkan bahwa perempuan pribumi hanya ditingkatkan dengan ‘kecepatan siput’, dengan tujuan memperpanjang pendudukan Belanda selama tiga ratus tahun lagi.[61]
Singkatnya, berdasarkan arsip-arsip kolonial yang sangat terbatas, parsial, dan terfragmentasi yang dapat kami akses, tampaknya Sartika tidak kritis terhadap tesis kolonial bahwa masyarakat pribumi pada dasarnya rusak dan perlu diperbaiki di bawah bimbingan Eropa. Ia hanya berpendapat bahwa kurangnya moralitas masyarakat pribumi tidak seekstrem yang diyakini beberapa “orang tercerahkan”. Ia tampaknya tidak mempertanyakan penggunaan pendidikan perempuan oleh Belanda sebagai instrumen untuk memaksakan ideologi liberal kulit putih mereka, yang memperkuat gagasan yang sudah ada tentang superioritas Eropa atas rakyat Indonesia. Oleh karena itu, Dewi Sartika dapat dilihat sebagai seseorang yang berusaha memperbaiki kehidupan perempuan pribumi dalam infrastruktur kolonial yang ada. Namun, di saat yang sama, kasus Sartika menimbulkan banyak pertanyaan yang membutuhkan spekulasi dan kajian lebih lanjut. Apa sebenarnya agensinya dalam realitas kolonial yang ada? Bagaimana mungkin Sartika memanfaatkan para ahli etika untuk agendanya sendiri, yaitu memperbaiki posisi perempuan? Apakah ia benar-benar berkoordinasi dengan mereka untuk mendapatkan dana? Sadar atau tidak, inisiatifnya membantu penjajah Belanda dalam membentuk pola pikir mahasiswa pribumi “menuju arah Eropa Barat, meskipun dengan kecepatan yang lebih bertahap dan lebih berdasarkan akar Indonesia.”[62] Kenyataan bahwa rezim kolonial Belanda mengambil alih proyek Sartika, dengan menghadirkan inspektur pendidikan pribumi Belanda, Den Hamer, sebagai pendiri, adalah contoh nyata dari perampasan.[63] Hal ini tidak hanya menunjukkan bahwa inisiatifnya dianggap dapat diterima, sehingga tidak terlalu berbahaya bagi status quo, tetapi juga menunjukkan betapa mudahnya penjajah Belanda mengesampingkan perempuan pribumi yang pura-pura mereka pedulikan. Sebagaimana diamati Said: “Kaum oriental jarang dilihat atau dipandang; mereka dipandang, dianalisis bukan sebagai warga negara, atau bahkan manusia, melainkan sebagai masalah yang harus dipecahkan atau dibatasi.”[64]
Catatan akhir::
[1] Mevrouw Djarisah, ‘Losse gedachten’, di lampiran: Onderzoek naar de mindere welvaart der inlandse bevolking op Java en Madoera: IXb3. Verheffing van de Inlandsche vrouw – Deel VII, Batavia/Jakarta, Papyrus, 1914, hlm. 15, lihat: https://resolver.kb.nl/resolve?urn=MMATR08:014079000.
[2] S. Situmorang, ‘Decolonizing the Myth of Kartini’, Recall/Recalibrate, 2025, https://recalibrate.nl/decolonising-the-myth-of-kartini. Atau baca terjemahan bahasa Indonesia ‘Mendekolonisasi Mitos Kartini’, https://historibersama.com/decolonising-the-myth-of-kartini-saut-situmorang/?lang=id
[3] Dalam sumber-sumber Belanda, nama Sartika kadang-kadang dieja sebagai “Sartica”.
[4] T. Tirta, ‘Mindere Welvaart Commissie: Basa-basi Belanda Sejahterakan Pribumi’, Tirto, 26 September, 2020, https://tirto.id/mindere-welvaart-commissie-basa-basi-belanda-sejahterakan-pribumi-f4jX. Terjemahan bahasa Inggris: ‘Mindere Welvaart Commissie: Dutch Pleasantry in Developing the Welfare of the Indigenous Indonesians’, Histori Bersama, 6 Oktober, 2021: https://historibersama.com/mindere-welvaart-commissie-tirto/.
[5] Sejarawan Indonesia Tyson Tirta berpendapat bahwa karena lamanya proses penelitian, data tersebut telah “kadaluwarsa” ketika hasil akhirnya disajikan pada tahun 1914. Pada saat itu, penjajah Belanda lebih khawatir dengan pecahnya Perang Dunia I. Tirta: “Upaya 12 tahun penyelidikan oleh MWC pada akhirnya tidak berpengaruh apa-apa pada peningkatan kesejahteraan rakyat koloni.” Lihat: Tirta, 2020.
[6] Onderzoek naar de mindere welvaart der inlandse bevolking op Java en Madoera: IXb3. Verheffing van de Inlandsche vrouw – Deel VII, Batavia/Jakarta, Papyrus, 1914. Accessed through: https://resolver.kb.nl/resolve?urn=MMATR08:014079000.
[7] Verheffing van de inlandsche vrouw, hlm. 87.
[8] Lihat juga: E. Locher-Scholten, Women and the Colonial State: Essays on Gender and Modernity in the Netherlands Indies 1900–1942, Amsterdam University Press, 2000.
[9] Pembentukan Biro Pemerintahan terkait dengan perkembangan di Eropa. Pada tanggal 4 Mei 1910, Belanda menandatangani perjanjian internasional di Paris untuk memerangi prostitusi. Di kalangan orang Eropa, prostitusi dan perdagangan manusia disebut sebagai “la traite des blanches” (perbudakan kulit putih). Perjanjian tersebut menghasilkan undang-undang dan kebijakan baru terkait prostitusi, yang juga diterapkan di wilayah koloni. Sebuah artikel surat kabar Belanda berbunyi: ‘Keputusan untuk membentuk badan resmi ini [Biro Pemerintahan] dibuat ketika Belanda, bersama dengan Britania Raya dan Jerman, menandatangani apa yang disebut Protokol Paris, yang menyatakan kesiapannya untuk mengambil tindakan represif guna memerangi, jika memungkinkan, perdagangan “blanke ongekleurde slavinnen” (budak kulit putih tanpa kulit) di wilayah koloni.” Lihat: ‘Bestrijding van den vrouwenhandel’, Sumatra Post, 16 juni, 1914. https://resolver.kb.nl/resolve?urn=KBDDD02:000198038:mpeg21:p010.
[10] ‘Openbare vergadering “Madjoe Kamoelja”’, De Preanger-bode, 1 Mei, 1914. Lihat: https://resolver.kb.nl/resolve?urn=MMKB08:000127127:mpeg21:p001.
[11] Verheffing van de inlandsche vrouw, hlm. 21.
[12] Lihat di atas, hlm. 88.
[13] E. W. Said, Orientalism, London, Penguin Classics, 2003, hlm. 207.
[14] Verheffing van de inlandsche vrouw, hlm. 109.
[15] Djarisah, hlm. 15.
[16] Raden Adjeng Martini, ‘Opinie omtrent de Kartini-school’, di lampiran: De verheffing van de Inlandsche vrouw, 1914, hlm. 12.
[17] Raden Dewi Sartica, ‘De Inlandsche Vrouw’, di lampiran: De verheffing van de Inlandsche vrouw, 1914, hlm. 21–25.
[18] Sartica, hlm. 21.
[19] Sarekat Islam awalnya menyatakan kesetiaan kepada Belanda, dan Gubernur Jenderal Idenburg mengakui SI pada tahun 1913. Pada tahun-tahun berikutnya, Sarekat Islam berkembang menjadi partai politik nasional, yang semakin menentang pendudukan Belanda. Pada tahun 1919, para ahli etika seperti Hazeu dan Rinkes, yang memainkan peran penting dalam memberi nasihat tentang ‘urusan pribumi’, mulai meninggalkan Sarekat Islam. Lihat: M. C. Ricklefs, A History of Modern Indonesia since c. 1200, Palgrave Macmillan, 2008, hlm. 204-205. Dan T. Shiraishi, An Age in Motion. Popular Radicalism in Java 1912-1926, Cornell university Press, 1990, hlm. 23-25, 41-43, 60-63 dan 113-114.
[20] Verheffing van de Inlandsche vrouw, hlm. 122. Diterjemahkan dari bahasa Belanda: “Atas permintaan pengurus Sarikat Islam (SI), Raden Dewi Sartica memberikan ceramah yang dihadiri banyak orang di Surabaya tentang brosur yang ia susun tentang pendidikan untuk gadis-gadis pribumi, sementara Raden Ajoe Siti Soendari baru-baru ini memberikan ceramah tentang subjek yang sama untuk jurusan Boedi Oetomo di Tegal”.
[21] Shiraishi, hlm. 60.
[22] Shiraishi, hlm. 62.
[23] Sartica, hlm. 21–25.
[24] Lihat di atas.
[25] Lihat di atas.
[26] Mengacu pada Lekkerkerker (1914), Verheffing van de Inlandsche vrouw, hlm. 109-110.
[27] Lihat di atas.
[28] Sartica, hlm. 23.
[29] Lihat di atas.
[30] Lihat di atas.
[31] G. V. S. Chin, ‘Ambivalent Narration: Kartini’s Silence and the Other Woman’, dalam: Paul Bijl dan Grace V. S. Chin, eds., Appropriating Kartini: Colonial, National and Transnational Memories of an Indonesian Icon, Singapore, ISEAS – Yusof Ishak Institute, 2020, hlm. 75.
[32] Sartica, hlm. 24.
[33] R. Wiriaatmadja, Dewi Sartika, Jakarta, Direktorat Nilai Sejarah Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, 2009, hlm. 49-57.
[34] Antara tahun 1893 dan 1894, terdapat beberapa liputan surat kabar tentang insiden tersebut. Lihat misalnya: P. B., ‘De benoeming te Bandoeng’, De Locomotief, 16 Agustus, 1893: https://resolver.kb.nl/resolve?urn=ddd:010293216:mpeg21:p001.
[35] Wiriaatmadja, Dewi Sartika, hlm. 60–61.
[36] Lihat di atas.
[37] Tidak jelas bagaimana peran ayah Sartika, salah satu konspirator di balik upaya pembunuhan Raden Adipati Aria Martanegara pada tahun 1893, berperan dalam kontak mereka ketika ia mendekatinya pada tahun 1903.
[38] Wiriaatmadja, Dewi Sartika, hlm. 73.
[39] Lihat di atas.
[40] Lihat di atas.
[41] ‘De inlandsche meisjesschool’, De Preanger Bode, 7 November, 1904, Lihat: https://resolver.kb.nl/resolve?urn=MMKB08:000125418:mpeg21:p002.
[42] Lihat di atas.
[43] Lihat di atas.
[44] Mrs. Bland, ‘Malacca Lace’, Journal of the Straits Branch of the Royal Asiatic Society: 45, 1906, hlm. 275.
[45] Ada banyak contoh istri misionaris dan biarawati yang mengajarkan pembuatan renda sebagai cara untuk “memperadabkan” perempuan dan memberi mereka penghasilan. Lihat misalnya Asosiasi Renda Indian Sybil Carter, para perajin renda Narsapur (dijelaskan oleh sosiolog Maria Mies), dan para misionaris Belgia di Republik Demokratik Kongo: https://trc-leiden.nl/trc-needles/organisations-and-movements/charities/sybil-carter-indian-lace-association.
[46] Lihat: B. A. Beech Jones, Textual Worlds: Rethinking Self, Community, and Activism in Colonial-Era Sumatran Women’s Newspaper Archives, PhD diss., The University of Melbourne, 2023, hlm. 82-85; J.E. Jasper, dan Mas Pirngadi, De Inlandsche Kunstnijverheid in Nederlandsch Indië, Deel 2. De Weefkunst, 1912, hlm. 306.
[47] Film ini tersedia di YouTube: https://www.youtube.com/watch?v=LxhGmhVPVgk.
[48] J. Gelman Taylor, ‘Ethical policies in moving pictures: The films of J.C. Lamster’, dalam: S. Protschky, Photography, Modernity and the Governed in Late-Colonial Indonesia, Amsterdam University Press, 2015, hlm. 67.
[49] ‘Een propaganda-avond’, De Preanger-bode, 7 Januari, 1911, lihat: https://resolver.kb.nl/resolve?urn=MMKB08:000123398:mpeg21:p001.
[50] Sekolah Kelas Satu diperuntukkan bagi anak-anak dari kalangan elit pribumi, sekolah Kelas Dua diperuntukkan bagi anak-anak pribumi “biasa”.
[51] ‘Een propaganda-avond’.
[52] A. Jacobs, Reisbrieven uit Afrika en Azië benevens eenige brieven uit Zweden en Noorwegen, 1913, hlm. 477.
[53] Wiriaatmadja, Dewi Sartika, hlm. 101 dan 107. atau: ‘Onderscheidingen’, De Preanger Bode, 5 September, 1922, lihat: https://resolver.kb.nl/resolve?urn=MMKB08:000131372:mpeg21:p002.
[54] ‘De Soendaneesche Kartini’, Bataviaasch Nieuwsblad, 17 Januari, 1929, https://resolver.kb.nl/resolve?urn=ddd:011072221:mpeg21:a0014.
[55] ‘Kon. Onderscheidingen. Toegekend aan Ingezetenen van Ned.-Indië ter Gelegenheid van Harer Majesteits Verjaardag’, De Locomotief, 30 Agustus, 1939, lihat: https://resolver.kb.nl/resolve?urn=MMKB23:003468112:mpeg21:p00009.
[56] Said, hlm. 253-254.
[57] Lihat di atas.
[58] Beech Jones, hlm. 73.
[59] F. Gouda, ‘Teaching Indonesian girls in Java and Bali, 1900–1942: Dutch progressives, the infatuation with “oriental” refinement, and “western” ideas about proper womanhood’, dan: Women’s History Review vol. 4, no. 1, 1995, hlm. 48.
[60] Lihat di atas, hlm. 39.
[61] Lihat di atas, hlm. 38.
[62] E. Locher-Scholten, Ethiek in fragmenten, vijf studies over koloniaal denken en doen van Nederlanders in de Indonesische Archipel 1877–1942, Utrecht, HES Publishers, 1981, hlm. 201 dan 203; atau: Etika yang Berkeping-Keping: Lima Telaah Aliran Etis dalam Politik Kolonial 1877–1942, Jakarta, Penerbit Djambatan, 1996, hlm. Xii.
[63] Marjolein van Pagee, dalam esainya tentang pendirian sekolah kerajinan di Jawa Timur pada tahun 1900, juga memberikan contoh inisiatif sekolah adat di Ngawi yang diadopsi oleh rezim kolonial. Lihat: M. van Pagee, ‘“Dangerous Competitors”: The Dutch Ethical Policy (1901) and the Establishment of Craft Schools in East Java’, Recall/Recalibrate, 2025. https://recalibrate.nl/dangerous-competitors. Baca terjemahan Indonesia: ‘”Saingan Berbahaya” Politik Etis Belanda (1901) dan Pendirian Sekolah Kerajinan di Jawa Timur’, https://historibersama.com/dangerous-competitors-marjolein-van-pagee/?lang=id
[64] Said, hlm. 207.
MARJOLEIN VAN PAGEE (1987) adalah seorang sejarawan dan penulis dari Belanda. Ia meraih gelar magister Sejarah Kolonial dan Global di Universitas Leiden dan memiliki spesialisasi dalam sejarah pendudukan Belanda di Indonesia. Ia adalah penulis Genosida Banda (Komunitas Bambu, 2024) dan Bung Tomo. De revolutie van 1945 (Omniboek, 2023). Ia adalah pendiri Yayasan Histori Bersama (www.historibersama.com) dan Media Mondo (www.media-mondo.com/id), sebuah situs web berita anti-imperialis tentang geopolitik dari perspektif sejarah.
RAISTIWAR PRATAMA (1981) adalah seorang sejarawan yang bekerja sebagai arsiparis di Arsip Nasional Indonesia dan mengajar mata kuliah kearsipan di beberapa universitas negeri dan swasta di Indonesia. Ia meraih dua gelar Sarjana Seni (S.Si.) dalam bidang Sejarah dari Universitas Padjadjaran dan Universitas Leiden, serta gelar Magister Seni (M.Si.) dalam Studi Kearsipan dari Universitas Leiden. Saat ini ia sedang menempuh pendidikan Doktor (S3) di Amsterdam School for Heritage, Memory, and Material Culture di Universitas Amsterdam.
Unduh sebagai PDF (bahasa Inggris):

Juga bagian dari seri ini:



